Pertama adalah UU N0 29 tahun 1948 tentang pemberantasan penimbunan barang penting. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri (Pasal 2) ancaman pidananya adalah penjara selama 5 tahun dan denda.

Selanjutnya, kata dia, lahir UU No 1 tahun 1953, Jo UU No 17/Drt/1951. Dalam UU tersebut diatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan (Pasal 2).

Kedua UU tersebut, lanjut dia, merupakan respon atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.

Kemudian pasal 1 Perpres No 71 tahun 2015 disebutkan barang kebutuhan pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.

Lebih tegas, Pasal 29 ayat (1) UU perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Larangan tersebut di maksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.