Jakarta, Aktual.co — Sorban, kuda dan keris tidak bisa lepas dari sosok Raden Mas Antawirya.
Bulan ini tepatnya tanggal 11 November adalah hari kelahiran putra sulung Hamengkubuwono III itu. Ia adalah sebuah petanda perlawanan terhadap yang asing sebelum republik Indonesia berdiri. Sebuah perlawanan yang diawali dengan pertentangan akan batas tanah alias patok.
Patok atas tanah memang bukan hal yang sepele bagi Mas Antawirya yang Jawa itu. Tanah apalagi milik leluhur adalah harta yang tidak bisa ditukar oleh apapun bila perlu nyawa taruhanya. Seperti kata pepatah Jawa “Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati” . Sebab itu kemudian pria yang dikenal dengan nama Dipanegara menjadi legenda di tanah Jawa.
Ia mengobarkan perang tehadap Pemerintahan Hindia Belanda yang saat itu menguasai penuh pulau Jawa. Bibit perlawanan memang tampak sejak ia masih muda. Sebagai keturunan raja ia menolak tinggal di kraton. Ia memilih tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo.
Di Tegalrejo Belanda memasang patok tanah untuk pembangunan jalan. Patok jalan itu melintasi pemakaman leluhur Dipanegara. Hal itulah yang kemudian membuatnya marah. Ia ganti patok tanah itu dengan tombak yang menantang .Perlawanan terbuka tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya oleh siapapun. Sikap Mas Antawirya membuat Belanda geram. Disinilah kemudian Dipanegara mencetuskan perang sabir. Sebuah maklumat perang yang menggelora dari Tegalrejo hingga Pacitan. Perang yang ia sebut sebagai perang terhadap yang kafir.
Berkobarnya perang Sabil disebut sebagai perang modern pertama yang dilakukan di tanah Jawa. Mulai dari perang terbuka, perang gerilya dan perang urat syaraf diterapkan Dipanegara kala itu. Selama lima tahuan dari 1825-1830 perlawanan terhadap yang asing terus dikobarkan. Ia sempat akan ditangkap pada tanggal 20 Juli 1825 di rumahnya namun berhasil melarikan diri.
Bersama dengan pengikut setianya ia menghimpun kekuatan di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Disini Dipanegara mendapatkan dukungan dari S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Mendapatkan perlawanan tersebut Belanda bahkan menggelar sayambara untuk siapapun yang dapat menangkap Dipanegara akan mendapatkan imbalan 50.000 golden.
Perlawanan mulai memudar pada tahun 1829, setelah Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang Diponegoro sejatinya adalah perang tentang harga diri bangsa. Ketika tanah yang dititipkan leluhur terus dikuasai oleh si asing. Mereka yang dengan kekuatan senjata saat itu dan dengan kekuataan ekonomi saat ini terus merampas apa yang menjadi milik bangsa. Tambang emas, minyak, gas dan beratus sumber daya alam lain terus dirampok oleh yang antah berantah asalnya. Penjajahan yang saat ini didepan mata sering mengatasnamakan kemaritiman.
Oleh: Wahyu Romadhony