Jakarta, Aktual.com – Al-Imam Al-Muhaddits Al-Hafidz Zainuddin Abdurrahim al-Iraqi, guru utama dari Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, memiliki tulisan singkat seputar fatwa untuk memakan makanan yang lebih “mewah” pada hari Asyura dengan niat meluaskan rizki pada hari tersebut.
Dalam Muqaddimah fatwa tersebut, al-Iraqi mengaku sudah mendapatkan pertanyaan ini berkali-kali dari orang awam, apakah hal yang demikian boleh atau diharamkan?
Pada awalnya, al-Iraqi menjawabnya dengan singkat: “Hal yang demikian itu diperbolehkan, jika disertai dengan niat yang baik, maka ada pahala ibadah di sana.”
Jawaban itu pun ditimpali dengan pendapat ulama lain yang mengharamkan. Setelah ditelusuri oleh al-Iraqi, ternyata ulama tersebut salah seorang yang begitu senang mengutip fatwa Ibnu Taimiyah. Dan ternyata dalam Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyah berfatwa dengan jawaban yang terlihat terlalu tergesa-gesa untuk persoalan ini. Ya meskipun sebetulnya yang aneh-aneh dari beliau sangatlah banyak. Nanti saya sebutkan di akhir beberapa pernyataan beliau yang saling kontradiksi satu sama lain dalam persoalan ilmu hadits.
Sebelum menyebutkan jawaban Ibnu Taimiyah soal meluaskan rizki pada hari Asyura, penting rasanya untuk saya sertakan dulu beberapa hadits tentang masalah ini, dan kedudukan hadits tersebut menurut ulama hadits yang diringkas dari kitab Hadiyyah al-Sughra karya Al-Hafidz Ahmad bin Shiddiq Al-Ghumari.
**
Soal meluaskan rizki pada hari ‘Asyura, ada tujuh riwayat yang menunjukkan anjuran untuk melakukan hal tersebut. Dimulai dengan riwayat yang paling shahih dalam bab ini, yaitu hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah yang dinilai oleh Al-Hafidz Al-‘Iraqi sebagai riwayat yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, kemudian sebagai pendukung ada riwayat dari Abi Sa’id Al-Khudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, riwayat Mursal Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir, dan riwayat Mauquf Umar Al-Khattab.
Hadits pertama yaitu hadits Jabir bin Abdillah disebutkan oleh Ibn ‘Abd Al-Barr dalam kitab Al-Istidrak (3-321) dengan sanad beliau hingga Syu’bah dari Abu Zubair dari Jabir, beliau mengatakan: saya mendengar Rasulullah bersabda:
من وسع على نفسه وأهله يوم عاشوراء وسع الله عليه سائر سنته.
“Barang siapa yang yang meluaskan (rizkinya) bagi diri dan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan luaskan rizkinya selama setahun tersebut.”
Sebagaimana penilaian Al-Hafidz Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghumari, hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang semuanya Shahih dan Tsiqah.
Al-Hafidz Abdur Rahim Al-Iraqi, maha guru ilmu hadits abad ke tujuh, menilainya dengan tegas sebagai hadits yang paling shahih dalam bab ini, dan shahihnya sesuai dengan syarat Muslim.
Uniknya, murid dari Al-‘Iraqi, penulis kitab Fath Al-Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani justru berbeda pendapat dengan gurunya dengan mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits Munkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah, namun riwayatnya menyelesihi riwayat perawi yang tsiqah.
Pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar ini ditolak mentah-mentah oleh Al-Hafidz Ahmad Al-Ghumari dengan tiga alasan: Pertama, penilaian Ibnu Hajar tidak disertai dengan argumentasi untuk membantah penilaian ulama sebelumnya. Kedua, tidak teridentifikasi adanya nilai hadits Munkar pada hadits tersebut, baik secara lafadz maupun makna, karena pada kitab-kitab dan riwayat yang lain juga menyebutkan riwayat hadits yang serupa yang membuat penilaian hadits itu munkar tidak terbukti. Ketiga, penilaian Al-Hafidz Ibnu Hajar bisa diterima meskipun tanpa dalil, dengan mengandalkan kemampuan beliau yang sangat mumpuni dalam hadits, dengan catatan penilaian tersebut tidak bertentangan dengan ulama-ulama sebelumnya seperti Al-Baihaqi, Al-Munziri, dan Al-Iraqi yang memberikan penilaian terhadap hadits tersebut disertai dengan argumentasi.
Hadits kedua, yaitu hadits Abu Sa’id Al-Khudri diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya dengan sanadnya melalui Abdullah bin Nafi’ dari Ayyub bin Sulaim, dari seseorang (tidak meyebut nama), dari Abu Sa’id berkata: Rasulullah bersabda:
من وسع على عياله في يوم عاشوراء وسع الله عليه في سنته كلها.
“Barang siapa yang meluaskan (rizkinya) bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan meluaskan (rizkinya) pada tahun tersebut setiap harinya.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim Al-Tirmidzi dalam Nawadir Al-Ushul dan al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman dengan sanad yang sama.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Amali menilai, seandainya bukan karena seorang perawi yang tidak disebut namanya tersebut, maka sanad hadits ini ternilai cukup baik.
Namun, jalur tersebut menjadi kuat dengan riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Al-Thabrani dalam kitab Al-Austath dengan sanadnya dari Hisyam bin Martsad, dari Muhammad bin Ismail Al-Ja’fari’, dari Abdullah bin Salamah, dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah, dari ayahnya, dari Abu Said Al-Khudri dengan lafadz hadits yang sama.
Dengan dukungan riwayat dari al-Thabrani dan pemahaman yang didapat dari ibarat Ibnu Hajar, maka setidaknya menurut al-Hafidz Ahmad Al-Ghumari hadits tersebut bernilai hasan.
Hadits ketiga yaitu hadits Abu Hurairah disebutkan oleh Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil dengan sanadnya, dan Abu Nuaim dalam Tarikh Ashbihan dengan sanadnya hingga Muhammad bin Zakwan dari Ya’la bin Hakim dari Sulaiman bin Abi Abdillah dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:
من وسع على عياله وأهله يوم عاشوراء وسع الله عليه سائر سنته.
“Barang siapa yang meluaskan (rizkinya) kepada sanak keluarga dan kerabatnya pada hari ‘Asyura, maka Allah akan meluaskan (rizkinya) pada seluruh hari pada tahun tersebut.”
Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitab Al-Maudhu’at, kitab yang mengumpulkan hadits-hadits palsu, melalui jalur sanad Ibn ‘Adi. Di sana ia mengutip pendapat Al-Uqaili yang mengatakan bahwa Sulaiman bin Abi Abdillah tidak diketahui biografinya, dan haditsnya ghairu mahfudz, alias Syadz.
Al-Hafidz Ahmad bin Shiddiq Al-Ghumari menganggap penilaian Ibnu Jauzi dan tanggapan Al-Uqaili adalah kesalahan yang sangat kompak.
Pertama, Sulaiman yang disebutkan tersebut, disebut oleh Imam Al-Bukhari sebagai orang yang pernah bertemu sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar, jadi biografinya sebetulnya ada. Abu Hatim juga menyebutkan hal yang sama, namun dengan tambahan bahwa Sulaiman tersebut kurang terkenal.
Penilaian kurang terkenal tersebut berbeda dengan penilaian Al-Uqaili sebagai orang yang tidak diketahui biografinya. Kurang terkenal bisa jadi karena riwayat hadits melalui jalur Sulaiman tidak begitu banyak, sehingga ulama hadits sulit untuk menilai keadaan dari Sulaiman tersebut.
Jika ia tidak memiliki banyak hadits sehingga sulit untuk bisa menilai sekuat apa riwayatnya, lalu dari mana bisa dihukumi jika hadits tersebut palsu? Bukankah penilaian asalnya bagi seorang ulama itu adalah dapat dipercaya?, oleh karena ini Ibnu Hibban memasukkan Sulaiman bin Abi Abdillah ini kedalam kitab Al-Tsiqat. Dan kemudian Al-Hafidz Al-Iraqi menilai hadits ini Hasan.
**
Saya rasa dengan menyebutkan tiga hadits ini sudah cukup sebagai bukti bahwa amalan untuk meluaskan rizki bagi keluarga sangat dianjurkan pada hari ‘Asyura, dan sisa hadits yang lain bisa dirujuk ke kitab Hadiyyah Al-Shugra karya Al-Hafidz Ahmad bin Shiddiq Al-Ghumari.
Kembali kepada Fatwa Ibnu Taimiyah.
Dalam Majmu Fatawa (25/299 Maktabah Syamilah) Ibnu Taimiyah ditanya tentang hukum mandi, memasak makanan, meluaskan nafkah untuk keluarga, memperlihatkan senang pada hari Asyura, apakah hal yang demikian boleh? Dan apakah ada hadits shahih akan hal yang demikian?
Ibnu Taimiyah menjawabnya dengan beberapa point:
Pertama, Tidak ada yang disunnahkan pada hal yang demikian, dan tidak ada contoh dari pada imam besar dalam islam, tidak ada juga ulama hadits yang meriwayatkan untuk meluaskan nafkah, mandi, dll.
Point ini terbantah dengan hadits yang telah disebutkan di atas. Terlebih Jabir bin Abdullah, pada riwayat tersebut menyebutkan telah mencoba untuk meluaskan rizki, dan khasiatnya terbukti manjur, begitu juga perawi di atasnya membuktikan hal yang sama, yakni Abu Zubair dan Syu’bah.
Kedua, Ibnu Taimiyah mengaku riwayat yang sampai kepadanya hanya riwayat mauquf dari Muhammad bin Al-Muntasyir. Dan beliau adalah orang Kufah yang mana di sana ada Rafidhah. Ibnu Taimiyah curiga, bisa jadi Muhammad bin Muntasyir itu mendengar riwayat tersebut dari orang-orang yang membunuh Sayyidina Husein.
Point ini dibantah oleh Al-Iraqi: pertama, Ibnu Taimiyah telah adil dengan mengakui kekurangan dirinya bahwa ia hanya menemukan satu riwayat, tapi itu sama sekali tidak menafikan adanya riwayat yang lain, sebab riwayat yang lain terbukti ada sebagaimana yang disebutkan di atas.
Kemudian ia mencurigai Muhammad bin Muntasyir karena hanya ia orang Kufah. Menurut Al-Iraqi, jika seandainya kita menolak hadits-hadits orang Kufah secara Mutlaq, pasti akan hilang sebagian hadits Rasulullah. Dan meskipun di sana ada Syi’ah Rafidhah pasa masa itu, bukankah pada masa yang sama ada para ahli fiqih seperti Ibrahim Al-Nakhai, dan al-‘Amasy. Kemudian adanya kemungkinan ia mendengar dari orang yang membunuh Husein, ini hanya dugaan kosong tanpa bukti, sebab kita juga bisa menduga, bahwa ia juga mendegar dari ahli hadits yang terpercaya seperti Masruq al-Ajda’.
Ketiga, Ibnu Taimiyah juga menolak pengakuan Muhammad bin Muntasyir yang mengaku telah mengamalkan amalan meluaskan nafkah pada hari Asyura selama 60 tahun dan terbukti manjur. Menurut Ibnu Taimiyah, itu bisa jadi karena hal lain.
Al-Iraqi membantah, jawaban itu bisa diterima jika tidak ada penguat dari hadits. Tapi nyatanya ada hadits yang menjelaskan sebab dari luasnya rizki tersebut. Dan ini lebih diterima dari pada harus menerima dugaan Ibnu Taimiyah yang tanpa bukti tersebut.
**
Kesalahan Ibnu Taimiyah dalam persoalan hadits terjadi sangat banyak.
Kejadian seperti terjadi mungkin karena kelemahan beliau dalam ilmu hadits, atau karena fanatisme golongan yang membuatnya mengingkari banyak hadits.
Ada beberapa contoh yang disebut oleh al-Hafidz Ahmad bin Shiddiq Al-Ghumari:
Dalam Minhaj Sunnah, Ibnu Taimiyah menuliskan bahwa tidak ada satupun hadits baik dari Nabi maupun sahabat yang menyebut al-Abdal, yang ada hanya riwayat lemah yang berujung pada Hasan Al-Bashri. Padahal hadits tersebut ada dan disebut dalam kitab-kitab induk hadits seperti Munad Imam Ahmad, dan Sunan Abi Daud.
Tidak berhenti disitu, yang lebih anehnya lagi, Ibnu Taimiyah justru menyebutkan hadits-hadits tersebut dibukunya yang berjudul al-Sharim Al-Maslul, dan Majmu’ Fatawa, dan seolah ia lupa dengan ucapan beliau dalam Minhajnya bahwa Al-Abdal tidak ada dalam kitab-kitab hadits.
Dalam contoh yang lain, Ibnu Taimiyah juga pernah mengaku bahwa hadits yang menyebut keutamaan Sayyidina ‘Ali hanyalah satu hadits. Padahal ia sebetulnya yakin, bahwa hadits-hadits yang menyebut keutamaan Sayyidina Ali sangatlah banyak, bahwa ulama-ulama terdahulu seperti Imam Ahmad menulis kitab khusus yang menyebut hadits-hadits keutamaan Sayyidina Ali.
**
Fahrizal Fadil
Minggu, 7 Agustus 2022 (9 Muharram 1444 H)
Madinah Buuts al-Islamiyah.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin