Allah Ta’ala berfirman:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ”
Artinya: “Allah Mahameluaskan rizki untuk orang-orang yang dikehendaki, dan juga menyempitkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tahu terhadap segala sesuatu”(QS. Al ‘Ankabut:62).
Sebagaimana seorang mukmin adalah Abdul Basith, begitu juga dirinya adalah abdul Qobidh, sehingga dirinya harus mampu menghambakan diri pada setiap keadaan lapang dan sempit. Seorang mukmin jangan sampai menjadi hamba dari pada nikmat itu sendiri, sehingga hanya beribadah tatkala mendapatkan kenikmatan, dan kufur ketika dicoba dengan kefakiran.
Allah telah berfirman:
“وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ ”
Artinya: “Dan sebagian dari manusia, ada orang yang menyembah Allah pada keraguan. Sehingga ketika kebaikan (kenikmatan) menimpanya, maka dirinya akan merasa tenang dengan kebaikan tersebut. Dan apabila cobaan menimpa dirinya, maka dia akan memalingkan mukanya. Dia adalah orang yang celaka di dunia dan akhirat, dan itu adalah sebenar-benar kerugian”(QS. Al Hajj:11).
Orang yang hanya menjadi hamba nikmat bukan hamba Dzat yang Memberi nikmat, maka sesungguhnya dirinya adalah orang yang telah menuhankan hawa nafsunya. Sehingga kebahagiaan dan ketenangannya hanya dengan dunia, dan ketika dunia itu tidak ada di tangannya, maka dirinya akan merasa resah dan gelisah, yang pada akhirnya mengkufuri kenikmatan yang lebih besar, yaitu kenikmatan iman dan islam yang telah Allah karuniakan kepadanya. Wallahu A’lam
(bersambung)
Laporan: Abdullah Alyusriy
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid