Jakarta, Aktual.com – Al-Imam Burhanuddin Al-Zarnuji, dalam kitabnya yang begitu populer di kalangan santri; Ta’lim al-Muta’allim, memberikan saran bagi santri yang ingin pulang ke daerahnya dan ingin menyudahi masa rantaunya, agar setidaknya membaca terlebih dahulu wasiat yang pernah diberikan oleh Abu Hanifah kepada muridnya, Yusuf bin Khalid al-Simti.
Sakin pentingnya wasiat ini, Imam Zarnuji pun juga diperintahkan oleh gurunya Imam Ali bin Abu Bakr untuk menuliskan wasiat tersebut sebagai bahan untuk menuntut sang Imam saat nanti berinteraksi dengan masyarakat luas.
Diakui atau tidak, bergaul dan berinteraksi dengan manusia adalah sebuah seni yang harus dipelajari kepada orang-orang yang berpengalaman. Dan di antara ulama yang begitu faham dengan tabiat manusia ya Imam Abu Hanifah ini, sosok ulama yang biasa memberikan bekal nasihat dan arahan kepada murid-murid dan santrinya sebelum mereka pulang dan berkhidmat di masyarakat.
Kali ini saya akan coba salin wasiat tersebut ke bahasa Indonesia. Meskipun hanya sekedar tulisan, semoga saja bisa dijadikan pelajaran, dan bekal untuk mencari pengalaman.
Waktu itu, saat Yusuf bin Khalid al-Simti (w. 189 H) ingin izin “boyong” kepada sang guru Imam Abu Hanifah untuk pulang ke kampung halaman dan meninggalkan tempat ia belajar. Dia tidak langsung diizinkan, tapi diminta menunggu hingga satu hari ke depan, agar sang guru menyiapkan sesuatu sebagai ia bekal ketika sampai di rumah.
Hari esok pun tiba. Imam Abu Hanifah mulai berbicara dengan Yusuf dengan mengucapkan basmalah.
“Saya akan berikan sebuah gambaran tentang apa yang akan kamu hadapi di sana nanti. Bayangkan jika saya pergi bersamamu, ke Bashrah, dan saat itu juga langsung berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat denganmu. Kamu berlagak hebat, dan banyak bicara dihadapan mereka. Kamu caci mereka hingga mereka pun mencacimu, kamu sesatkan, dan menyebut mereka ahlu bid’ah, sehingga mereka juga langsung menyerangmu, akhirnya kamu tidak merasa betah dan merasa terzhalimi. Pada akhirnya kamu pun mengasingkan diri, dan pindah ke tempat lain, dan ini bukanlah yang aku inginkan!.”
Yusuf berkata: “Aku begitu tercengang dengan apa diucapkan Abu Hanifah.”
Imam Abu Hanifah melanjutkan: “Jika nanti kamu sudah masuk ke Bashrah, dan masyarakat mulai berdatangan dan mengenal dirimu, maka berikan setiap orang haknya; Muliakan orang yang mulia, hormatilah orang yang berilmu, dekatilah orang banyak, berikan perhatian kepada ahli maksiat, berteman baik dengan orang-orang hebat, dan jangan pernah meremehkan pemerintah.”
“Jangan pernah sesekali menganggap hina satu orang pun yang datang kepadamu, jangan sebarkan rahasia mu kepada siapapun, jangan memberikan kepercayaan kepada seseorang kecuali jika kamu sudah mengenal dekat dengannya.”
“Jangan terlalu dekat dengan orang-orang bodoh, jangan sembarangan menerima hadiah, teruslah bersabar, berakhlak baik dan berlapang dada. Bersihkan selalu pakaianmu, rapikan tungganganmu, dan rajinlah menggunakan minyak wangi, buatlah tempat dudukmu dekat dengan masyarakat dan di waktu yang mudah diketahui.”
“jagalah setiap shalatmu, dan dermakan makanan yang kamu punya; karena belum pernah ada seorang dipilih menjadi tokoh sedangkan ia adalah seorang yang pelit. Carilah seorang informan yang kamu jadikan sebagai sumber untuk mengetahui berita terbaru yang terjadi di masyarakat sekitar, jika kamu mengetahui ada sesuatu yang tidak baik terjadi, segeralah untuk diperbaiki, dan jika kamu lihat hanya kebaikan, maka teruslah kembangkan.”
“Biasakan untuk berkunjung ke rumah orang-orang yang biasa bertamu ke rumahmu, atau bahkan mengunjungi orang yang belum pernah bertamu ke rumahmu. Teruslah berbuat baik kepada orang yang berbuat baik padamu dan juga kepada orang yang menyakitimu. Teruslah member maaf dan perintahkan mereka melakukan kebaikan. Lupakan semua sikap orang yang membuatmu tidak suka, tinggalkan setiap orang yang membuatmu terluka, dan jangan pernah lalai untuk menunaikan setiap hak mereka.”
“Jika ada orang yang sakit di antara mereka, segeralah menjenguk, atau setidaknya kirim utusan untuk menyampaikan salam. Dan jika ada seseorang yang tidak hadir dimajlimu, berusahalah untuk mencari kabarnya.”
“Teruslah sambung hubungan baik meskipun kepada orang yang tidak baik, muliakan selalu orang yang datang kepadamu,dan maafkan orang yang berbuat tidak baik.”
“Orang-orang yang berbicara kotor kepadamu, balas ia dengan ucapan yang baik. Orang yang sedang berbahagia, ucapkan selamat untuknya, dan bagi orang sedang ditimpa musibah, jangan lupa agar kamu bertakziyah. Jika ada yang sedang gelisah, cobalah untuk memahaminya, dan orang yang sedang ditimpa sakit, cobalah untuk merasakan jika kamu ada diposisinya.”
“jika ada seseorang yang memintamu untuk mengurus sesuatu, uruslah perkara tersebut, dan jika ada yang meminta tolong, tolonglah semampunya. Perlihatkan rasa kasih sayang antara manusia semampumu. Sebarkan kedamaian sekalipun kepada orang yang suka bertengkar.”
“jika suatu waktu kamu dikumpulkan di suatu majlis, kemudian dimulailah pembahasan tentang masalah-masalah khilafiyyah, dan ternyata mereka semua berbeda pendapat denganmu, tahan dirimu dan jangan langsung mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan mereka hingga kamu ditanya dan diberikan kesempatan bicara. Dan jika mereka bertanya pandanganmu, kemukakan pertama kali pendapat ulama sebelummu dengan argumentasi mereka, dengan ini mereka akan mengakui kedudukanmu dan faham posisimu.”
“berteman baiklah dengan mereka, dan coba ajak bercanda sesekali, karena itu akan membuat rasa kasih sayang semakin erat dan hubungan kalian semakin kuat. Ajaklah makan bersama beberapa waktu. Coba bantu menunaikan apa yang mereka inginkan. Lupakan kesalahan mereka dan jangan lagi diungkit nantinya. Berlemah lembut, dan maafkan segala kesalahan mereka.”
“jangan pernah menampakkan muka yang asam, bergaulah dengan mereka sebagaimana kamu ingin diperlakukan, terulah berucap jujur dan hilangkan rasa sombong. Perlakukan penganut agama lain, sebagaimana mereka memperlakukanmu. Tetapalah jaga amanat meskipun yang lain berkhianat.”
Imam Abu Hanifah mengakiri wasiatnya dengan kalimat yang menunjukkan posisi sang murid: “jika kamu berpegang teguh dengan wasiatku ini, aku harap kamu akan selamat dan hidup dengan tenang insya allah. Dan perpisahan ini begitu membuatku sedih, dan aku begitu senang pernah mengenalmu. Jika suatu waktu kamu membutuhkan sesuatu, berikan kabar kepadaku. Jadilah seperti anakku, dan aku akan menjadi ayah bagimu.”
Yusuf al-simti berkata: “kemudian Abu Hanifah mengeluarkan sejumlah uang, pakaian, dan bekal perjalanan. Ia pun keluar bersama ku dan membawa barang bawaanku. Kemudian teman-temanku berkumpul dan menyampaikan salam perpisahan denganku.”
Yusuf melanjutkan: “wasiat yang diberikan kepadaku ini adalah pemberian yang paling berharga yang pernah diberikan guruku kepadaku. Dan saat aku sampai ke Bashrah, aku mengamalkan semua wasiat itu. Tidak butuh waktu lama, semua orang kini menjadi teman, majlisku pun begitu ramai, dan mazhab Abu Hanifah menjadi tersebar di Bashrah bersamaan dengan padamnya Mazhab Al-Hasan dan Ibnu Sirin, dan surat dari guruku terus datang member kabar hingga ia wafat”
Nb: Terjemahan ini dengan beberapa pengurangan dan penyesuaian bahasa dan susunan. Untuk teks lengkapnya silahkan rujuk ke pdf yang tersebar luas di internet.
**
“Buruknya taktik seorang alim saat terjun di lapangan, akan membuatnya kehilangan kesempatan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan sulitnya masyarakat untuk mengambil pemahaman.”
Syekh Muhammad Zahid Al-Kautsari.
**
Credit by Fahrizal Fadil
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin