Suparno mengatakan pada zaman dahulu tradisi sadranan sebagai cara berdakwah Walisongo. Para wali mengutus muridnya yang bernama Kiai Haji Ibrahim ke daerah Lereng Merapi. Beliau kemudian dimakamkan di tempat pemakaman umum Puroloyo desa setempat.
Suparno mengatakan adanya tradisi sadranan tersebut memiliki rasa persatuan dan kegotong royong, serta salah satu modal yang tidak bisa dinilai harganya, sehingga masyarakat melestarikan hingga sekarang.
Menurut Suparno tradisi sadranan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan terutama soal kesejahteraan masyarakat semakin baik. Jumlah tenong yang dibawa oleh masyarakat sebanyak 830 tenong, dan isinya juga semakin bernilai.
“Zaman dahulu tenong yang dibawa amsyarakat berupa anyaman bambu, dan sekarang sudah banyak yang dari bahan stenlis yang harganya mahal. Bahkan, isi tenong dahulu berupa hasil bumi, sekarang makanan yang memiliki kualitas giri tinggi,” kata Sutarno.
Menurut dia, hal tersebut dapat dikatakan masyarakat sudah semakin baik kehidupannya dan hasil bumi mereka juga sudah berhasil baik atau melimpah. Warga selain membawa tenong dengan isi makanan seharga sekitar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu, juga setiap pintu rumah terbuka untuk menyambut tamu-tamu yang bersilatuhrahmi.
Artikel ini ditulis oleh: