# Ketahanan energi
Agaknya pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan ekploitasi sumber daya alam dan memastikan bahwa energi sebagai modal dasar pembangunan sebagaimana yang disinggung di awal. Pemerintah perlu merubah paradigma pola instan dengan menjual komoditas mentah dan diharapkan pemerintah bertindak serius mendorong hilirisasi agar memberi nilai tambah melalui multiplier effect.

Paradigma penjualan komoditas mentah demi mengejar penerimaan ini bisa dilihat pada kinerja tahun 2017 lalu. Diketahui PNBP minerba sebesar Rp40,6 triliun atau 125% dari target APBNP 2017 (Rp 32,7 triliun) dan mengalami kenaikan 48,3% dari PNBP tahun 2016 (Rp 27,2 triliun). Adapun komposisi penerimaan minerba terdiri dari royalti Rp 23,2 triliun, iuran tetap Rp 0,5 triliun dan penjualan hasil tambang sebesar Rp 16,9 triliun. Tentunya pencapaian ini tidak terlepas dari lonjakan harga batubara.

Yang menjadi ironis, sebagian besar produksi batubara diekspor dan hanya 97 juta ton dimanfaatkan untuk konsumsi domestik dari volume produksi nasional 461 juta ton. Bahkan lebih daripada itu, eksploitasi batubara tidak lagi mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Yang mana harusnya produksi batubara direncanakan terus menurun, yakni dari semula 2015 sebesar 425 juta ton, 2016 sebesar 419 juta ton, 2017 menjadi 413 juta ton, 2018 dipatok 406 juta ton dan 2019 ditargetkan menurun menjadi 400 ton. Namun faktanya tahun 2017 melebihi patokan sebesar 461 juta ton dan pada tahun ini juga diproyeksi sebesar 477 juta ton melebihi patokan RPJMN yang hanya sebesar 406 juta ton.

“Apabila batubara ini harganya bisa diatur dengan baik, tarif listrik tak perlu naik. Keuntungan kami akan cukup. Namun apabila harga batubara turun, kami bisa berinvestasi untuk elektirifkasi. Kebutuhan kami tidak banyak kok, 80-90 juta ton, sedangkan produksi nasional 470 juta Ton. Itu hanya 25 persen. tidak mengganggu keuntungan pengusaha,” ujar direktur utama PLN Sofyan Basyir.

Dirut PLN Sofyan Basir pernah mengatasi soal kenaikan harga batubara, termasuk usulan soal DMO batubara untuk PLTU. Waktu itu Pemerintah menyatakan, regulasi bakal terbit awal 2018. Sekarang sudah Februari, wajar saja kalau PLN menagih janji tersebut. Dalam usulannya, PLN mengajukan agar harga DMO batubara menggunakan skema biaya produksi ditambah keuntungan alias cost plus margin. Besar margin yang diusulkan sekitar 15%-25% dari biaya produksi. Dalam bisnis, apalagi skala besar, keuntungan 15%-25% jelas sangat menggiurkan. Tapi namanya juga manusia, kalau bisa dapat banyak kenapa harus puas dengan yang sedikit? Jika keuntungan dari menjual batubara bisa superjumbo, kenapa pula harus manut dengan usulan PLN yang cuma 15-25%?.

Lantas siapa yang paling diuntungkan dengan kebijakan pemerintah untuk mengekspolitasi sumberdaya alam batubara Indonesia? Mengapa ekonomi tidak tumbuh, PLN merintih dan rakyat terancam kenaikan tarif dasar listrik?

Selanjutnya…. Batubara Naik, Tarif Listrik Naik, Rakyat…

Artikel ini ditulis oleh:

Eka