Buka-buka tumpukan berita lama, pada September 2006, Ronald Montaperto, seorang analis Pentagon, divonis harus meringkuk di penjara oleh pengadilan distrik Alexandria, Amerika Serikat. Pria yang kala itu sudah berusia 67 tahun itu, didakwa telah membocorkan dokumen rahasia dari tempat ia bekerja di Defense Intelligence Agency (DIA) kepada pejabat Republik Rakyat Cina.
DIA yang berada di bawah naungan Pentagon atau Kementerian Pertahanan AS bisa dibilang sama seperti Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang berada di bawah naungan Mabes TNI di negeri kita. Berarti, dakwaan yang dialamatkan kepada Montaperto ini tergolong cukup serius. Apalagi Montaperto boleh cukup lama mengabdi di Pentagon, persisnya sejak 1981 hingga 2003.
Karenya, yang jauh lebih menarik untuk kita sorot kali ini bukan pada jenis kejahatannya itu sendiri, yang sejatinya masuk kategori spionase dalam arti berupaya memperoleh informasi rahasia melalui cara-cara tersamar dengan menggunakan Montaperto sebagai mata-mata untuk kepentingan pemerintah Cina.
Yang jauh lebih penting disorot adalah, bagaimana melalui kasus Montaperto ini, pemerintah Cina menerapkan strategi untuk mencuri data-data bernilai strategis seperti teknologi militer Amerika. Sebab kalau kita telisik pada beberapa kasus serupa sebelum terbongkarnya kasus Ronald Montaperto, terbongkarnya skandal mata-mata Cina rupanya sudah kerap terjadi.
Dengan makna lain, berarti ada semacam jaringan bawah tanah Cina di luar negeri, termasuk Amerika Serikat, yang sudah tertanam cukup mengakar dan berdaya jangkau luas. Dan agaknya, jaringan bawah tanah ini merupakan sindikasi antara pemerintah Cina di Beijing dengan para Cina rantau yang bermukim di pelbagai negara.
Berdasarkan keterangan Federal Bureau Investigation (FBI) pada 2005 ketika menangkap empat tersangka mata-mata untuk Cina yang mencoba mencuri rahasia militer AS di Los Angeles, ternyata keempat pelakunya berasal dari etnis Cina: Chi Mak, Rebecca Laiwah, Tai Wang Mak dan Fuk Heung Li.
Berdasarkan investigasi terungkap bahwa Chi Mak yang kala itu memimpin proyek riset teknologi Quiet Electric Drive untuk kapal-kapa perang angkatan laut AS, didakwa mencoba menyelundupkan informasi sensitif terkait proyek tersebut.
Kasus mata-mata Cina yang melibatkan Montaperto pada 2006 dan empat etnis Cina pada 2005, berarti mengindikasikan adanya lingkaran mata-mata Cina yang sudah terorganisir secara terencana dan sistematis, setidaknya di Long Angeles ddiduga sudah beroperasi sejak 1990.
Jadi, kalau jaringan mata-mata Cina di Los Angeles ini sebelum terungkapnya kasus empat orang etnis Cina tersebut terbongkar, sudah berhasil menyalurkan rahasia-rahasia teknologi dan militer ke Cina dalam bentuk dokumen atau disket, lantas bagaimana jaringan ini membangun keterhubungan dengan pemerintah Cina di Beijing?
Melalui serangkaian investigasi yang dilancarkan FBI, terungkap bahwa empat orant etnis Cina tersebut rupanya secara rahasia sudah bekerja untuk Kementerian Keamanan Cina yang membawahi unit intelijen militer Tentara Pembebasan Cina (PLA).
Sialnya, Chi Mak sebagai teknisi perlistrikan pada perusahaan kontraktor pertahanan Power Pentagon, anak perusahaan Power System Group di Anaheim, Califorrnia, barang tentu dia punya akses terkait keamanan tingkat tinggi karena sudah berpengalaman bekerja untuk lebih dari 200 kontrak pertahanan dan militer AS. Begitulah kira-kira modus operandi yang dikembangkan oleh pemerintah Cina.
Hal ini juga terlihat dalam kasus saintis Cina Wen Ho Lee, yang didakwa mencuri rahasia nuklir di Laboratorium nuklir AS di Los Alamos. Seperti juga dalam kasus sebelumnya yang melibatkan Kartina Leung, yang bekerjasama dengan informan FBI, untuk meloloskan beberapa informasi rahasia ke Beijing.
Kalau kita sepakat bahwa memang adanya sindkasi antara Cina rantau di Amerika dan pemerintah di Beijing, berarti terungkapnya lingkaran mata-mata Cina di Los Angeles, bukan satu-satunya. Dan kedua, mencuat satu pertanyaan penting, bagaimana menggambarkan mata-rantai jaringan tidak kasat mata tersebut?
Melalui serangkaian penelisikan, nampaknya yang paling menonjol adalah Jaringan Taiwan. Berarti, mendayagunakan warga Cina asal Taiwan sebagai “agen-agen tersamar” untuk melancarkan aksi spionasenya di AS. Berarti pula, di pelbagai negara termasuk Indonesia.
Terungkapnya keterlibatan pebisnis Taiwan Ko-Suen Moo pada 2005, membuktikan bahwa adanya peran terselubung jaringan Taiwan bukan sekadar fantasi atau khayalan belaka. Kala itu, Moo bekerja untuk perusahaan kontraktor pertahanan AS, Lockheed Martin Corp, kedapatan berusaha membeli sebuah mesin jet pesawat tempur F-16, dan membeli perlengkapan pertahanan lainnya untuk Beijing, termasuk rudal Cruise.
Melalui serangkaian cerita tadi, membuka sebuah cakrawala baru mengenai pola pikir komunitas intelijen Cina dalam mengembangkan operasi-operasi intelijennya di pelbagai belahan dunia. Dan menerapkan cara-cara dan modus operandi yang tak terpikirkan sebelumnya.
Misal, orang beranggapan karena Taiwan itu merupakan negara yang memisahkan diri dari Cina daratan di Beijing sejak 1949, menyusul kemenangan Partai Komunis Cina pimpinan Mao Zhe Dong, dan hengkangnya Jenderal Chang Kai Shek ke pulau Formosa yang kelak kita kenal sebagai Taiwan, hubungan pemerintah Cina dan pemerintah Taiwan masih tetap buruk sampai sekarang. Karena pemerintah Beijing masih dipandang berhaluan komunis, sementara Taiwan dipandang sangat anti-komunis.
Serangkaian kasus spionase di Amerika dengan terungkapnya Jaringan mata-mata Cina di Los Angeles, nampaknya pemerintahan di Beijing berhasil membangun sindikasi yang solid dan terorganisir dengan Cina rantau di pelbagai belahan dunia, termasuk AS.
Jelasnya, pemerintah Cina di Beijing memanfaatkan warga Taiwan untuk menginfiltrasi atau merekrut pejabat tentara, diplomat, teknisi militer dan siapa saja dipandang punya karir cemerlang di masa depan, khususnya di bidang teknologi dan militer.
Satu segi strategis yang kiranya sering luput dari pengamatan para analis intelijen di negri kita adalah fakta, bahwa sejak dekade awal 2000-an hubungan bisnis dan pariwisata antara Cina dan Taiwan maju pesat, terutama sejak dihapuskannya pembatasan perdagangan dan travel di antara kedua negara.
Belum lagi dengan membanjirnya investasi beberapa perusahaan Taiwan ke Cina, maupun perkembangan hubungan bilateral kedua negara yang semakin meningkat tajam setiap tahunnya. Menelaah kenyataan tersebut, kalau AS saja yang dikenal canggih komunitas intelijennnya bisa ditembus jaringan mata-mata Taiwan untuk pemerintah Cina di Beijing, besar kemungkinan Indonesia pun jadi sasaran operasi intelijen Beijing juga dengan memanfaatkan jaringan Taiwan yang terbangun melalui komunitas bisnis dan pariwisata yang sudah terjalin cukup mesra antara Cina dan Taiwan.
Meskipun belakangan timbul ketegangan baru antara Cina dan Taiwan gara-gara pernyataan provokatif Presiden AS Donald Trump yang terkesan bermaksud mengakui kebijakan dua Cina. Namun itu lebih merupakan stimulus dari luar yang belum berarti hubungan Cina-Taiwan jadi goncang gara-gara cuitan twitter seorang calon presiden yang kebetulan muncul sebagai pemenang pilpres pada 2016 lalu.
Bisa jadi, pernyataan provokatif Trump itu salah satunya, justru didasari dorongan untuk melayani kegelisihan beberapa lapisan masyarakat AS mengenai semakin menghangatnya hubungan Cina-Taiwan sejak awal 200-an. Sehingga dengan cuitan twitter Trump sebelum masuk gedung putih bahwa AS akan meninjau kembali kebijakan satu Cina, sejatinya dimaksudkan untuk merusak atau menciptakan ketidakstabilan hubungan Cina-Taiwan. Bukan karena memang secara serius bermaksud untuk mengakui Cina dan Taiwan sebagai pemerintahan kembar.
Hendrajit.