Jakarta, Aktual.com – Berhasil golkan UU Pengampunan Pajak (tax Amnesty), Pemerintah seharusnya lakukan reformasi pajak. Bukannya malah lakukan kebijakan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, dari semula 25 persen menjadi 17 persen.

Pendapat itu disampaikan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, di Jakarta, Senin (15/8). Menurut dia, kalau memang tarif PPh mau diturunkan, harusnya menjadi bagian dari reformasi pajak dengan peta jalan yang jelas.

Yakni dibarengi dengan revisi UU perpajakan yang lebih mencerminkan keadilan, kepastian hukum-transparansi, transformasi kelembagaan, akses data perbankan, single ID Number, koordinasi penegak hukum. “Dan reformasi belanja APBN,” kata dia.

Tanpa reformasi pajak, dia khawatir penurunan tarif malah jadi “double incentives” alias ‘intensif ganda’. Pasalnya, sistem pajak yang lemah bisa menjadi semacam ‘insentif’ bagi pengemplang pajak.

Untuk itu, menurut Yustinus, penguatan regulasi, administrasi, dan kompetensi teknis mutlak diperlukan. “Sebagai ‘necessary conditions’ bagi reformasi pajak yang baik itu,” kata Yustinus.

Tarif PPh Diturunkan, Tidak Otomatis Genjot Tax Ratio

Lagi pula, sambung dia, tarif PPh yang diturunkan mendadak tidak otomatis bisa mengenjot tax ratio. Seperti yang dialami beberapa negara yang sudah lakukan kebijakan serupa. Ada beberapa prasyarat dan prakondisi yang diperlukan agar penurunan tarif ini efektif.

“Relasi langsung dan positif antara penurunan tarif, meningkatnya arus investasi, kenaikan output ekonomi dan peningkatan penerimaan pajak, tidak serta merta akan terjadi,” ungkap Yustinus.

Ditambah lagi muncul isu pembentukan teritori suaka pajak atau offshore financial center (OFC). Pemerintah diharapkan mencermati lebih dalam melakukan kajian yang mendalam, objektif, dan komprehensif terhadap ide itu.

Bahwa OFC itu merupakan gejala lumrah di beberapa negara untuk fasilitasi kemudahan investasi dan bisnis. Namun pembentukannya juga harus selaras dengan semangat transparansi perpajakan di tingkat global.

Jadi kalau mau dibentuk, kata dia, OFC itu bukan untuk mengelak pajak dan memfasilitasi pencucian uang atau untuk penggelapan. Melainkan untuk mengakselerasi transformasi ekonomi melalui kepastian hukum dengan perlakuan khusus, kemudahan administrasi dan perijinan, dukungan sistem perbankan yang handal dan infrastruktur yang baik.

“Serta aparatur yang kompeten untuk melakukan pengawasan,” papar dia.

Tanpa persiapan yang baik dan kajian yang memadai, lanjut Yustinus, perubahan sistem dan kebijakan perpajakan yang radikal berpotensi meruntuhkan bangunan sistem perpajakan Indonesia.

Untuk itu, peta jalan reformasi perpajakan harus dibuat dengan lebih baik, termasuk di dahului dengan perumusan prinsip-prinsip perpajakan yang adil dan berkepastian hukum, menjamin keseimbangan hak, dan redistribusi pendapatan yang baik.

“Makanya pelaksanaan tax amnesty ini harus dievaluasi terlebih dahulu demi menjamin kesinambungan penerimaan pajak di masa mendatang,” ujar dia.

Pemerintah disarankan dia jangan seolah-olah bersikap responsif terhadap permintaan pasar. Sikap seperti itu menurutnya justru harus diantisipasi dengan penuh kehati-hatian. Kalau tidak, sangat mungkin gagasan reformasi pajak ditunggangi bahkan dibajak kepentingan-kepentingan yang sekadar ingin melanggengkan insentif yang merugikan negara.

“Jadi pembentukan suaka pajak yang dipaksakan pun dapat dicurigai mengandung ‘hidden agenda’ untuk menciptakan tempat persembunyian baru pasca pengungkapan data di amnesti pajak dan mengantisipasi pemberlakuan AEoI (Automatic Exchange of Information),” ucap dia. (Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh: