Seorang teknisi melakukan perawatan rutin menara PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, di Kampus Dharma Persada Jakarta, Rabu (2/11). Seiring tingginya akses data komunikasi 4G, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk terus melakukan ekspansi bisnisnya yang per Juni 2016 telah memiliki total 13 ribu sites terdiri berbagai tipe menara dan akan menargetkan tambahan 2000 tower pada tahun ini. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Ketua Umum (Ketum) Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono mengamini pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo bahwa banyak negara yang iri terhadap kekayaan alam dan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini hingga mengancam Bhinneka Tunggal Ika.

Serangan asing itu, sambung Arief salah satunya melalui rencana revisi PP 52 dan 53 terkait Penurunan Tarif Interkoneksi dan terkait Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.

“Pernyataan Panglima benar, bahkan bukan hanya iri tapi juga ingin merampok Indonesia. Apalagi saat keadaan pertumbuhan ekonomi dunia memburuk, revisi PP 52 dan 53 justru mengancam kedaulatan NKRI,” ucap Arief dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (12/11).

“Karena spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dikuasai negara menjadi dikuasai asing,” tambah dia.

Arief menyadari sebagai negara berkembang memang wajar pertumbuhan di sektor telekomunikasi yang tinggi sangat menarik bagi korporasi asing untuk dapat menikmati pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia dengan modal kecil dan untung besar.

“Sedangkan rencana revisi PP 52 dan 53 terkait Penurunan Tarif Interkoneksi dan terkait Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan yang kental dengan kepentingan korporasi asing untuk menipu, Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN,” sebut politikus Gerindra itu.

Maka itu, ia menilai, adanya dalih revisi kedua PP tersebut justru untuk menarik dan memuaskan korporasi asing di sektor telekomunikasi merupakan jebakan yang licik. Sebab, jika korporasi asing masuk akan mematikan usaha korporasi lokal yang ada.

“Jelas betul bahwa revisi PP 52 dan 53 hanya menguntungkan asing yang tidak mau mengucurkan modal untuk membangun jaringan telekomunikasi secara menyeluruh dan merata di Indonesia,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Novrizal Sikumbang
Editor: Eka