Jakarta, Aktual.co —Kalau panggung politik nasional sekarang diramaikan oleh pertarungan antara kubu KMP (Koalisi Merah Putih) dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat), pertarungan serupa dalam wujud yang lebih esensial dan ideologis juga terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tetapi hal itu tak bisa diterima Belanda yang masih ingin menjajah Indonesia.

Dalam perjuangan pasca proklamasi 1945 inilah muncul figur seperti Sjahrir dan Tan Malaka. Sjahrir dalam brosurnya “Perjuangan Kita” (diterbitkan November 1945) mengemukakan idenya tentang revolusi demokratis, yang menekankan arti penting demokrasi untuk melawan kecenderungan fasisme warisan Jepang yang masih membekas.  Sjahrir menyimpulkan, satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia adalah melalui “diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggris tidak terundang buat mendukung Belanda secara penuh.”

Selanjutnya secara logis, sikap Sjahrir itu menuntut lahirnya kebijaksanaan politik yang liberal terhadap modal asing, pengakhiran kekerasan corak pemuda, terutama terhadap orang-orang kulit putih, mendirikan lembaga-lembaga politik yang dapat diterima Barat, dan sebagainya.

Pandangan Sjahrir ini bertolak belakang dengan visi Tan Malaka tentang revolusi. Bagi Tan Malaka, perombakan masyarakat Indonesia yang bermakna hanya mungkin terjadi melalui suatu revolusi total, di mana bukan saja si penjajah yang diusir tetapi juga mengikis habis sisa-sisa kebudayaan lama yang tidak menguntungkan. Seperti, feodalisme yang menyuburkan mentalitas budak dalam masyarakat selama ini.

Bagi Tan Malaka, kemerdekaan bukan hanya berarti politik, tetapi juga ekonomi, sosial, dan lebih dari itu mental. Revolusi total seperti itu hanya bisa terjadi dan berhasil jika massa dapat digerakkan, ada organisasi yang kuat untuk menjaga jalan dan disiplin revolusi secara hukum besi, dan ada pimpinan revolusi. Tan Malaka berpikir dalam kerangka itu dan setia kepada ide revolusinya. Dia menerjunkan diri dengan sepenuh hati ke dalamnya.

Ide-ide revolusi yang berani dari Tan Malaka mendapat sambutan baik dari kalangan pemuda dan masyarakat, karena ini sesuai dengan gejolak suasana hati rakyat pada masa itu. Banyak kalangan, terutama pemuda dan lasykar, mulai melihat Tan Malaka sebagai alternatif baru dalam revolusi. Jauh berbeda dengan Sjahrir yang mengutamakan berunding atau diplomasi.

Salah satu tanda meningkatnya pengaruh Tan Malaka adalah tulisan Muhammad Yamin di surat-surat kabar di akhir tahun 1945, yang berjudul “Tan Malaka: Bapak Revolusi Indonesia.” Tan Malaka, yang menurut pengakuannya sendiri tidak memiliki pengikut (kecuali mungkin beberapa gelintir pemuda) dan organisasi sebagai landasan kekuatan politik, berhasil memainkan peran besar seperti di atas lebih banyak karena kekuatan yang dibawa oleh idenya, di samping suasana legendaris dan misteri yang melekat pada namanya.

Pertarungan politik yang berangkat dari perbedaan visi antara Sjahrir dan Tan Malaka pun tak terhindarkan lagi. Kelambanan pemerintahan Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu faktor mengapa banyak pemuda, lasykar, dan massa memihak kepada visi revolusi Tan Malaka.

Meski konsistensinya dalam perjuangan, nasib Tan Malaka berakhir tragis. Dalam proses pertarungan politik kemudian, Tan Malaka terpojok karena berbagai tudingan yang tampak diada-adakan terhadapnya. Tan Malaka disangkut-pautkan dengan aksi-aksi oposisi yang dikatakan menunjukkan sikap tidak loyal, tidak bertanggung jawab, dan melemahkan pemerintah.

Sesudah terjadinya pemberontakan PKI pada 18 September 1948, suasana saling curiga makin memanas.  Tan Malaka bernasib nahas, mati terbunuh di tangan sekelompok tentara republik sendiri. Padahal waktu itu ia juga sedang memimpin sekelompok gerilyawan, dalam usaha meneruskan ide revolusinya memerdekakan tanah airnya. ***

(Dicuplik dari buku “Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi.” Penyunting: William H. Frederick, Soeri Soeroto. Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1991).

E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com

Artikel ini ditulis oleh: