Jakarta, Aktual.com – DPR RI pertanyakan pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno terkait Holding BUMN di sektor energi. Dimana Rini mengatakan rencana holding tidak perlu persetujuan DPR.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI M. Hekal menilai Rini keliru keluarkan pernyataan semacam itu. Sebab pada hakekatnya keberadaan BUMN sebagai aset negara tidak bisa lepas dari Penerimaan Modal Negara (PMN) yang butuh persetujuan dewan.

Sehingga, menurut Hekal, sepak terjang BUMN tetap harus atas persetujuan DPR juga. Misal, untuk aset BUMN seharga Rp400 miliar saja, jika ingin dijual dengan harga Rp100 miliar itu harus atas persetujuan dewan. Apalagi di urusan holding BUMN atau pindah kepemilikan yang nilainya ratusan triliun tapi malah dianggap tidak perlu persetujuan dewan.

“Menurut kami itu keliru pemikiran (Menteri Rini) seperti itu. Kita akan pertajam poin seperti ini di Revisi UU BUMN,” ujar Hekal di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/6).

Pernyataan Menteri Rini yang seperti itu, menurut Hekal bisa dikategorikan melecehkan parlemen. Karena baik disengaja atau tidak, tapi seperti menggiring opini bahwa urusan holding BUMN bisa diselesaikan dengan mudah.

“Urusan mitratel aja kita stop di DPR. Masa barang seperti ini mau dilangsungkan tanpa persetujuan,” kritik dia.

Oleh karena itu, lanjut Hekal, Komisi VI pun mendesak pimpinan untuk segera memanggil Menteri Rini. “Karena dia mau minta persetujuan DPR aja enggak boleh datang. Maka kita akan dorong supaya masalah ini cepat diatasi,” ujar politisi Gerindra ini.

Anggota Pansus Pelindo ini menuturkan, permasalahan bukan soal diganti atau tidaknya Rini. Melainkan ada di kewenangan pengawasan Komisi VI DPR atas BUMN.

“Kalau mau stand off (mengelak) begitu yang rugi rakyat. DPR juga enggak bisa jalankan tugas sebagai pengawasan. Kita juga memanggil beberapa ahli untuk memperkuat dan juga balance (seimbang) terhadap opini bahwa tidak perlu persetujuan DPR,” ucap Hekal.

Namun diingatkan lagi, untuk persoalan barang Rp100 miliar saja harus izin DPR, apalagi untuk ‘barang’ super stategis seperti PGN dan Pertamina yang nilai asetnya triliunan. “Masa enggak perlu ijin DPR ?” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: