Gojek

Jakarta, Aktual.com Keputusan Menteri Perhubungan mengenai penyesuaian tarif ojek online (Ojol) yang diperkirakan mencapai 30 persen bisa kontraproduktif. Antara lain sepinya tarikan pengemudi Ojol akibat penurunan permintaan.

Kenaikan tarif ojol naik juga seharusnya tidak melebih inflasi sehingga tidak memberatkan konsumen. Apalagi, daya beli konsumen belum pulih sepenuhnya.

“Jangan sampai kenaikan tarif ini justru akan membuat orderan menurun, karena tarif baru hampir sama dengan tarif taxi,” kata pengamat transportasi yang juga Ketua Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Darmaningtyas, ketika diminta pendapatnya pada Kamis sore (18/8), terkait kenaikan tarif Ojol yang akan diberlakukan pada akhir bulan nanti.

Menurut Darmaningtyas, saat ini, sejumlah usaha makanan minuman sedang berjuang setelah pandemi. Apalagi, banyak mereka berjualan melalui aplikasi. Jika tarif naik tinggi, melewati angka inflasi, tentu saja akan memberatkan. Orderan mereka yang berjualan di platform makin sepi. Dampak buruk lain, kenaikan tarif juga akan menambah inflasi.

“Kenaikan terlalu tinggi akan mengurangi permintaan penggunaan Ojol dari konsumen yang berpindah ke moda transportasi lain. Kenaikan tarif ini bisa membuat penjualan makanan melalui aplikasi turun, terutama membuat pelaku UMKM terdampak dan kesulitan berusaha. Apalagi disaat mereka mencoba bangkit usai pandemi,” ucap Darmaningtyas.

Menurut Darmaningtyas, pemerintah juga perlu mempertimbangkan mengenai kondisi daya beli masyarakat yang saat ini belum pulih sepenuhnya akibat pandemi. Apalagi, daya beli tertekan seiring dengan kenaikan harga-harga.

“Ini bisa berdampak langsung kepada menurunnya daya beli masyarakat, karena kalau kita lihat sekarang ini daya beli justru menurun yah. Jadi saya rasa pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan kenaikan tarif ojek online ini dengan mateng, karena satu sama lain berkesinambungan,” tegas Darmaningtyas.

Ia mengingatkan, pemerintah juga perlu terus memperbaiki hubungan indstrial antara pengemudi dan aplikator sehingga sama-sama saling menguntungkan. Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tapi mitra (pengemudi) tetap tidak sejahtera.

Jika tarif terlalu murah, yang senang hanya penumpang. Tetapi jika terlalu mahal, penumpang tidak senang dan hanya pengemudi serta pemilik aplikasi yang diuntungkan. Harus ada jalan tengah.

Untuk menjembatani, agar tidak terjadi penurunan permintaan, maka pemerintah seharusnya mempertimbangkan lagi tingginya kenaikan tarif. Bisa juga skemanya disesuaikan, seperti batas jasa minimal dihitung pada 4 kilometer pertama dibandingkan 5 kilometer pertama untuk mengurangi dampak kenaikan tarif.

Analis kebijakan transportasi dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan melihat, keputusan Kemenhub itu sebetulnya tidak menguntungkan Ojol. Karena kenaikan tarif itu begitu besar. Dia pun meminta, peraturan Kemenhub yang baru ini agar ditinjau ulang.

Di sisi lain, kenaikan signifikan ini pada akhirnya akan menurunkan pendapatan pengemudi seiring penurunan permintaan, bahkan diprediksi penurunan bisa mencapai 25%.

“Kan dilihat dari kenaikan, per kilo itu naiknya Rp1000 rupiah ya, kalau begini akan terjadi penurunan permintaan dari masyarakat, tidak menguntungkan ojek online,” kata dia ketika dihubungi wartawan, Kamis sore (18/8).

Tapi demikian, pemerintah menyetujui berdasarkan permintaan driver ojol sendiri. Padahal, dirinya sempat mengingatkan kepada pengemudi ojol agar mempertimbangkan kenaikan tarif.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu