Ilustrasi hukum
hukum

Jakarta, Aktual.com –  Terpidana kasus Askrindo, Benny Andreas Situmorang, mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK). Direktur Utama PT Jakarta Securities ini mempunyai bukti baru berupa keputusan Pengadilan Negeri (PN) Depok, Jawa Barat, yang memenangkan gugatan perdata Benny atas oknum PT Askrindo, PT Tranka Kabel, dan PT Jakarta Investment.

Secara formil pengajuan PK yang diajukan oleh Benny tersebut sudah diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Karena itu, bukti baru itu sudah layak diuji di majelis PK Mahkamah Agung (MA).

Saat ini, persidangan PK Benny sedang berjalan di MA. “Kemenangan di gugatan perdata itu novum yang saya ajukan untuk PK saya,” jelas Benny.

Dirinya optimis jika Peninjauan Kembali  bakal dikabulkan majelis PK. Dia menjelaskan, kasus yang menimpa ini unik karena ada dua putusan untuk kasus yang sama. Dalam kasus pidana korupsi, Benny dinyatakan bersalah dan divonis 10 tahun yang pertama. Padahal, dalam gugatan perdata untuk kasus yang sama, pengadilan mengabulkan gugatan Benny. Kedua putusan inipun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Sebelumnya, dalam keputusannya, Majelis Hakim Agung MA mempereberat hukuman Benny menjadi dua kali dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Benny divonis 5 tahun penjara. Dan di tingkat banding, hakim pengadilan tinggi mengautkan keputusan pengadilan Tipikor.

Kasus korupsi dana Askrindo menjadi tanda tanya lantaran di seluruh tingkat peradilan, tak ada keputusan bulat dari majelis hakim. Baik di pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, selalu muncul desenting opinion atau pendapat berbeda dari salah satu anggota majelis.

Di sidang pengadilan Tipikor misalnya, hakim Alexander Marwata mengajukan pendapat berbeda atas kasus ini. Alexander, kini menjadi salah satu komisioner di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Dalam sidang putusan kasasi itu juga ada pendapat berbeda dari Hakim Agung Leopold Luhut Hutagalung. Artinya, tidak ada kata mufakat dari majelis hakim agung yang diketuai Artidjo Alkotsar. Akibatnya, keputusan diambil dari suara terbanyak. “Tanpa keputusan bulat dari majelis kasasi, hukuman saya justru diperberat menjadi 10 tahun penjara,” keluh Benny.

Seperti tertuang dalam putusan kasasi, Hakim Agung Leopold menegaskan, terdakwa memang terbukti ada perbuatan. Namun bukan merupakan tindak pidana korupsi.

Pasalnya, dari fakta persidangan terbukti bahwa seluruh penempatan dana dari PT Askrindo kepada PT Jakarta Asset Management (JAM) atau PT Jakarta Investment (JI) dan PT Jakarta Securities (JS) dibuat berdasarkan atas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perdata.

Penempatan produk produk investasi hakikatnya merupakan perjanjian pinjam meminjam uang atau bisa disebut perjanjian hutang-piutang yang berkembang dalam hukum bisnis pada era kontemporer. Dalam perjanjian ini memang mempunyai risiko-risiko dari paling tinggi sampai paling rendah sesuai dengan bentuk dan keuntungan yang diperoleh.

“Bukan seperti perjanjian hutang piutang yang konvensional seperti deposito yang memakai jaminan yang aman,” ujar Leopold, seperti tertuang dalam putusan Kasasi.

Adapun perbuatan JAM/JI dan JS yang tidak mengembalikan sebagian besar hutangnya kepada PT Askrindo dalam hukum perdata dikategorikan sebagai wanprestasi sesuai pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sesuai pasal 1243 KUHPerdata  pihak yang tidak mengembalikan keseluruhan hutangnya akan dikenakan keharusan memenuhi kewajibannya ditambah biaya dan kerugian serta bunga.

Jadi, pendapat Leopold, perbuatan terdakwa sudah ada aturan khusus dalam hukum perdata, sehingga tidak boleh dikriminalisasi sebagai tindak pidana. Perbuatan itu dapat dikategorikan tindak pidana korupsi apabila penempatan dana itu diperoleh JAM/ JI dan JS dengan cara paksaan, penipuan, dan manipulasi lainnya. Jadi, “Tidak berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan kata sepakat,” tegas Leopold.

Berbeda dengan pihak Askrindo sebagai  badan usaha milik negara (BUMN) yang diberi amanah mengelola keuangan negara. Askrindo diwajibkan memilih produk-produk investasi tidak berisiko tinggi dan dengan jaminan yang pasti dan layak. Karena itu, sudah tentu Askrindo harus bertanggung jawab apabila ia secara sembrono melepaskan dana kelolaannya.

Sebaliknya, bagi swasta yang tidak terbukti melakukan paksaan, penipuan, dan manipulasi-manipulasi lainnya sudah tentu tidak sama pertanggungjawabannya dengan BUMN.

Leopold menambahkan, pihak yang menerima pinjaman atau hutang menjadi pemilik mutlak barang yang telah dipinjam. Pihak peminjam sudah tentu mempunyai kewajiban mengganti sejumlah yang sama pada saat yang ditentukan. Karena itu, kalau ia dianggap tidak berhati-hati atau salah dalam menyalurkan uang yang dipinjamnya, sejatinya merugikan dirinya sendiri sebagai pemilik uang dan bukan lagi merugikan keuangan negara.

Itulah sebabnya, Leopold mewanti-wanti, usaha jaksa penuntut umum mengambil jalan pintas dengan mempidanakan perbuatan-perbuatan ingkar janji harus diwaspadai. Karena sebenarnya, undang-undang telah memberikan kewenangan kepada BUMN untuk menempuh jalan pintas berupa keistimewaan menagih pinjaman atau hutang melalui PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) tanpa melalui sidang di peradilan umum.

Berdasarkan tiga pendapat berbeda dan putusan pengadilan perdata PN Depok itulah Benny mengajukan peninjauan kembali atas kasusnya. Putusan PN Depok yang telah berkekuatan hukum tetap karena pihak tergugat tidak mengajukan banding. “Amar putusan PN Depok jelas, bahwa terjadi perbuatan melawan hukum, yang menyebabkan waspretasi pada pihak : PT Tranka Kabel dan PT Jakarta Investment, yang menyebabkan kerugian pada pihak saya,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka