Jakarta, aktual.com – Saudaraku, kita hidup di zaman buih keterapungan. Saat huruf-huruf tak jadi kata; kata tak jadi mantra. Kalimat tak jadi ayat; ayat tak menjangkau alamat.
Di seantero negeri, ucapan menggelembung mudah pecah tanpa isi yang bisa ditangkap. Makna menguap dalam keriuhan viral maya. Tindakan tersandera di belantara media sosial; kritik teringkus sebatas caci-maki tanpa substansi.
Orang-orang mudah berganti posisi tanpa konsistensi posisi etis. Pusat perhatian lekas bergeser dari suatu isu ke isu lain seperti ikan berebut umpan. Tak ada kesetiaan menggumuli masalah. Persoalan menjadi debu beterbangan yang menghilang sendiri dihempas angin lalu.
Dalam kerumunan nunut hanyut, kesadaran takluk pada sihir kemasan. Jutaan orang tanpa tumpuan rentan terbius hipnotis pencitraan. Frustrasi gelombang hati yang ringkih mudah berserah pada titah mesiah gadungan.
Yang berjaya adalah dusta. Kesejatian ditinggalkan memosil dalam lumpur waktu. Kedalaman dihindari, kedangkalan dirayakan.
Kemana saja menghadap, “sampah” berserakan mengguritai wajah negeri. Segala yang inti otektik tertindih tersingkir di belam riasan polesan.
Di zaman gelisah kepalsuan, saat orang terempas tunggang-langgang tanpa jangkar jatidiri, jalan terbaik pulang ke akar. Akar keyakinan yang menumbuhkan pohon harapan.
Bahwa kesenjangan antara impian dan kenyataan bisa dipecahkan dengan menghidupkan Spirit, yang menyatukan pikiran dan hati.
Di bawah terang Spirit, katastropi tak perlu terlalu diratapi. Krisis bisa dilihat sebagai derita ibu hamil yang mengandung anak kemajuan. Seperti kata Hegel, sejarah memang mahkamah penjagalan, namun bukannya tanpa tujuan. Kekacauan memberi ruang kemunculan para pencerah dan juru selamat; bintang penuntun yang dapat menyingkap pola-pola tersembunyi yang dapat memandu manusia keluar dari lorong gelap menuju jalan cahaya.
Maka, tetaplah teguh dalam menyusuri gelap malam. Makin jauh kita melangkah, makin dekat dengan fajar. Tak usah terlalu gundah mengarungi kegelapan. Di kelam malam manusia bisa menyadari arti kehadiran bintang penuntun.
Selalu ada sisi terang dari gelap. Di tengah lautan kegelapan bisa saja terbit rembulan pandu penerang. Kalaupun tiada purnama, kita bisa menyibakkan kelam dengan menyalakan lentera sendiri.
Satu pijar lentera kecil bisa menuntun langkah di gulita malam. Jutaan lentera serentak menyala, pancarkan gelombang pencerahan.
Satu hal yang pasti, gelap tak bisa disingkirkan dengan gelap. Gelap hanya bisa dienyahkan oleh cahaya.
Daripada mengutuk kegelapan, marilah masing-masing pribadi tetap eling dan waspada, dengan menghidupkan kembali Spirit kasih- sejati yang bisa menyalakan lentera jiwa.(Makrifat Pagi, Yudi Latif)
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto