Where dreams come from

Jakarta, Aktual.com — Bagaimana sikap seorang Muslim dengan menafsirkan mimpi, apakah Muslim tersebut berdosa?. Sangat disayangkan dalam masa-masa terakhir ini banyak orang yang berusaha menabirkan mimpi.

Yang kami maksud tentunya bukan para ahli dalam masalah tabir dan ta’wil, tetapi mereka yang terlalu berani menabirkannya tanpa memperhatikan dan memahami permasalahannya. Dan, mereka menyangka bahwa masalah ini adalah perkara yang mudah.

Menurut Ustad Sulaiman, umat Islam lupa bahwa selama mimpi ini bagian dari nubuwwah (kenabian), maka tidak boleh terlalu berani menta’wilnya kecuali dengan dasar ilmu dan kekuatan pemahaman.

“Alangkah banyak kita dengar orang-orang yang menabirkan mimpi ini tidak benar, akhirnya merusak urusan dunia orang yang bermimpi. Akibatnya dia memutuskan hubungan silaturahmi, yang sebetulnya diperintahkan untuk menyatukannya. Semua itu disebabkan ta’bir yang salah,” kata Ustad Sulaiman kepada Aktual.com, di Jakarta, Kamis (28/01).

“Maka ketika mimpi ini ternyata mengambil bagian terbesar dalam kehidupan sebagian manusia, jelas sudah seharusnya diberlakukan pedoman untuk menabirkan mimpi tersebut. Dan sebelum kita menerangkan patokan-patokan atau kaidah dalam menabirkan mimpi ini. Kita tanya pada diri kita masing-masing, mengapa ada sebagian orang yang berani menabirkannya tanpa ilmu? Ini adalah pertanyaan yang mesti dijawab karena melihat bahayanya perkara ini. Apalagi sudah banyak yang terjerumus ke dalamnya.”

Adapun sebab-sebabnya, menurut Ustad Sulaiman, adalah sebagai berikut:

1. Lemahnya sisi keimanan

“Keimanan yaitu penggerak dan pelindung hati sesudah adanya taufik dari Allah SWT agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak sepantasnya. Seandainya semua pelaku maksiat ingat bahwa imannya tidak mengizinkannya untuk berbicara atas nama Allah SWT tanpa ilmu, tidak mungkin dia akan berani mencoba-coba melakukannya. Bahkan, tentu dia akan lebih memilih apa yang pantas baginya dalam urusan agama dan dunianya.”

2. Lalai dari kehidupan akhirat

“Sesungguhnya ahli ta’wil yang kekanakkan, yakni mereka yang tidak mempedulikan dan tidak mempertimbangkan permasalahan ini dengan kadar yang sesuai, mereka pada hakekatnya adalah orang-orang yang lalai dari kampong akhirat. Lalai bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allah SWT.”

“Boleh jadi mimpi itu menjadi dakwah yang mengajaknya untuk konsisten (istiqamah) atau agar yang melihatnya melepaskan diri dari berbagai kemungkaran yang dijalaninya.”

“Sehingga jika orang yang mena’birkannya ternyata salah, tidaklah ada jalan lain kecuali yang bermimpi tetap dalam keadaannya. Selanjutnya dia tidak mungkin konsisten dalam ketaatan dan tidak dapat melepaskan diri dari kemaksiatan. Dari sinilah seorang penabir menjadi sebab kebinasaan dan tersiksanya dia pada hari kiamat. Dari sini pula, seorang pena’bir akan ditanya tentang ta’birnya yang salah selama dia tahu bahwa dia bukan ahlinya.”

3. Cinta kemasyhuran

“Ini adalah kerusakan besar yang menimpa sebagian penabir di zaman kita. Hal ini adalah karena banyaknya mimpi di zaman ini.”

4. Kurangnya ilmu

“Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu tentang syariat yang mengantarkan seseorang untuk mengenal RAbb-Nya (Allah SWT) dan mengenal syariat-Nya. Maka jika mereka mengetahui hakekat Zat yang diibadahi (Yang Disembah) dan hakekat syariat-Nya tentulah tidak akan berani berbuat demikian (menabirkan tanpa ilmu).”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al Isra : 36)

Alangkah indahnya jika kita mengingat ucapan Imam Malik ketika ditanya, “Apakah setiap orang boleh menabirkan mimpi ? Dan apakah dengan Nubuwwah dia bermain-main ? “Beliau mengatakan : “Tidak ada yang mena’birkan kecuali orang yang memang menguasai ilmunya.”

“Maka kalau dia melihat kebaikan dia ceritakan. Adapun kalau dia melihat sesuatu yang yang dibenci maka ucapkanlah kebaikan atau diam.” Dikatakan kepada Beliau : “apakah boleh menabirkan suatu mimpi dengan kebaikan sedang menurutnya hal itu merupakan sesuatu yang dibenci, hanya karena ucapan seseorang bahwa mimpi itu adalah berdasarkan bagaimana kamu ta’wilkan?.”

“Kata Beliau : “Tidak boleh. Mimpi itu adalah suatu bagian dari kenabian, maka janganlah bermain-main dengan masalah Nubuwwah!.”

(Sumber: Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108); Tafsir Al Qurthubi (9/126), At Tamhid (1/288); Ensiklopedia Adab Islam Menurut Al Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I- Pasal XI, hal. 529-539, Adul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Penerbit: Pustaka Imam Asy Syafi’i, telah diedit untuk keselarasan; Teks hadits dari www.mutiarahadits.com)

Artikel ini ditulis oleh: