Alat berat becho saat menghancurkan ratusan rumah warga yang berada di Pasar Ikan, Kawasan Luar Batang, Jakarta, Senin (11/4/2016). Pemprov DKI Jakarta membongkar sebanyak 853 bangunan di kawasan tersebut dalam rangka revitalisasi kawasan wisata Sunda Kelapa, Museum Bahari, dan kawasan Luar Batang.

Jakarta, Aktual.com – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memakai ‘cara’ Orde Baru dalam persoalan lahan. Padahal cara Orba harusnya sudah tidak dipakai dalam urusan pembebasan lahan, semenjak diralat oleh terbitnya UU no 2 tahun 2012 Tentang Pertanahan.

“UU itu yang jadi pembeda antara cara Orba dengan pemerintah sekarang,” tutur Sekjen KPA Iwan Nurdin, saat dihubungi Aktual.com, Senin (29/8).

Dibeberkan Iwan, di jaman Orba jika suatu lokasi sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk dibangun proyek, maka warga setempat yang terdampak digusur tidak diperbolehkan membuat legalisasi (baca: sertifikasi) tanah. Cara itulah yang sudah diralat di UU no 2 tahun 2012.

UU itu mengatur bahwa warga yang bakal digusur akibat terdampak proyek pemerintah untuk kepentingan umum tidak boleh dihalang-halangi jika ingin mengajukan sertifikat tanah. “Misal rencana pemda untuk membangun jalan inspeksi di Kampung Bukit Duri, itu harusnya tidak boleh membuat masyarakat yang terdampak jadi kehilangan mendaftarkan hak atas tanah,” ujar dia. Baca: Menolak Tergusur, Penggugat Normalisasi Ciliwung Ahok Terus Bertambah

Berdasarkan UU itu, sebelum memulai proyek, pemerintah harus menjelaskan rencana kepada publik. Untuk kemudian disosialisasikan kepada warga setempat yang daerahnya ditetapkan sebagai lokasi proyek. “Dia (pemerintah) menetapkan SK penetapan lokasi,” ujar Iwan.

Dan apabila dalam proses penetapan lokasi itu warga ingin mendapatkan sertifikat, tidak boleh dihalang-halangi. “Karena adanya sertifikat itu justru akan mempermudah untuk proses ganti rugi,” kata Iwan.

Kenyataannya, yang terjadi saat ini Ahok malah memberlakukan kembali cara-cara Orba. Yakni dengan menghalangi warga yang bakal tergusur untuk membuat sertifikat. “Itu bukan proses yang legal untuk mendapatkan tanah,” kata Iwan.

Padahal, menurut Iwan, meskipun warga misalnya tinggal di bantaran sungai yang diperuntukkan sebagai kawasan hijau, namun hak atas tanahnya tetap ada. “Jadi hak untuk membuat sertifikat harusnya tetap diberikan oleh Pemprov DKI. Meskipun misal tetap tidak diberi izin mendirikan bangunan. Dengan demikian Pemprov DKI tetap harus beri ganti rugi jika lakukan penggusuran,” ujar dia. Baca: Program Prona di DKI ‘Melempem’, BPN Berdalih Tergantung Lurah

Artikel ini ditulis oleh: