Jakarta, Aktual.com – Warga korban gusuran Kampung Pulo tidak terima dengan omongan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyebut mereka tidak tahu terima kasih. Dimana Ahok menyebut warga sudah dapat rusun tapi masih juga menuntut ganti rugi dari gusuran.

Saat Aktual.com menyambangi RW 02 Kampung Pulo, Jatinegara, didapat penjelasan mengenai duduk perkara mengapa warga tetap menuntut ganti rugi.

Dedy Junaedi, salah seorang warga menuturkan, mereka menuntut ganti rugi karena awalnya memang itulah yang dijanjikan oleh Pemprov DKI di masa Gubernur DKI masih dijabat Joko Widodo di tahun 2013.

Kata dia, waktu itu Jokowi mengatakan akan mengganti rugi. Mulai dari bangunan, pagar, pot bunga, kandang ayam, hingga pohon yang digusur. Warga pun tak keberatan dengan program normalisasi Sungai Ciliwung yang akan menggerus rumah-rumah mereka kelak.

Selain itu, tutur dia, Jokowi juga mengatakan untuk urusan pembebasan lahan Kampung Pulo tidak cukup dengan pertemuan musyawarah sekali dua kali saja.

“Bisa sampai tujuh kali pertemuan dulu. Itu juga kalau sudah dicapai kesepakatan. Jadi bukan satu pihak Pemprov DKI saja,” ujar dia, saat ditemui Aktual.com, di posko Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cerdas Bangsa, Minggu (30/8).

Setelah janji disebutkan, mulailah ada petugas berdatangan ke Kampung Pulo melakukan pengukuran dan inventarisir rumah dan luas tanah. Warga pun saat itu tenang karena merasa yakin akan dapat ganti rugi.

Tapi angin berubah cepat. Yakni saat Jokowi naik jadi Presiden RI, dan naiklah wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) jadi Gubernur DKI.

Si gubernur baru ini ternyata berbeda pikirannya, kata Dedy. Mulailah Ahok menganggap warga Kampung Pulo sebagai warga liar, karena menduduki tanah negara tanpa surat yang sah. “Di sini opini pemberitaan di media juga mulai nyebut kaya gitu. Dibilang warga Kampung Pulo liar,” ujar dia.

Sampailah digelar sosialisasi di tanggal 5 Juni 2015. Dihadiri Wali Kota Jakarta Timur, Kepala Dinas Perumahan DKI, perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM, Camat dan Biro Hukum DKI.

Di pertemuan yang dihadiri ratusan warga itu, Pemprov DKI semakin mempertegas sikapnya. Tidak akan memberikan ganti rugi dan warga harus direlokasi ke rumah susun.

Tak terima dengan sikap Pemprov yang seperti itu, warga saat itu langsung hengkang dari pertemuan. Tapi oleh Ahok, ujar Dedy, pertemuan itu kemudian ternyata disebut sebagai bagian dari tahapan sosialisasi.

Kemudian, di tanggal 11 Juni, mulailah datang Surat Peringatan (SP) I yang bertuliskan soal penertiban dan ditandatangani oleh Kepala Satpol PP Kukuh Hadisantosa. Oleh warga, kata Dedy, surat itu masih dianggap angin. Pada 15 Juni kembali datang surat peringatan kedua, masih juga dianggap angin.

Warga seperti sempat mendapat angin segar. Saat 10 Juli 2015, turun surat edaran dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Yang menyebut warga Kampung Pulo di RW 01, 02 dan 03 akan mendapat ganti rugi sesuai dengan Peraturan Presiden RI No 71 Tahun 2012. Dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 tahun 2012. Yang menyebut bahwa besarnya nilai ganti kerugian berdasarkan penilaian tim penilai (Appraisal).

“Ya kita waktu itu percaya dirilah ada surat BPN itu. Warga sampai tempel diperbesar itu surat BPN di tembok-tembok rumah,” ujar dia.

Tapi itu surat BPN, ujar dia, ternyata tak lebih seperti sehelai kertas tanpa arti saja. Pasalnya, pada tanggal 11 dan 18 Agustus, warga dikirim pesan pendek (SMS) oleh RT dari pihak Kelurahan yang bertuliskan: ‘Info: hasil rapat teknis tadi siang memutuskan bahwa eksekusi relokasi akan dilaksanakan kami 20 Agustus 2015.’

Kata Dedy, warga Kampung Pulo di RW 02 kaget. Tapi masih tetap tidak percaya itu penggusuran akan benar-benar terjadi di tanggal 20. “Ya soalnya pemberitahuannya masa lewat SMS,” kata dia.

Kenyataan berkata lain. Di pagi tanggal 20 itu, ternyata benar-benar berdatangan ribuan petugas dari Satpol PP dan kepolisian. Beserta buldoser tentunya. Mimpi buruk jadi kenyataan. Warga Kampung Pulo terhenyak.

Sempat terjadi perdebatan antara warga dengan petugas. Warga sempat meminta petugas hanya merobohkan rumah warga yang sudah memegang kunci rusun saja. “Tapi tiba-tiba itu Camat Sofyan bilang, ‘bongkar semua!’. Akibatnya warga spontan marah dan terjadilah bentrok,” ucap dia.

Dengan runtutan ceritanya, kata Dedy, bisa terlihat sebenarnya siapa yang tidak memenuhi janji, dan alasan warga Kampung Pulo menuntut ganti rugi.

“Jadi omongan si Ahok yang bilang kami tidak tahu terimakasih karena sudah diberi rusun, itu omongan orang yang ngga ngerti duduk perkara dan ngga mau menghargai kami, warga Kampung Pulo yang sudah turun temurun tinggal di sini sejak jaman Belanda,” tegas dia.

Dedy juga mengaku kecewa dengan sikap Jokowi setelah menjadi presiden. Yang sama sekali tidak mengeluarkan pernyataan atas digusurnya Kampung Pulo tanpa pemberian ganti rugi seperti yang dijanjikannya dulu. “Tentu kami kecewa dengan dia (Jokowi). Ternyata dia sama saja, dengan membiarkan Ahok melakukan penggusuran seperti itu ke kami,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh: