Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis melakukan aksi tolak Kebijakan Menkominfo tentang penurunan tarif interkoneksi dari Rp 285 ke Rp 204 di depan DPR, Jakarta, Selasa (30/8). Kebijakan tersebut sangat berpotensi menciptakan potensi kerugian negara (potential loss) signifikan yakni sekitar Rp 800 miliar. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Institute of Development for Economic and Finance (Indef) mewanti-wanti pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara dalam melakukan revisi PP Nomor 52 dan PP Nomor 53 tahun 2000.

Kedua PP ini mengatur network sharing, terutama untuk daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Namun sayangnya, kebijakan ini berpotensi merugikan perusahaan operator BUMN, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan anak usahanya PT Telkomsel yang selama ini sudah masif membangun jaringan di KTI.

Sementara hal ini tak dilakukan dua operator swasta lainnya, PT Indosat Ooredo, Tbk dan PT XL Axiata Tbk. Padahal secara prinsip, seluruh operator wajib membangun seluruh jaringan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Semua operator mendapat mandat untuk membangun jaringan telekomunikasi di seluruh NKRI, tapi faktanya hanya operator BUMN itu yang berkomitmen membangun jaringan. Operator lainnya kemana?” ujar peneliti INDEF, Mohammad Reza Hafiz, ketika dihubungi, di Jakarta, Senin (28/11).

Makanya, dengan jumlah jaringan atau BTS yang diimiliki Telkom lebih banyak, maka dengan nantinya ada kebijakan network sharing tentu saja akan merugikan operator BUMN tersebut.

“Tentu tidak bisa dipungkiri dengan adanya network sharing ini akan merugikan operator yang selama ini giat membangun infrastruktur hingga daerah rural atau pedalaman,” jelas dia.

Namun sekarang, kata Reza, mereka malah mendukung adanya kebijakan network sharing. Terlebih setelah mereka melihat bahwa ternyata daerah KTI itu sekarang menjanjikan dan menjadi prioritas pemerintah.

“Dengan adanya ketentuan sharing seperti ini, operator-operator tersebut tentu ingin masuk dengan meminjam infrastruktur yang telah dibangun oleh operator BUMN itu. Itu tindakan yang hanya untungkan mereka saja,” tandas Reza.

Padahal, menurutnya, pembangunan BTS itu menjadi dasar dari senuah jaringan. Sehingga sudah semestinya bisa dibangun oleh operator swasta tersebut.

Mereka pun tentu saja perlu adanya investasi, sehingga coverage-nya pun akan menjadi lebih luas. Makanya, dia menawarkan, perlu adanya koordinasi pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan insentif dan kemudahan bagi operator-operatir yang ingin membangun jaringan di daerah timur.

“Bisa dilakukan dengan kemudahan dalam perizinan, lahan, pengurangan pajak, dan sebagainya,” tandas Reza.

Saat ini, infrastruktur BTS di KTI, terutama Maluku dan Papua, sebanyak 98 persen dimiliki oleh Telkomsel. Dengan kondisi tersebut, Telkomsel jelas sangat tidak diuntungkan ketika ada kebijakan pemerataan akses layanan melalui kewajiban sharing.

Makanya, banyak pihak yang meminta, pemerintah mendorong jugs operator swasta dan perusahaan infrastruktur terkait untuk ekspansi di daerah rural area.

Sementara, jumlah BTS yang dimiliki Telkomsel hingga 2015 sudah mencapai 103 ribu dari 37 ribu di 2010. Pihak XL-Axiata cuma mempunyai 59 ribu (dari 21 ribu) dan Indosat Ooredo hanya 51 ribu (dari 18 ribu).

Sedang untuk persentase operator yang digunakan di rural area, Telkom dan Telkomsel tentu yang paling banyak dengan porsi 57%, sementara Indosat sebanyak 22%, XL-Axiata hanya 18%, dan sisanya operator lain.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka