Ahmad Himawan
Ahmad Himawan

Jakarta, aktual.com – Tulisan saya yang lalu yang berjudul “urgensi taswauf dalam agama Islam”  Ternyata mendapatkan respon dari beberapa teman di daerah. diantara respon tersebut, mereka menginginkan dilanjutan dengan pembahasan  seputar Thariqah yang menurut mereka termasuk bagian penting untuk dikaji dan termasuk “asing” bagi sebagian kalangan. Sedangkan thariqah sendiri merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam dunia tasawuf. Diawali dengan munculnya beberapa pertanyaan. Seperti perlukah (wajib) kita  ikut berthariqah.? Apa pengertian dari thariqah, macam macam thariqah, serta unsur unsur thariqah dan apa peranan thariqah dalam keilmuan tasawuf ? Pertanyaan pertama akan saya jawab di bagian paling  akhir dari tulisan ini. hal ini bukan saja karena  merupakan inti dan kesimpulan dari tulisan namun juga membutuhkan penjelasan yang agak panjang  dan mendalam tapi juga jawaban penulis saat berdiskusi dengan salah seorang  guru besar (prof) di bidang ilmu tasawuf dari UIN Jakarta  yang menganggap thariqah adalah budaya (hasil ciptakarsa manusia). Dari disinilah nanti diharapkan kita  akan menemukan sendiri jawaban perlu atau tidaknya kita berthariqah.

Pembahasan

Secara bahasa thariqah artinya  jalan besar. Thariqah dalam hal ini diartikan dengan” jalan”  Untuk mencapai ridho Allah dengan cara mengerjakan perintah-Nya. Dengan pengertian ini bisa di gambarkan adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi mengatakan

الطرق إلى الله  بعدد انفاس الخلائق

artinya” jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya makhluk”.

Namun secara istilah Syaikh Rokhimudin al Bantani dalam sebuah kuliahnya mengatakan inti dari thariqah sendiri ialah lebih bermakna kepada  sebuah manhaj ( metode ) untuk mendekatkan diri kepada Allah yang di dalam nya berisi kurikulum  pengajaran  yang dibimbing oleh seorang syaikh (mursyid) . Metodenya itu sendiri ada bermacam macam sesuai dengan pengalaman pribadi dari pendiri thariqah itu sendiri, yang intinya biasanya melalui tiga tahap. Tahap pertama penyucian jiwa  disebut dengan ” takholli” . (Membuang sifat sifat buruk ) tahap ke dua disebut dengan “tahalli”  menghiasi diri dengan sifat sifat Yang terpuji dan ke tiga(  tajalli ) yang bermakna as syuhud Ilallah atau “mukaasyafah atau, al isyrooq”. Yakni seseorang yang kondisi ruhaniahnya sudah mencapai “insan kamil” dan memancarkan “ruhul mahammadi”. Atau disebut juga ” al’rif billah”.  Setiap tahapan ini semua ada metoda (cara) mencapainya yang biasanya di ajarkan oleh seorang guru. Tiga tahap ini kelihatan mudah  akan  tetapi pada prakteknya   memerlukan  waktu  yang cukup lama tergantung dengan kesiapan masing masing si murid. Malah ada juga yang sudah bertahun tahun masih saja tidak bisa masuk ketahap berikutnya dari perjalanan awal untuk mengenal Allah tersebut. Metode ini  sebenarnya juga telah  diperkenalkan oleh Hujjatul Islam Al Ghazali sebagai tokoh  yang sangat berjasa dalam sejarah lahirnya thariqah thariqah di dalam dunia tasawuf sampai kini.

Kendati demikian, orang yang ingin menempuh jalan ini haruslah tetap berhati hati juga, karena dinyatakan pula

فمنها مقبولة ومنها مردودة

artinya “dari sekian banyak jalan itu ada yang sah dan ada pula yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima”.

Yang dalam istilah ahli thariqah lazim  dikenal dengan ungkapan ” mu’tabaroh” ( terpercaya ) dan “ghoiru mu’tabaroh” ( tidak terpercaya).  di Indonesia seluruh thariqah yang terpercaya (mu’tabaroh) ini berhimpun dalam satu wadah organisasi yang disebut dengan nama Jama’ah Ahlu at Thariqah al Mu’tabaroh  An nahdhliyah  (JATMAN) yang jumlahnya saat ini sudah mencapai kurang lebih ada 54 buah thariqah. JATMAN adalah Sebuah lembaga organisasi  otonom yang tergabung ke dalam ormas NU (Nahdhotul Ulama). Biasanya ciri ciri yang paling  sederhana untuk melihat sisi thariqah yang mu’tabaroh ini adalah meneliti mata rantai silsilah sanadnya. Apakah bahkan nasab (keturunan) pendirinya itu bersambung  muaranya yaitu Sayyidana Ali ra. Atau sayyidina Abu Bakar as shiddiq as.  dan terakhir Rasulullah Muhammad  SAW sebagai penghulunya. Ibarat ilmu hadist ada perawi perawinya sebelum sampai kepada Nabi. Karena akan diragukan ke sahihan sebuah hadist jika tiba tiba langsung di dapat dari baginda Nabi SAW. tidak melalui jalur sahabat tabiin dst.

Unsur unsur thariqah.

Didalam thariqah ada beberapa unsur yang harus ada sehingga bisa disebutndengan thariqah, adapun minimal diantara unsurnya itu ialah : mursyid, murid, dan wirid atau hizb.

1.Mursyid

Istilah Mursyid (guru) ini adalah orang yang akan mendidik murid. Dan syarat untuk menjadi seorang mursyid haruslah mendapatkan izin resmi (ijazah) dari mursyid sebelumnya, setelah ia mencapai maqom (tingkatan) ruhani yang dianggap mampu untuk mengemban amanah dari sang guru sebelumnya. Tidak jarang sebuah kumpulan thariqah aktifitasnya meredup setelah meninggalnya seorang mursid tadi, karena belum sempat menemukan mursyid penggantinya.  Sebab  untuk  menjadi  mursyid ini tidak bisa diperoleh karena disebabkan oleh faktor keturunan ataupun karena senioritas  (lama atau barunya) seseorang berkecimpung di dalam thariqah tersebut, akan tetapi berdasarkan pencapaian” haal ruhani”. Dan tidak bisa juga seseorang  mengaku ngaku dirinya sebagai mursyid karena sudah mencapai maqomat ruhani. Sidi Ahmad Abi Abbas al Zarruuq al Faasi dalam kitabnya ” “Muqoddimah Tasawuuf wa Haqiiqotuhu wa Natiijatuhu” Menjelaskan dengan terperinci kriteria kriteria sang Mursyid ini namun sayang belum bisa kami bahas disini   karena akan membutuhkan tempat yang banyak. Yang jelas Jika kita sudah  menemukannya maka sesungguhnya kita sedang mendapatkan kebaikan yang sangat besar yang telah dikaruniakan oleh Allah Swt.kepada kita.  Karena kita berarti sedang diberi petunjuk oleh Nya sedangkan bagi yang belum menemukannya maka dia akan berpotensi terus menerus untuk tersesat.(Qs al-kahfi 18  ayat 17). Oleh karena itu  teruslah pegang erat orang tersebut jika anda sudah menemukannya dan ber “suhbahlah” (Bergaul atau bersahabat) tentu tetap berpedoman dengan adab adabnya, karena dialah  yang akan selalu membimbing kita menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Namun dalam proses pencarian mursyid tersebut jangan pula kita berkhayal bahwa seorang mursyid itu orangnya “sakti” memiliki karomah seperti  bisa terbang atau berjalan diatas air, bisa menggandakan uang dan lain sebagainya. Karena mursyid thariqah  bukanlah seperti itu ciri cirinya. Seikh Muhammad Danial Nafis Muqaddam Thariqah Qodiriah Syaziliah (TQS)  pernah mengatakan kepada penulis menjadi mursyid sangat berat tidak gampang. Maka kita akan heran dan merasa aneh sekali jika ada yang mengaku ngaku bahwa dirinya adalah seorang mursyid dan lebih aneh lagi jika mursyid tadi mencari murid untuk memeperbanyak anggota thariqahnya.

Seikh Abdul qodir Jailani sendiri pernah menyebutkan salah satu syarat untuk bisa menjadi mursid selain orang yang sudah mencapai  derajat “insan Kamil” Atau mempunyai “ruh al muhammadi”  Dia juga seorang yang pemurah dan  mampu  memberi makan. Ya karena orang yang mempuyai kelebihanlah yang bisa memberi. Oleh sebab itu Seikh Abdul Qodir al jilani quddisa sirrohu sering memfatwakan dalam khutbahnya ” Satu sendok makanan yang engkau berikan kepada orang yang lapar lebih baik dari pada membangun 1.000 masjid jami’ dan lebih baik dari memberi kiswah Ka’bah (Syaikh Fadhil Jilani di Zawiyah saat khotaman kitab “Kholaqo Adam”di Zawiyah  Arraudhah)

2.Murid

Kata murid sudah menjadi kosa kata yang baku dan resmi masuk kedalam kosa kata bahasa Indonesia untuk sebutan orang yang sedang mencari ilmu sebelum dirubah menjadi kata ” Peserta didik”.  Secara bahasa murid berarti orang yang punya kehendak. Dalam istlah tasawwuf murid adalah orang yang sedang belajar mensucikan diri dan sedang berjalan menuju Allah. Yang menonjol dalam hal ini adalah kepatuhan murid kepada guru. Artinya Murid tidak boleh membantah guru. Hubungan antara guru dan murid ini satu arah dan berpusat (centralnya) kepada guru. sebelum berguru sebaiknya murid membaca kitab “ta’lim wa muta’alim” atau “Ghunya litholibi thoriqil haq ” Karangan Syiakh Abdul Qodir Jilani agar mengerti  adab murid terhadap gurunya. Bahkan di gambarkan dalam kitab “minnahusaniyah” murid itu diibaratkan seperti seonggok mayat didepan orang yang memandikannya. Tidak bisa  berbuat apa  jika tubuhnya  di bolak balik   oleh orang  yang memandikannya tadi. demikian perumpamaan murid terhadap gurunya

Murid ini juga terbagi kedalam dua bagian. Murid ” lillahi” dan ” liljannah”. Namun tidak akan kita bahas kali ini disini karena begitu panjangnya pembahasan.

3.Wirid atau Hizb.

Wirid atau Hizb ialah jenis rangkaian ibadah zikir  Doa dan ayat al quran yang sudah diramu khusus  oleh seikh pendiri thariqah. KH.Nazarudin Oemar imam besar masjid istiqlal  menjelaskan  Wirid lebih tinggi dari zikr. Karena zikir bisa saja dilakukan kapanpun disaat kita ingat. Sedangkan wirid dilakukan pada saat saat tertentu dan dengan Jenis dan jumlah hitungan yang telah ditentukan pula. Oleh karena itu wirid ini lebih membutuhkan alat bantu seperti tasbih, buku dan kitab muamalah lainnya.

Sebenarya inti dari kegunaan semua wirid atau zikir ini adalah metode untuk membersihkan hati dan usaha  mendekatkan diri si murid kepada Allah SWT. Akan tetapi perlu diingat pula bukan karena faktor wirid saja  seorang salik atau murid  bisa wushul (mencapai) kepada Allah swt. Wirid tak lebih seperti vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh kita. Dan kita masih membutuhkan asupan makanan dan antibody lainnya seperti sinnah nabi yang lainnya.

Wirid yang sering diamalkan lama ke lamaan akan menjadi warid. Warid inilah yang akan mengingatkan dari dalam diri salik jika  ia lupa berzikir dan merasakan seolah olah ada sesuatu yang kurang.  rasa nikmat dalam berzikir itu juga disebabkan adanya warid. Dan warid ini akan berguna sampai hari akhirat bagi ahli wirid. Untuk itulah perlu sekali meningkatkan kwalitas zikir kita menjadi wirid dan melahirkan warid. Dan ini hanya membutuhkan ke istiqomahan. Selaras dengan ucapan para auliya ” al istiqomah khoirun min alfi karomah”. Istiqomah (konsisten) itu lebih baik dari seribu karomah.

Peranan Thariqah dalam ilmu Tasawuf.

Untuk membahas hal ini mau tidak.mau akan bersinggungan dengan sejarah munculnya tasawuf. Karena  tempatnya yang terbatas penulis hanya singgung selintas penyebab kemunculannya.

Sama seperti halnya  dengan disiplin ilmu keslaman  yang lainnya seperti ilmu tafsir. Ilmu Fiqh. Ilmu hadist  dan lain sebagainya. ilmu tasawuf muncul beberapa ratus tahun kemudian  sepeninggal  Rasulullah dan para sahabat.

Pada masa awal, tasawuf tidaklah berbentuk seperti thariqah yang ada seperti saat ini. Dahulu kehidupan para sahabat semua berperilaku sufi walaupun tidak berthariqah. Tercatat dalam sejarah pola hidup mereka yang zuhud. Waro’, qonaah. Ikhlas. Ahli ibadah.Jujur berani dengan kebenaran, berakhlaqul karimah dan tidak rakus dan cinta dunia. Baru setelah Islam berkembang ke berbagai penjuru dunia dan mulai terjadi percampuran dan pergesekan dengan budaya lokal maka kehidupan muslim mulai tergoda dan berubah.

Termasuk juga dibidang ilmu pengetahuan seperti bertemunya dengan tradisi filosof di Yunani. apalagi banyak mendapatkan harta rampasan sehingga hidup bergelimang harta dan  dengan kemewahan yang menimbulkan gaya hidup hedonis, cinta dunia, hingga kemaksiatan pun mulai muncul kepermukaan. Kehidupan penguasanya sudah meniru seperti Kisra (para raja persia) yang tinggal di Istana mewah nan megah. Berbeda dengan masa Rasululah dan Khalifah ar Rasyidin yang hidup sangat sederhana. Untuk itulah muncul gerakan hidup ala sufi atau ahli tasawuf yang bertujuan untuk menentang gaya hidup baru dan budaya baru umat Islam pada masa saat itu.

Gerakan tasawwuf pada masa itu masih bersifat individu dan lama kelamaan menjadi gerakan massa dan aksi sosial dan membentuk kelompok dalam masyarakat. Tentu saja tidak pada tempatnya disini untuk pembahasan detilnya  butuh halaman khusus mengenai sejarah timbulnya gerakan dan ilmu tasawuf ini. Namun yang pasti dibutuhkan sebuah proses pendidikan untuk mendidik seseorang  untuk menjadi orang yang bertaqwa hingga mengenal Allah SWT dan menjadi seorang “arif billah” Yaitu Sufi yang hakiki. Proses pendidikan inilah oleh imam al Ghazali dibuatkan panduan  khusus dan ini bisa dilacak dari kitab karangan beliau seperti “al Ihya al ulumuddin” atau, “Mukaasyafatul qulub” dll. dan pada masa Abdul Qodir Jainlani akhirnya di bentuk madrasah khusus tasawuf yang akhirnya menjelma menjadi thariqah seperti sekarang. Hingga saat ini jika ada kata thariqah itu sama saja bermakna tasawuf dan jika orang belajar tasawuf tergambarlah dengan sebuah thariqah. Meskipun tidak semua sufi itu ikut berthariqah.

Dalam perkembangan ” ilmu tasawuf” peranan thariqah memegang peran cukup penting. Salah satu contoh di Indonesia saja banyak yang tahu dengan seikh Abdul Qodir Jailani. Disetiap doa doa yang dipanjatkan terutama di acara pembacaan surat yasinan atau tahlil karena ada yang meninggal  dan lain sebagainya sudah biasa disebutkaan nama beliau. Bahkan di daerah tertentu seperti lebak Banten sering tiap malam jumat membaca manaqib Abdul qodir Jilani. Meskipun mereka sendiri jika di tanya tidak begitu kenal siapakah seikh abdul Qodir jailani tersebut. Ini menunjukkan sisa jejak dakwah ahlu thariqah yang masih terdeteksi. Dan di dalam tradisi thariqah qodiriah syaziliah misalnya kajian keilmuan sering di bahas. Tidak hanya mengutamakan “riyadhoh jasmani”. Tapi tolabul ilmi (mencari ilmu) juga sesuatu yang sangat di pentingkan sebagai syarat untuk ” futuh” dan berthariqah dengan benar. Contoh sebuah kitab yang selalu di jadikan rujukan banyak kaum sufi adalah kitab “al Hikam” Karya  ibnu Athoilah As Syakandari  dari  thariqah As syazilia banyak dan sering di kaji beberapa kelompok majelis karena dianggap bisa menyejukkan  jiwa. Dan  Dewasa ini para ilmuwan disalah satu bidang ilmu sedang mencoba untuk disatukan antara ilmu tasawwuf dengan psikologi sebagai terapi pengobatan. Dan ada juga usaha penyatuan antara ilmu pskologi islam dan ilmu  psikologi barat. Perlu di ketahui yang bersinggungan erat dengan ilmu psikologi itu ya tasawuf. Dan yang  bisa merasakan manfaat tasawuf itu orang yang berthariqah.

Para ulama ulama terdahulu juga bertaswahuf. Bahkan imam syafi’i  di dalam  kitab “wa’lam anna tasswuf min Syariaatil Islam” Terbitan zawiyah Ar araudhoh Karangan sidi Muhamad siddiq al ghumari mengakui sendiri gara gara bergaul dengan para sufi beliau mendapatkan tiga kalimat penting yang hingga sekarang sering kita dengar diantaranya

الوقت كالسيف

Waktu ibarat pedang

العلم نور ونورالله لا يهدى للعاص

Ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.

Demikian penjelasan beberapa usaha kaum sufi dan peranan  thariqah dalam rangka ikut membantu perkembangan  ilmu pengetahuan keislaman khususnya ilmu tasawwuf dan sekaligus bisa menjawab perlukah kita itu ikut berthariqah. Catatan khusus dari penulis sendiri saat berdialog dengan Syaikh KH.Danial Nafis dari Zawiyah  Arraudah sebagai tempat Markas Jailani Asia Tenggara saat ini di Indonesia bahkan juga di Asia tidak banyak Thariqah, yang ada baru sebatas kelompok majlis dzikir. Ini menunjukkan ketatnya persyaratan persyaratan thariqah yang benar dan sesuai dengan standar dari Syaikh Abdul Qodir Jaiani.

Wallahu ‘alam.

[Penulis adalah Dosen STPDN Lebak, Rangkas Bitung dan Ketua LAZ ar Raudhoh]

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto