Sejumlah Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok berjalan usai gelar kasus di di Kantor Imigrasi Kelas I Pontianak, Kalbar, Kamis (21/4). Imigrasi Kelas I Pontianak bersama Kodim 1207/BS menangkap tujuh pria dan satu wanita WNA asal Tiongkok, karena diduga bekerja di pabrik pengolahan kayu (plywood) di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya tanpa dilengkapi dokumen sah untuk bekerja di Indonesia. ANTARA FOTO/Sheravim/jhw/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Dalam waktu dekat, lima orang tenaga kerja asing berkewarganegaraan Tiongkok yang ditangkap oleh TNI AU di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (26/4) kemarin akan dideportasi oleh pihak Imigrasi.

Lima orang TKA yang ditangkap itu adalah Guo Lin Zhong, Wang, Zhu Huafeng, Cheng Qianwu, Xie Wuming. Mereka ditangkap lantaran sedang melakukan aktivitas pengeboran proyek Kereta Cepat di kawasan Halim.

Menyoroti hal tersebut, Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri menjelaskan soal aturan TKA yang bekerja dan melancong ke Indonesia.

Poin pertama yang perlu digaris bawahi, kata dia, tidak semua orang asing ke Indonesia untuk bekerja, karena banyak yang masuk untuk tujuan wisata atau tujuan lain yang bukan untuk bekerja.

“Mereka bisa masuk dengan menggunakan visa kunjungan (turis) atau menggunakan fasilitas bebas visa. Untuk semua kunjungan orang asing, baik dengan menggunakan visa turis atau menggunakan fasilitas bebas visa, maka deteksinya ada di data perlintasan yang terdapat di Direktorat Jendral (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham,” kata Hanif dalam rilis yang diterima redaksi Aktual.com, Kamis (28/4) malam.

Oleh karena itu, sambungnya, apabila ditemukan masalah orang asing yang bekerja (pekerja asing) di lapangan, maka ada dua aspek yang perlu dipahami, yaitu aspek perizinan dan aspek pelaksanaan izin di lapangan.

“Perizinan mencakup izin tinggal yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Imigrasi di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, dan izin kerja atas nama perusahaan pengguna TKA yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA Kementerian Ketenagakerjaan.”

Izin kerja atas nama perusahaan itu, ujar dia disebut izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA). Sedangkan izin tinggal disebut izin tinggal terbatas (ITAS) atau izin tinggal tetap (ITAP). Namun demikian, jika ditemukan masalah pekerja asing di lapangan, maka harus dicek dua poin di atas, yaitu (1) apakah yang bersangkutan punya izin tinggal dan izin kerja? dan (2) apakah di lapangan ditemukan pelanggaran terhadap penggunaan kedua izin tersebut.

“Jika pekerja asing mengantongi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), maka waktu tinggalnya maksimal 12 bulan dan dapat diperpanjang sampai dengan 5 tahun. Jika mengantongi Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), berarti izin tinggalnya minimal 5 tahun.”

Sedangkan pelanggaran terhadap hal itu, tentu saja tidak boleh dan semua itu berada dibawah otoritas Imigrasi. Jika pekerja asing di Indonesia mengantongi KITAS atau KITAP tetapi tidak bekerja, maka yang bersangkutan tidak wajib punya izin kerja (IMTA).

“Tetapi jika dia bekerja ya tentunya wajib punya IMTA. Jika punya KITAS atau KITAP saja tetapi nggak punya IMTA dan sementara dia nyata-nyata bekerja, maka itu jelas pelanggaran.”

Mengenai sanksi, menurut ketentuan yang ada adalah sanksi pidana kurungan penjara dan atau denda. Mengiringi sanksi tersebut adalah pendeportasian pekerja asing ilegal tersebut.

“Apabila pekerja asing mengantongi IMTA atas nama perusahaan tertentu, itu masih harus dicek lagi: (1) apakah perusahaan yang menggunakannya sama dengan perusahaan yang tertera dalam IMTA? (2) apakah pekerjaannya di lapangan sesuai dengan jabatan pekerjaan dlm IMTA? Jika tdk sesuai, itu jg pelanggaran, yakni penyalahgunaan izin kerja (IMTA). Sanksinya adl sanksi administratif (pencabutan IMTA) dan atau denda. Tindakan deportasi juga mengiringi sanksi ini.”

Contoh, kata dia pelanggaran dalam hal ini, misalnya seorang pekerja asing memegang IMTA atas nama perusahaan A, tetapi di lapangan dia ternyata dipekerjakan oleh perusahaan B. “Itu pelanggaran karena perusahaan pengguna TKA tidak sesuai dengan perusahaan yg mengajukan permohonan IMTA. Ini berarti penyalahgunaan izin kerja (IMTA).”

Contoh lainnya, sambung dia, seorang pekerja asing di dalam IMTA tertera jabatannya sebagai manajer tetapi di lapangan dia bekerja sebagai technical engineer. Itu juga pelanggaran karena menyalahi jabatan yang tertera dalam IMTA.

“Perlu diketahui bahwa dalam aturan ketenagakerjaan, hanya jabatan-jabatan tertentu saja dan bersifat keahlian yang boleh diduduki oleh pekerja asing.”

Dengan demikian, lanjut dia, pekerja asing disebut melanggar apabila, dia tidak memiliki izin kerja (IMTA). Misalnya masuk pakai visa turis tapi di lapangan bekerja.

“Ini yang sering disebut sebagai pekerja ilegal. Dua, punya izin kerja (IMTA) namun perusahaan pengguna atau pekerjaannya di lapangan tidak sesuai dengan yang tertera dalam IMTA. Ini yang sering disebut sebagai penyalahgunaan izin kerja.”

Terhadap pelanggaran semacam itu, Kemnaker kata dia, Pengawas Ketenagakerjaan berwenang untuk menindak perusahaan dan mengeluarkan si pekerja asing dari tempat kerja dengan cara apa saja. Selanjutnya, Pengawas Keimigrasian berwenang untuk memproses pidananya dan memulangkan yang bersangkutan ke kampung asalnya (deportasi).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu