Jakarta, Aktual.com – Menteri BUMN, Rini Soemarno secara resmi telah menandatangani akta pengalihan saham seri B yang terdiri atas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65%, PT Bukit Asam Tbk sebesar 65,02%, PT Timah Tbk sebesar 65%, serta 9,36% saham PT Freeport Indonesia yang dimiliki pemerintah kepada PT Inalum (Persero).
Dengan ditandatanganinya akta tersebut, Holding BUMN Industri Pertambangan resmi berdiri dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang menjadi induk perusahaan (holding) BUMN Industri Pertambangan, serta PT Antam, PT Bukit Asam dan PT Timah, menjadi anak perusahaan (anggota holding).
“Proses holding yang sudah lama dimulai dengan penyerahan roadmap pengembangan BUMN oleh Kementerian BUMN ke Komisi VI DPR pada akhir 2015 ini akhirnya telah mendekati akhir. Selanjutnya akan dilakukan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Antam, Bukit Asam, dan Timah secara bersamaan dengan agenda melakukan perubahan anggaran dasar sehubungan dengan telah beralihnya kepemilikan RI kepada PT Inalum (Persero) yang sahamnya 100% dimiliki negara,” kata Menteri Rini secara tertulis, Selasa (28/11).
Rini membatah bahwa proses holding tanpa melibatkan DPR, dia menjelaskan bahwa proses komunikasi dengan Komisi VI sudah intensif, baik melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rapat Kerja, maupun beberapa kali Focus Group Discussion (FGD).
Selain itu, setelah terbit PP No 47 Tahun 2017, kemudian dilanjutkan dengan proses administrasi termasuk akta pengalihan saham yang telah ditandatangani. Persetujuan Holding BUMN Industri Pertambangan akan dibawa ke RUPSLB Antam, Bukit Asam, dan Timah secara bersamaan pada tanggal 29 November 2017 di Jakarta.
Kemudian dia menegaskan, meski statusnya berubah, ketiga anggota holding itu tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang sifatnya strategis. Dengan begitu, negara tetap memiliki kontrol terhadap ketiga perusahaan itu, baik secara langsung melalui saham dwi warna, maupun tidak langsung melalui PT Inalum (Persero) seperti diatur dalam PP 72 Tahun 2016.
“Segala hal strategis yang dilakukan oleh perusahaan anggota holding, semua tetap dalam kontrol negara sama dengan sebelum menjadi anggota holding, termasuk yang terkait dengan DPR apabila akan diprivatisasi. Perubahan nama dengan hilangnya “Persero” juga tidak memberikan konsekuensi hilangnya kontrol negara dan kewenangan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Rini.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby