Setelah 75 tahun Perang Dunia II berlalu, saat ini semakin santer desas-desus bakal meletusnya Perang Dunia III dengan dipicu oleh semakin memanasnya persaingan global AS versus Cina di Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan.

Tren global yang cukup mengkhawatirkan di kawasan Asia Pasifik itu tidak sebatas di Semenanjung Korea saja. Pada November 2017 lalu di sela-sela momentum KTT APEC di Vietnam, AS memprakarsai persekutuan empat negara yang disebut Persekutuan Quad terdiri dari AS, Australia, Jepang dan India. Hal ini mengindikasikan kawasan Asia Pasifik, dan pastinya juga Asia ATenggara, kondisi politik dan keamanan bakal semakin memanas dan rawan.

Selain itu, pergeseran sentra konflk geopolitik agaknya sudah bergeser dari Timur Tengah dan Asia Tengah ke Asia Pasifik, yang ditandai dengan igesernya 60% armada perang Amerika Serikat (AS) ke Asia Pasifik sejak era Obama, juga aura PD tercium tatkala berbagai negara tengah giat membangun postur militer masing-masing, terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan tidak ketinggalan Indonesia.

Penambahan Divisi Kostrad dan pembangunan kekuatan TNI khususnya Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), apakah dalam rangka mempersiapkan hal dimaksud? Yang jelas, hal ini mengindikasikan adanya kesiagaan semakin meningkat tidak seperti biasanya.

Persekutuan Empat negara yang hakekatnya merupakan persekutuan blok Barat tersebut dikenal dengan sebutan Quadrilateral atau Quad, dalam jangka pendek memang dimaksudkan untuk menghadapi kekuatan ekonomi dan militer Cina di Asia Pasifik.

Bahkan beberapa tahun sebelummya, Inggris dan AS sempat menggodok konsep Indo Pasifik yang nampaknya dimaksudkan untuk memecah belah kekompakan negara-negara di Asia Pasifik sehingga Asia Pasifik akan dijadikan medan proxy war antara AS versus Cina.

Dalam jangka pendek, konsepsi Indo-Pasifik yang digulirkan Perdana Menteri Shinzo Abe pada 2007 dan Donald Trump pada 2017 lalu, adalah untuk bendung pengaruh kekuatan Cina di Asia Pasifik. Namun jangka panjang, Indo-Pasifik sangat berpotensi untuk menata ulang konstruksi geopolitik Asia-Pasifik sesuai skema kapitalisme global Washington dan London.

Yang perlu diantisipasi ke depan adalah, gagasan pembentukan Indo-Pasifik oleh Presiden Donald Trump pada November 2017 lalu, patut dicermati lebih dalam agenda tersembunyinya. Sekadar upaya membendung Cina? Atau ada rencana strategis yang lebih jauh dari itu, yaitu menata ulang kembali konstruksi geopolitik Asia Pasifik sesuai skema kapitalisme global yang dimotori AS dan Inggris.

Dalam konsepsi Indo Pasifik, Indo-Pasifik diindentifikasi sebagai “wilayah biog-eografis yang terdiri dari perairan tropis Samudra Hindia, Samudra Pasifik barat dan tengah, dan laut yang menghubungkan keduanya di wilayah umum di Indonesia.”

Pandangan seperti itu jelas sangat mengkhawatirkan bagi kita di Indonesia, mengingat selama ini keunggulan geostrategis kita justru karena posisi silangnya di antara samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Konsepsi Indo-Pasifik Sepertinya konsepsi Indo-Pasifik untuk membendung pengaruh Cina, sekadar sasaran antara, namun dalam jangka panjang, dimaksudkan untuk menata ulang geopolitik Asia Pasifik.

Konsepsi Indo-Pasifik sepertinya bukan hanya digagas Washington, melainkan juga London, Inggris. Jejak-jejaknya dapat dibaca ketika pada 2007 Kapten Angkatan Laut India Gurpreet Khurana dari Yayasan Maritim Nasional yang didanai militer India, telah merumuskan aoa yang disebut kepentingan strategis umum India, Jepang dan AS di Samudera Hindia dan Pasifik. Menarik bukan?

Menariknya lagi, pada 2013, gagasan Kapten Laut India Gurpreet Khurana dibahas secara lebih mendalam melalui Dialog Strategis AS-India. Dari sini saja jelas bahwa gagasan dari Guspreet Khurana itu bukan sekadar wacana akademik, melainkan sebuah landasan penyusunan kebijakan strategis keamanan global yang dimotori Washington dan London.

India, meski sudah negara merdeka, sejatinya masih terikat dengan kepentingan strategis kerajaan Inggris dalam kerangka Common Wealth atau Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran. Tak pelak lagi, India merupakan proxy agent Inggris dan AS untuk menyosialisasikan konsepsi Indo-Pasifik tersebut.

Hal ini semakin terbukti ketika pada 2013 itu pula Menteri Luar Negeri John Kerry menggulirkan konsep Koridor Ekonomi Indo-Pasifik dalam mengubah prospek pembangunan dan investasi serta untuk perdagangan dan transit antara ekonomi Asia Selatan dan Asia Tenggara.”

Jelas sudah. Bahwa konsepsi Indo-Pasifik dari awal mula penyiusunannya, dimaksudkan untuk membangun koneksitas antara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Nampak jelas ini merupakan konsepsi khas Inggris yang ditrapkan sejak abad ke-19. Bahwa untuk menguasai Asia, harus membangun pancangan kaki yang menghubungkan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Maka terbentuklah mata-rantai antara Myanmar, Srilanka dan India.

Maka dalam skema ini, menjadi logis ketika pada November 2017 lalu AS bersama-sama Australia, Jepang, dan India bersepakat membentuk persekutuan Quad. Yang mengkhawatirkan bukan soal untuk membendung Cina, namun persekutuan Quiad justru semakin memperkuat sinyalemen bahwa persekutuan blok Barat tersebut dibentuk dalam kerangka konsepsi Indo Pasifik.

Dalam konsetelasi demikian, Indonesia harus waspada dan siap mengantisipasi dinamika yang sedang berkembang. Betapa tidak.

Faktor geoposisi silang di antara dua samudera (Lautan Hindia – Pasifik) dan dua benua (Asia – Australia), menjadikan Indonesia merupakan kawasan yang mutlak harus steril, kondusif dan nyaman bagi keberlangsungan hilir mudik negara-negara lain di dunia. Dan merupakan lintasan Sealane of Communition (SLOC), jalur pelayaran global yang tak pernah sepi. Bahwa 80-an percent perdagangan dunia melintasi perairan Indonesia dimana 50-an percent ialah tanker-tanker minyak dunia. Hebatnya lagi, bahwa dari tujuh selat strategis dunia, empat di antaranya berada di republik tercinta ini.

Namun ada sisi rawan negeri kita yang perlu dicermati. Sebagaimana studi dan kajian Dr Sam Ratulangi dalam bukunya Indonesia dan Asia Pasifik, Di mata asing, ada takdir geopolitik Indonesia yang teramat strategis di mata global.

Pertama, bahwa dalam perspektif kolonialisme global, Indonesia diletakkan:

(1) sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju;

(2) sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan

(3) diposisikan sebagai pasar guna memutar ulang kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju.

Maka dari itu, seyogyanya sejak dari sekarang dan ke depan, segenap komponen bangsa ini secara bertahap wajib diajarkan selain materi geopolitik (geostrategi, geoekonomi) sesuai maqom dan/atau level akademisnya terutama pemahaman tentang perang nonmiliter (asymmetric warfare) beserta varian terbaru seperti hybrid war, proxy war, currency war, dan lain-lain — juga perlu digelorakan konsep bela negara.

Kenapa begitu, betapa sewaktu-waktu apabila dampak pertikaan terbuka antara Cina versus AS di Laut Cina Selatan atau semenanung Korea mengimbas secara fisik ke Indonesia maka segenap anak bangsa ini selain telah memahami secara mendalam apa yang sesungguhnya terjadi dan tak larut oleh gelaran “skema kolonialisme” siapapun adidaya, juga secara mental dan fisik, rakyat telah siap untuk menghadapinya. Bahkan siap dengan solusi penyelesaian krisis.

Hendrajit, redaktur senior.