Di metro pagi PAN dibilang plin plan. Karena menentang perpu pembubaran ormas dan presedential threshold.
Menurut saya pandangan seperti itu seperti itu terkesan tidak mengenali watak sesungguhnya dari UUD 1945 hasil amandemen empat kali yang sekarang sudah menjelma menjadi UUD 202 alias UUD 1945 palsu.
Betapa sebuah koalisi politik yang dibangun oleh partai-partai dalam sistem politik yang sejatinya berwatak parlementer dan berbasis multi-partai alias banyak partai, menjadi suatu hal yang sah-sah saja bagi partai yang terlibat dalam sebuah koalisi untuk bercerai dari. Inilah logikq parlemen ala liberal produk UUD 1945 hasil 4 kali amandemen yang notabene khas eropa barat.
Jadi meski semula PAN berkomitmen untuk membvangun koalisi dengan partai-partai pendukung dan pengusung Jokowi-JK, tapi ketika kemudian keluar dari pemerinthan maka hal itu dipandang bukan hal luar biasa. Justru memang begitulah pakem politik dari sistem parlementer dan multi-partai ala Eropa Barat atau yang kerap disebut Westminster Political System.
Artinya, kapan saja bisa pecah kongsi karena beda kepentingan. Namun bisa juga karena secara ideologis ternyata pada perkembangannya memang bertentangan..
Yang justru menarik jadi isu buat dibahas, apa logika parlementer ala eropa barat macam sekarang ini memang khas berjiwa indonesia?
Hemat saya. Koalisi yang selama ini terbangun dalam kerangka sistem politik yang dipayungi oleh UUD 1945 hasil empat kali amandemen atau UUD 2002 itu, sejatinya hanya mengkondisikan para politisi parpol buat bersatu dalam perjalanan. Bukan bersenyawa dalam hajat dan tujuan strategis.
Jadinya ga fair nuntut kesetiaan PAN dalam kerangka lha wong ini koalisi. Bukan persenyawaan hajat dan tujuan seperti semangat dari UUD 1945 asli. Dengan makna lain, sejak diberlakukannya UUD 1945 hasil empat kali amandemen, sejatinya tidak pernah terjadi suatu koalisi politik yang sesungguhnya.
Sebab koalisi mensyaratkan adanya platform ideologis. Sedangkangkan UUD 1945 hasil empat kali amandemen sejatinya berwatak NIR-IDEOLOGI. Sehingga yang terjadi kemudian bukan koalisi, melainkan kohabitasi/Cohabitation (Perkawinan tanpa ikatan pernikahan alias kumpul kebo). Karena dasarnya adalah Kiumpul Kebo, maka partai-partai tersebut sah-sah saja untuk melakukan perselingkuhan.
Nah kalau persenyawaan hajat dan tujuan nasional memang merupakan ruh dan mencerminkan corak kejiwaan bersama kita sevagai bangsa memancar dalam UUD 1945 asli. Maka sudah saatnya sekarang mewacanakan kembali konsepsi partai pelopor sebagai sistem kepartaian baru. Seperti pernah diwacanakan Bung Karno pada dekade 1930-an.
Hendrajit