Jakarta, Aktual.com – Alkisah, sepasang merpati yang sedang bertengger di cabang pohon melihat seorang alim datang dengan sebuah buku yang dikepit di satu tangan dan tongkat di tangan yang lain. Seekor merpati berkata pada yang lain, “Mari terbang, orang itu bisa membunuh kita.” Pasangannya menyahut, “Dia bukan pemburu. Dia seorang ulama, tidak akan membahayakan kita.”
Sang ulama melihat keberadaannya dan seketika memukulkan tongkatnya ke merpati betina, lantas ia sembelih untuk dimakan. Merasa dizalimi, pasangannya mengadu kepada Nabi Sulaiman.
Ulama itu pun dipanggil ke istana. “Kejahatan mana yang saya lakukan?” sanggahnya. “Bukannya daging merpati itu halal,” lanjutnya. Merpati jantan menimpal, “Saya tahu bahwa hal itu halal bagimu. Tetapi, jika datang untuk berburu, engkau semestinya mengenakan pakaian seorang pemburu. Engkau curang, datang berlaga sebagai ulama.”
Ulama atau ilmuwan memang telanjur dinisbatkan sebagai sosok pelindung kemaslahatan umum. Nalarnya memberi lentera di kegelapan; nuraninya memberi oasis di tengah-tengah krisis keyakinan. Namun, dalam realitas kekinian, banyak orang berpredikat ulama/ilmuwan dengan kapasitas dan peran yang telah ditanggalkan.
Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama merisaukan fenomena seperti itu. Dalam kumpulan catatan harian dari balik penjara, dengan nama samaran Sjahrazad, yang kemudian dibukukan dalam Renungan Indonesia, Bung Sjahrir menulis sebagai berikut: “Bagi kebanyakan orang-orang kita ‘yang bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ‘intelektuil’, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi ‘orang-orang yang bertitel’ itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”
Banyak orang berpenampilan pandita untuk “menjual” ayat dengan harga yang murah; membenarkan manipulasi politik dengan rekayasa statistika; bertablig dengan disinformasi dan caci-maki. Merajalelanya pandita palsu membawa bencana dan kemarau keteladanan.
Sutasoma (dalam karya Empu Tantular) berkata, “Benar dikatakan bahwa murid haruslah mematuhi gurunya seperti mematuhi orangtuanya sendiri. Namun, jika guru bertindak jahat, maka akan ada kekeringan, hujan turun salah musim, panen-panen gagal, kesepuluh penjuru mata angin diliputi ketakutan, kejahatan terjadi di mana-mana, dan wabah penyakit berlangsung tanpa akhir.”
Situasi demikian seakan menggemakan kembali ratapan pujangga agung Keraton Surakarta R. Ng. Ranggawarsita. Menjelang kematiannya pada 1873, ia menulis Serat Kalatidha (Puisi Jaman Keraguan). Bait pertama puisi tersebut bersaksi, “Kilau derajat neraga lenyap dari pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketidaan teladan. Para cerdik pandai terbawa arus jaman keraguan. Segala hal makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman.”
Keadaan ini membuat negara tanpa tuntunan pengetahuan-kebijaksanaan yang kuat, yang menempatkannya dalam kondisi rawan. Para pemikir kenegaraan lintas zaman dan lintas mazhab cenderung menyepakati hubungan integral antara negara dan pengetahuan.
Negara sendiri didefinisikan sebagai organisasi rasional dari masyarakat. Bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penjelamaan dari pikiran. Michel Foucault menegaskan, “Pemerintah, oleh karenanya, memerlukan lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik juga sangat diperlukan: pengetahuan yang konkrit, tepat, dan terukur.”
Membanguan negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin-pengumpul kecerdasan (intelligence-gathering machine).
Kedekatan antara negara dan kecerdasan, dan bahwa keselamatan negara ditentukan oleh kecerdasan terlihat dari pemahaman umum yang cenderung mengaitkan istilah “intelijen” (intelligence) dengan badan intelijen negara. Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya seperti istana pasir.
Pantaslah bila Imam al-Ghazali mengingatkan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, sedangkan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan.”
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid