Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara,” kata Ari.
Korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana itu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu baik sementara maupun selamanya.
“Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain,” ujar Ari.