Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Gagasan Pancasila sebagai dasar (falsafah) negara Indonesia tidaklah seketika muncul dan tuntas pada persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Sejarah konseptualisi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase “pembibitan”, fase “perumusan”, dan fase “pengesahan”.

Fase “pembibitan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism).

Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945) dengan Pidato Soekarno (1 Juni) sebagai crème de la crème-nya yang memunculkan istilah Panca Sila. Rumusan Pancasila dari Pidato Soekarno itu lantas digodok dalam pertemuan Chuo Sangi In yang membentuk “Panitia Sembilan”, yang melahirkan rumusan baru Pancasila dalam versi Piagam Jakarta, pada 22 Juni. Fase “pengesahan” dimulai pada 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang melahirkan rumusan final, yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.

Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan. Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa. Meski demikian, tak bisa dimungkiri, bahwa dalam karya bersama itu ada individu-individu yang memainkan peranan penting. Dalam hal ini, individu dengan peranan yang paling menonjol adalah Soekarno. Sejak fase “pembibitan”, bahkan jauh sebelum itu, Soekarno telah merinstis pemikiran ke arah dasar falsafah Pancasila dalam gagasannya untuk mensintesiskan antara “nasionalisme-Islamisme dan Marxisme” dan konseptualisasinya tentang “socio-nationalisme”, “socio-democratie” sebagai asas Marhaenisme. Pada fase perumusan, dia adalah orang pertama yang mengkonseptualisasikan dasar negara dalam konteks “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) secara sistematik dan koheren, dan dia pula yang menyebut lima prinsip dari dasar negara itu dengan istilah Panca Sila; dalam proses penyempurnaan perumusan Pancasila, dia pula yang memimpin “Panitia Sembilan” yang melahirkan Piagam Jakarta. Dalam proses penerjemahan Pancasila itu ke dalam UUD, dia pula yang memimpin Panitia Perancang Hukum Dasar. Akhirnya, dalam fase pengesahan Pancasila, dia pula yang memimpin PPKI.

Soekarno (Bung Karno) ditakdirkan menjadi penjelmaan senyawa keindonesiaan. Pada pembuluh nadinya bermuara (nyaris) segala aliran sungai kebangsaan. Menurut pengakuannya sendiri: Kakekku menanamkan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi dan Islamisme. Dari Ibu, hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku humanisme. Dari Pak Cokro datang sosialisme. Dari kawan-kawannya datang nasionalisme. Pada rangkuman itu aku tambahkan cuplikan-cuplikan dari Karl Marxisme dan Thomas Jefferson. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat Sen, kebajikan dari Gandhi. Aku mampu mensintesekan mazhab ilmu modern dengan kebudayaan animisktik kuno dan menerapkan hasil akhirnya pada pesan-pesan kehidupan yang menyesakkan dari harapan yang disesuaikan dengan pengertian rakyat kecil. Apa yang muncul, dinamakan orang—dalam istilah yang jelas—Soekarnoisme (Adams, 2011: 90).

Dari darah dan jiwanya yang mengandung hibrida keindonesiaan itulah Pancasila menemukan bumi dan langitnya. Dari saripati bumi Pancasila ia hidup; dan dari bumi yang ia pijak itu pula, langit Pancasila ia junjung. Soekarno menyatakan: Saya berjuang sejak tahun 1918 sampai dengan 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permusyawatan, untuk social-recht-vaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya berpuluh tahun (Tito, 1979: 8). Dapat dikatakan, Soekarno adalah legenda hidup (darah dan daging) Pancasila. Dari sanalah awal pembibitan dan buah sejarah Pancasila menemukan pangkal dan ujung kisah.

Fase Pembibitan
Surabaya merupakan tempat awal persemaian kesadaran politik Soekarno. Memasuki sekolah menengah, Hoogere Burger School (HBS), pada usia 15 tahun (1916), ia tinggal di rumah pemimpin besar Sarekat Islam, HOS. Tjokroaminoto. Di rumah Sang Guru Para Pendiri Bangsa inilah Soekarno menenggelamkan diri dalam dunia bacaan dan belajar meresapi persoalan politik lewat perjumpaannya dengan beragam tokoh yang kemudian melahirkan ragam ideologis. Semua tokoh yang berpisah jalan pada 1940-an pernah makan di rumah Tjokro. Mereka antara lain, Musso, Tan Malaka, Kartosuwirjo, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Sukarno sendiri.

Mendapatkan inspirasi politik dari rumah Cokro, Soekarno mulai belajar berorganisasi di Jong Java cabang Surabaya, pertama-tama sebagai sekretaris dan tak lama kemudian sebagai ketuanya (Adams, 2011: 58). Bakatnya sebagai pelopor berkepribadian yang berani mengambil pilihan sendiri mulai tampak. “Sejak berada di sekolah menengah aku telah menjadi seorang pelopor. Dalam bidang politik aku tidak mengambil satu pola saja, yang mungkin menjadi sebab mengapa aku jadi sasaran dari begitu banyak salah pengertian. Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain” (Adams, 2011: 90).

Sebagai pelopor berkepribadian, pesan utamanya sejak ia memulai berorganisasi adalah perlunya memuliakan kepribadian nasional. Di Jong Java, Sukarno secara mengejutkan berhasil memperkenalkan pemakaian peci, kopiah beludru hitam yang kemudian menjadi tanda pengenalnya, dan pada gilirannya menjadi lambang (uniform) identitas nasional. Pesan utamanya dari mengenakan peci hitam ini adalah, bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Memakai peci merupakan pertanda kesediaan untuk bergumul dengan kehidupan rakyat jelata yang terbiasa menutup kepala (Adams, 2011: 61).

Pemikiran awal yang mulai terbentuk di Surabaya keluar menjadi kepompong di Bandung, lantas dari sana berkembang menjadi seorang pejuang politik yang matang (Adams, 2011: 71). Pada 1921, Soekarno hijrah ke Bandung untuk memasuki perguruan tinggi pertama di Tanah Air, Technische Hoogeschool (cikal-bakal Institut Teknologi Bandung), pada masa ketika Bandung yang dingin menghangat sebagai pusat pergerakan intelektual.
Pada awal 1920-an, dua dari tiga tokoh Indische Partij, Tjipto Mangunkusumo dan Ernest François Eugène Douwes Dekker, sepulang dari pengasingannya di Belanda menetap di Bandung; Tjipto diisolasi Belanda di kota ini sejak 1920, disusul kedatangan Dekker pada 1922. Kehadiran kedua tokoh tua ini menjadi mentor dalam diskursus dan pergerakan politik di kalangan kaum muda. Kehadirian institusi pendidikan tinggi di kota ini juga melahirkan ruang publik baru dalam bentuk media cetak dan beragam perkumpulan kaum terpelajar.

Kehadiran THS di Bandung juga disusul oleh kemunculan perguruan tinggi lainnya di Jakarta, yakni Rechtshoogeschool (RHS) pada 1924 dan Geneeskundige Hoogeschool (GHS) pada 1927. Seturut dengan itu, beberapa klub mahasiswa universitas mulai bermunculan di Indonesia.

Kebanyakan klub mahasiswa pada 1920-an itu diarahkan pada aktivitas-aktivitas rekreasi dan di¬dominasi oleh para mahasiswa Belanda. Contoh bagus dari klub semacam itu ialah Corpus Studiosorum Bandungense (CBS) yang berdiri pada 1920. Namun, di luar arus utama klub-klub yang ber¬orientasi rekreasi, muncul pula beberapa study club di kalangan sekelompok kecil mahasiswa yang sadar politik, terutama di Bandung dan Jakarta, yang akan menjadi mitra bagi perhimpunan-perhimpunan mahasiswa di luar negeri dalam pembentukan sebuah “blok nasional”.

Para mantan aktivis Indische Vereeniging/Perhimpunan Indonesia di Belanda memainkan peran penting dalam pembentukan awal study club-study club di Indonesia. Didorong oleh kesadaran nasional para aktivis mahasiswa untuk membebaskan diri dari konstruksi kolonial, pada 1922 Indische Vereeniging mengubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Lebih lanjut, kebutuhan untuk menciptakan batas antara dunia penjajah dan yang terjajah mengharuskan adanya perubahan dalam universum simbolik. Para mahasiswa percaya bahwa menggunakan kata-kata Belanda untuk nama sebuah perhimpunan sekarang tak lagi cocok dengan identitas Indonesia baru.

Untuk mengekspresikan semangat nasionalisme ini, pada 1924 Indonesische Vereeniging (IV) sekali lagi diubah namanya dengan menggunakan kata-kata Indonesia (bahasa Melayu), “Perhimpunan Indonesia” (PI), dan majalahnya, Hindia Poetra, menjadi Indonesia Merdeka.

Salah satu tokoh terpenting pendukung Indonesia Merdeka ini ialah Mohammad Hatta. Dirasuki oleh ide kemerdekaan dan blok-nasional, dia dan rekan-rekannya secara saksama mengikuti perkembangan gerakan-gerakan nasionalis di Tanah Air dan mereka kecewa dengan kerapuhan dari gerakan-gerakan tersebut; bukan hanya gagal membentuk sebuah organisasi berbasis massa yang kuat untuk melawan Belanda, melainkan juga terperangkap dalam spiral rivalitas di antara mereka sendiri. Perdebatan-perdebatan antara inteligensia Muslim dan komunis baik di dalam maupun di luar Sarekat Islam tak bisa terjembatani, dan tak satu pun dari kedua arus tersebut yang mengesankan bagi kebanyakan anggota PI baik secara ideologis mau¬pun secara strategis.

Dengan menolak ideologi Islam dan komunisme serta nasionalisme kesukuan (etno-nasionalisme) sebagai basis bagi Indonesia merdeka, PI sampai pada sebuah konsepsi ideologi yang baru yang menekankan keutamaan pencapaian kemerdekaan politik terlebih dahulu. Menurut konsepsi PI, tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip: yaitu persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian (self-help). Persatuan nasional berarti keharusan untuk menyingkirkan perbedaan-perbedaan partikular dan kedaerahan, dan membentuk sebuah front perjuangan bersatu melawan Belanda. Solidaritas berarti menghapuskan perbedaan-perbedaan di antara rakyat Indonesia dan lebih menghiraukan konflik-konflik kepentingan antara pihak penjajah dan rakyat yang terjajah, dan konflik ini bisa disimbolkan dalam kerangka ras (orang kulit cokelat versus orang kulit putih). Non-kooperasi berarti keharusan untuk mencapai kemerdekaan lewat usaha-usaha banga Indonesia sendiri karena pihak Belanda memang tak akan pernah mau memberikannya secara sukarela. Hal ini mengharuskan penolakan terhadap gagasan koperasi (kerja sama) dengan pihak Belanda, seperti keikutsertaan dalam keanggotaan Volksraad. Kemandirian berarti keharusan untuk membangun sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum alternatif yang berakar kuat dalam masyarakat pribumi yang sejajar dengan struktur pemerintahan kolonial (Ingleson, 1979: 5).

Penjelasan PI tentang prinsip-prinsip ideologis yang melandasi perjuangan kemerdekaan Indonesia merdeka merupakan awal dari pengonstruksian sebuah “blok nasional” sebagai “blok-historis” (historical bloc) dalam pengertian Antonio Gramasci. Konsepsi PI mengenai “blok nasional” sebagai sebuah blok historis Gramsci cenderung menekankan pada ensemble dari keragaman “posisi-posisi subjek”, yang bisa melibatkan baik aliansi-aliansi kelas maupun aliansi-aliansi solidaritas kultural (aliran). Dalam konsepsi ini, proyek Indonesia merdeka perlu mentransformasikan kebersamaan rakyat Hindia dari aliansi-aliansi atas dasar ekonomi menuju aliansi-aliansi atas dasar moral dan intelektual, karena konsep aliansi kelas dianggap tidak cocok untuk situasi di Indonesia yang di dalamnya pembentukan kelas tak pernah menjadi basis utama bagi inkorporasi sosial.

Kehendak untuk mengonstruksi suatu blok nasional dalam kenyataannya tak bisa dibangun dari kekosongan, tetapi harus berjejak dari semaian-semaian sebelumnya dengan mensenyawakan ideologi-ideologi dari gerakan-gerakan (partai-partai) politik ter¬dahulu. Jadi, meskipun tak sepakat dengan tujuan-tujuan dan tabiat dari gerakan-gerakan (partai-partai) politik yang ada sebelumnya, prinsip ideologis PI pada kenyataannya merupakan sebuah sintesis lebih lanjut dari para pendahulunya. Persatuan nasional merupa¬kan tema utama dari Indsiche Partij, non-kooperasi merupakan platform politik kaum komunis, dan kemandirian merupakan tema dari Sarekat Islam. Sementara solidaritas hanya merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama tersebut (Latif, 2005: 260).

Untuk mengimplementasikan ideal-ideal PI di masyarakat Indonesia, para anggotanya menyadari pentingnya membangun sebuah partai persatuan nasional yang baru sebagai badan nasional, yaitu para kaum nasionalis yang radikal dari semua aliran politik bisa bergabung. Kepemimpinan intelektual dari blok nasional ini diharapkan berada di tangan generasi baru inteligensia yang berpendidikan Barat dan sadar politik. Karena pendidikannya yang lebih tinggi, kesadarannya akan sifat dari penindasan kolonial, dan kemampuannya untuk mengambil jarak dari “hipnosis kolonial”, inteligensia muda diharapkan bisa mengambil inisiatif dalam membangkitkan kekuatan massa dan menyediakan sebuah basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif (Legge, 1988: 23-24).
Karena badan semacam itu belum lagi ada, tugas dari para anggota PI ialah untuk menyosialisasikan ide-ide PI di kalangan organisasi-organisasi pemuda dan organisai-organisasi politik serta mempromosikan lingkaran-lingkaran pelajar seperti PI guna menyediakan kader-kader bagi kepemimpinan gerakan-gerakan nasionalis yang baru. Untuk menjalin sebuah jaringan antara para pemikir nasionalis di negeri Belanda dan para aktivis politik di Tanah Air, para mantan anggota PI yang telah kembali ke Tanah Air di¬harapkan memainkan peran sebagai katalis bagi penyebarluasan terbitan-terbitan PI yang merupakan media pertukaran gagasan.

Study club pertama yang didirikan oleh mantan aktivis IV/PI ialah Indonesische Studieclub (ISC) dengan majalahnya, Soeloeh (Ra’jat) Indonesia. Study club ini didirikan di Surabaya pada Juli 1924. Pendiri dan penggerak utamanya ialah Sutomo yang telah pulang dari negeri Belanda pada 1923. Study club ini didirikan dengan tujuan untuk memajukan kesadaran akan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan untuk memajukan rasa tanggung jawab sosio-politik di kalangan orang Jawa yang berpendidikan Barat. Dalam rangka mencari jawaban atas problem bangsa, klub ini menekankan pada nilai praktis dari pengetahuan.

Pembentukan study club di Surabaya ini dengan cepat menular. Study club-study club yang sama muncul di kota-kota seperti Surakarta, Yogyakarta, Batavia, Semarang, dan Bogor. Namun, klub yang paling terkenal ialah Algemene Studieclub (ASC), berdiri di Kota Bandung pada bulan November 1926. Inisiator awal pendirian klub ini tampaknya ialah Iskak Tjokroadisurjo, seorang mantan aktivis PI yang telah pulang ke Tanah Air pada 1925. Namun, para penggerak paling aktif dari klub ini ialah para mahasiswa Bandung, dan yang terutama ialah dua mahasiswa teknik dan arsitektur dari THS, yaitu Sukarno dan Anwari. Selain melibatkan mantan para anggota PI dan mahasiswa radikal di Bandung, klub ini juga didukung oleh kehadiran mentor nasionalis dari kalangan tua, yaitu Tjipto Mangunkusumo. Dalam tahap-tahap pembentukannya, Iskak memang diangkat menjadi ketua dari klub itu. Namun, kelak Sukarno-lah yang menjadi tokoh dominan dari klub tersebut.

Seperti halnya para aktivis mahasiswa di luar negeri yang terobsesi dengan ide tentang blok nasional, Sukarno dan para maha¬siswa aktivis lainnya di Hindia juga menganut ideal yang sama. Pada 1926, Sukarno menulis sebuah esai dalam majalah milik ASC, Indonesia Moeda, dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terbangunnya blok nasional. Tulisan tersebut mencerminkan pemikiran dari banyak anggota ASC.

Dalam esai tersebut, Soekarno menekankan bahwa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat: ‘nasionalistis, islamistis, dan marxistis’. Paham-paham ini pula, menurutnya, yang menjadi roh pergerakan-pergerakan di Asia. Demi persatuan, “Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu ombak-topan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya” (Soekarno, 1926; 1964: 2).

Pada tahun ketika Soekarno menulis esai yang monumental itu, ia mulai memperoleh kematangan mental dalam tiga dimensi. Menurut pengakuannya, “Tahun 1926 adalah tahun di mana aku memperoleh kematangan dalam tiga dimensi….Dalam bidang politik Bung Karno adalah seorang nasionalis. Dalam bidang keagamaan Bung Karno seorang yang percaya pada Tuhan. Tetapi Bung Karno menjadi seorang penganut dari tiga pemikiran. Di bidang ideologi, dia sekarang seorang sosialis” (Adams, 2011: 88-89).
Pada tahun itu, ia mulai menganjurkan nasionalisme yang lebih lebar dan lebih egaliter, keluar dari kepompong etno-nasionalisme dan cengkraman feodalisme.

Di tahun 1926 aku mulai mengkhotbahkan nasionalisme terpimpin. Sebelumnya aku hanya membiarkan para pendengarku untuk memiliki kesadaran akan nasionalisme lebih dari yang mereka ketahui sebelumnya. Sekarang aku tidak hanya membangunkan mereka, aku memimpin mereka. Aku menjelaskan, telah tiba saatnya bila kita membutuhkan sebuah masyarakat baru yang demokratis sebagai pengganti feodalisme yang telah mencengkram kita selama berabad-abad.

Kataku kepada para pendengarku, Tidak lagi kita akan tunduk pada suatu filsafat yang akan membawa kita pada kehancuran kita sendiri. Suatu kehidupan yang terbagi atas kelas-kelas, kasta-kasta dan golongan yang-punya dan yang-tidak-punya akan menghasilkan perbudakan. Fenomena dari kehidupan modern adalah peningkatan harkat manusia. Dia yang tidak mempedulikan hal ini akan dibinasakan di tengah kerumunan rakyat dan bangsa-bangsa yang berjuang untuk memperoleh haknya. Kita membutuhkan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan sepanjang hidup kita. Mari kita lepaskan gelar-gelar.

Selagi aku mengajari para pendengarku untuk menghapuskan sistem feodal, aku bergerak selangkah ke depan. Masalah bahasa. Dalam dialek Jawa saja terdapat 13 tingkatan, tergantung pada siapa kita akan bicara, sedang kepulauan kami memiliki tidak kurang dari 86 bahasa daerah.

Hendaknya rakyat Marhaen dan kaum bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara-saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Bagi kita, yang beranak-pinak seperti kelinci, untuk menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus memiliki satu bahasa persatuan—bahasa Indonesia yang baru” (Adams, 2011: 87).

Dimensi kedua dari mentalitas Bung Karno adalah ketuhanan. Sekitar tahun 1926, “Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada ketuhanan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama” (Adams, 2011: 88).

Pelbagai cobaan hidup yang menimpa dirinya, mulai dari ketidakcocokan perkawinannya dengan Utari dan juga tanggung jawab keluarga yang harus dipikulnya setelah penangkapan Pak Cokro pada 1921, ditambah kesulitan hidupnya sebagai aktivis pergerakan, tampaknya menimbulkan suasana kejiwaan yang lebih sensitif terhadap ketuhanan. Dalam ungkapan Im Yang Tjoe, “Jiwa manusia menjadi matang dalam air mata. Betul, karena dengan peristiwa itu, jiwanya Soekarno telah menjadi semakin matang dalam kedukaan. Ia sekarang banyak memperhatikan hal-hal kerohanian. Rupanya kedukaan telah membuka pikirannya buat mencari ketenangan dari Tuhan” (Im Yang Tjoe, 2008: 36).

Suasama kejiwaan seperti itu bertautan dengan perjumpannya dengan berbagai tokoh lintas agama. Pada momen ini, Sukarno bersentuhan dengan Agus Salim, pastor Van Lith, Goethe dan Tagore yang berkunjung ke Jawa. Dari perjumpaan langsung dan imajiner dengan tokoh-tokoh tersebut, Soekarno menemukan garis persamaan dan perbedaan pandangan, yang melahirkan konsepsi ketuhanannya tersendiri.

Terkait dengan itu, Soekarno menyatakan, “Ketika konsep keagamaanku melebar, ideologi dari Pak Cokro dalam pandanganku menjadi semakin sempit dan semakin sempit. Pandangan pak Cokro tentang kemerdekaan untuk tanah air kami terasa kaku karena ditinjau melalui lensa mikroskop Islam” (Adams, 2011: 88).

Dalam bidang ideologi, sekitar tahun 1926 merupakan fase kematangan Soekarno sebagai seorang sosialis. Dalam hal sosialisme pun ia memiliki pendiriannya tersendiri, tidak mau sekadar mengopi sosialisme sebagaimana diteoritisasikan dalam konteks pemikiran Barat. Tentang hal ini, Soekarno melukiskan pendiriannya sebagai berikut: Di bidang ideologi, dia sekarang seorang sosialis. Kuulangi bahwa aku seorang sosialis. Bukan komunis. Aku tidak akan menjadi komunis. Aku tidak akan menjadi seorang simpatisan komunis. Masih saja ada orang yang berpikir bahwa sosialisme sama dengan komunisme. Mendengar kata sosialis mereka tidak dapat tidur. Mereka melompat dan berteriak, “Aha, aku tahu! Bung Karno seorang komunis!” Tidak, aku bukan komunis. Aku seorang sosialis. Aku seorang yang beraliran kiri.

Orang kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis yang ada, orde imperialistis. Keinginan untuk menyebarkan paham keadilan sosial adalah kiri. Dia tidak perlu komunistis. Seseorang yang memiliki idealisme seperti itu adalah seorang kiri. Bahkan orang kiri tampak aneh bila bersama dengan orang komunis. Kiri-phobi, penyakit takut akan cita-cita kiri, adalah penyakit yang kutentang habis-habisan, seperti juga Islamophobi.

Nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme. Bagaimana suatu negeri yang miskin dan sangat buruk seperti negeri kami dapat menganut suatu aliran selain sosialisme? (Adams, 2011: 89).

(Bersambung…)