Wakil Presiden Jusuf Kalla berbicara dalam sosialisasi amnesti pajak di Auditorium Dhanapala, Jakarta, Kamis (21/7). Dalam kesempatan tersebut, Jusuf Kalla mengatakan amnesti pajak harus dapat dimanfaatkan dengan baik karena pada era implementasi ikhtisar komprehensif mengenai keterbukaan dan pertukaran informasi (AEOI) nanti, pihak yang melanggar kebijakan pajak merupakan musuh bersama dunia. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/nz/17.

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu yang akan segera menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, mengiringi pelaksanaan amnesti pajak.

Padahal, kata dia, selama ini program dan insentif yang digelontorkan pemerintah telah menggerus potensi penerimaan pajak. Mestinya pemerintah harus fokus dengan tax amnesty agar tidak berjalan gagal.

“Seperti kenaikan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), penurunan beberapa tarif pajak, perluasan cakupan tax holiday dan tax allowance, moratorium pemeriksaan, dan sekarang mau menurunkan tarif PPh Badan. Itu akan menggerus penerimaan kita,” keluh Yustinus di Jakarta, Senin (15/8).

Sebelumnya, Presiden Jokowi merencanakan ingin memangkas tarif PPh Badan dari yang selama ini 25 persen menjadi 17 persen. Dengan angka itu disebutnya akan lebih kompetitif, karena sama dengan tarif di Singapura.

Menurut dia, penurunan tarif pajak memang menjadi tren global, atau sering disebut tax competition. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya race to the bottom atau balapan menuju jurang tarif terendah.

Tentu saja, Indonesia sebagai negara yang bergantung pada penerimaan pajak tentu dirugikan kalau berkompetisi menuju tarif rendah. Sebab yang dihadapi adalah negara yang tidak bergantung pada penerimaan pajak.

“Maka seharusnya, pilihan yang pas adalah kerjasama perpajakan (tax cooperation). Ini mungkin menjadi pilihan yang lebih baik meski menuntut upaya yang lebih keras dan sungguh-sungguh,” saran Yustinus.

Apalagi memang, tegas Yustinus, jika alasan pemerintah menurunkan tarif untuk menghindari praktik transfer pricing, maka kebijakan tersebut sangat tidak pas.

Pasalnya, praktik transfer pricing ini meski kadang didorong perbedaan tarif pajak antarnegara sebagai penyebabnya, tetapi justru yang sering terjadi karena ada insentif berupa lemahnya regulasi, rendahnya kompetensi, buruknya administrasi, dan penegakan hukum yang belum kuat.

“Mestinya pemerintah, sambil mengantisipasi efektivitas amnesti pajak yang belum tentu sukses 100 persen, maka kalau tetap ngotot mau menurunkan tarif harus moderat dan hati-hati,” ucap Yustinus.

Sebagai contoh, penurunannya bisa dari 25% ke 22% untuk dua tahun pertama. Dan jika efektif dapat dilanjutkan ke level minimal 20%.

“Tapi ingat, insentif lain juga harus digarap secara bersamaan, seperti perbaikan tata kelola pemerintahan, perijinan, logistik, kepastian hukum, perbankan, dan harmonisasi aturan. Kita membutuhkan 3C, Certainty, Clarity, dan Consistency,” tandas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka