Politik sebagai Invensi dan Aktualisasi Kaum Muda yang Berilmu

Bersamaan dengan kemunculan ruang publik inteligentsia itulah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan. Semua tokoh-tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priyayi tinggi. Mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa, berkat kegigihan generasi inteligenstia sebelumnya, terutama kaum guru, yang memperjuangkan perluasan akses pendidikan bagi orang-orang bumiputera; yang sedikit-banyak membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan.

Kebetulan juga, generasi ini merupakan buah pertama dari gelombang ‘pem-belanda-an (Dutchification) yang intens serta politik asosiasi yang dicanangkan oleh Snouck Hurgronje. Memasuki abad ke-20, bahasa dan budaya Belanda makin penting menyusul perluasan operasi perusahaan-perusahaan swasta Eropa, perluasan birokrasi dan institusi pendidikan, kemudahan hubungan antara Eropa dan Nusantara akibat dibukanya Terusan Suez (1869) serta munculnya arma-armada pelayaran swasta. Sejak itu, bahasa Belanda menggantikan bahasa lokal dalam pergaulan formal. Saat yang sama, politik asosiasi juga memperluas terpaan Barat terhadap kaum terdidik bumiputera.

Kedua hal ini memperluas akses kaum terdidik bumiputera terhadap pengajaran bahasa Belanda dan Eropa lainnya. Dengan bahasa sebagai kunci pembuka kepustakaan dunia, genenasi Sukarno mampu berkenalan langsung dengan pemikiran dan wacana semasa tanpa perantara. Akses kepustakaan kaum inteligensia ini diperkuat oleh kebijakan pemerintahan kolonial untuk mendirikan sebuah ‘rumah penerbitan buku’, yang memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan kepenulisan dalam sejarah Hindia di kemudian hari. Pada tahun 1908, pemerintah membentuk sebuah komisi untuk memberikan saran bagi penyediaan bahan bacaan bagi kaum pribumi dan sekolah-sekolah pribumi.

Dari sanalah muncul kaum muda berpengetahuan luas yang terlibat dalam wacana kemajuan, dan berusaha mengembangkan modal sosialnya melalui pengorganisasian jaringan sosial-budaya-ekonomi-politik sebagai inisiator, pemimpin dan sekaligus pelaksana dalam rangka memperjuangkan cita-cita kebangkitan nasional dan kemerdekaan bangsa. Praksis wacana lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesasteraan menjadi tahap awal perjuangan kaum inteligentsia generasi Soekarno. Hatta terlibat aktif di Jong Sumatranen Bond dan Perhimpunan Indonesia. Ia juga aktif menulis seperti di koran Neratja dan kemudian jurnal Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi-puisi patriotik. Sukarno terlibat di Jong Java kemudian mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda.

Saat yang sama ia juga aktif sebagai editor malajah SI, Bandera Islam (1924-1927), bahkan selama pembuangan tak luput menulis naskah drama. Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia, dan kelak berperan penting dalam jurnal/koran Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusasteraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.

Munculnya kaum muda berpengetahuan sebagai inisiator, pemimpin dan pelaksana cita-cita kebangsaan dan kemerdekaan memberi ciri khusus pada revolusi keindonesiaan. ”Akhirnya,” tulis Ben Anderson, ”saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh ’kesadaran pemuda’ ini.” Mohammad Hatta, sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan pertanyaan retoris: ”Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik?” Lantas ia jawab sendiri: ”Kalau mahasiswa Belanda, Perancis dan Inggeris menikmati sepenuhnya usia muda yang serba menggembirakan, maka pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya.”

Kaum muda yang terdidik secara baru melahirkan kesadaran baru bahwa untuk masa yang panjang Bumiputera hidup bagaikan katak dalam tempurung, dan tempurung itu dipercaya sebagai langit luas. Mereka melihat dengan mata sendiri kesengsaraan yang diderita oleh massa rakyat, dan menyadari sepenuhnya bahwa ”senjata” lama dengan impian ratu adilnya tak lagi memadai sebagai sarana perjuangan.

Dengan modal pengetahuannya, kaum muda menjebol kelembaman dengan ”menemukan” politik (the invention of politics). Bukan saja, hingga awal abad ke-20, bahasa Melayu-Indonesia tidak memiliki kata yang spesifik untuk ’politik’; tetapi yang lebih penting, lewat proses mimikri dari subyek-subyek kolonial, mereka mulai merumuskan visi dan ideologi politik-perjuangan.

Kemerdekaan sebagai Emansipasi Berbasis Keilmuan

Apa yang diperjuangkan oleh pergerakan kaum muda ini adalah kemerdekaan bangsa. Dalam alam pemikiran keindonesiaan, kemerdekaan pun mengandung prasyarat (modal) pengetahuan. Kata ‘merdeka’ sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Kawi/ Sanskerta ‘maharddhika’, yang berarti “rahib/ biku” atau “keramat, sangat bijaksana/berilmu (alim). Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), kata ini sering dinisbahkan kepada para “pandita” atau biku Budha, yang kerena keluhuran ilmu dan kebijaksanannya menduduki stratifikasi sosial yang tinggi. Ditinjau dari sudut ini, perjuangan kemerdekaan merefleksikan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari pelbagai bentuk ketidakadilan dalam distribusi kehormatan dan pemilikan dengan memperkuat modal pengetahuan/kebijaksanaan.

Demokrasi sebagai Kedaulatan Rakyat Berbasis Rasionalitas Ilmu/Kebijaksanaan

Dengan kesadaran penuh akan kemuliaan pengetahuan/kebijaksanaan itu pula gagasan kedaulatan rakyat hendak dibumikan. Demokrasi yang diidealisasikan oleh para pendiri bangsa tidaklah disandarkan pada legitimasi statistikal suara mayoritas, melainkan pada daya-daya deliberatif (permusyawaratan) dengan mengandalkan kekuatan rasionalitas-keilmuan dan kebijaksanaan.

Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung beberapa ciri dari alam pemikiran demokrasi di Indonesia. Dalam pokok pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan itu berdasar atas “kerakyatan” dan “permusyawaratan”. Dengan kata lain, demokrasi itu hendaknya mengandung ciri: (1) kerakyatan (daulat rakyat); dan (2) permusyawaratan (kekeluargaan).

Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.

Selain kedua ciri tersebut, demokrasi Indonesia juga mengandung ciri “hikmat-kebijaksanaan”. Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Orientasi etis ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh “mayorokrasi” dan “minorokrasi”.

Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Kelima, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elit penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.

Keluasan makna dari prasyarat “hikmat kebijaksanaan” dalam demokrasi menurut alam Pancasila memperoleh kejelasannya menyusul pertukaran pikiran antara Mohammad Natsir dan Roeslan Abdoelgani dari PNI dalam sidang Konstituante pada 1956.

Dalam pandangan Natsir, kelemahan Pancasila justru terletak pada kehendaknya untuk sekadar menjadi “titik-pertemuan” dari berbagai paham ideologi. Dengan demikian, menurutnya, “Memang raison d΄etre-nya Pancasila, alasan untuk adanya Pancasila itu sendiri, adalah mau netral. Pancasila mau berdiri netral, di atas semua ideologi yang ada.” Karena tendensi netralitasnya, “Pancasila akan tetap tak mau menanggalkan netralitasnya, tak mau menerima salah satu substansi yang positif. Lantaran itu ia tetap mau berdiri sendiri sebagai ‘pure concept’. Sebagai ‘pure concept’ yang berdiri sendiri ia tak merupakan satu realitas di dalam positif.” Lebih lanjut ia katakan, tanpa bersedia mengambil suatu pilihan positif, toleransi yang dikembangkan hanyalah suatu toleransi negatif, yang berpretensi untuk sekadar berkompromi demi mengakomodasi segala aspirasi, namun tidak berusaha untuk mencapai yang terbaik. “Toleransi tanpa konfrontasi sesungguhnya bukanlah toleransi yang kita maksud, karena itu hanya berarti mengelakkan persoalan….Yang kita perlukan ialah konfrontasi dalam suasana toleransi sehingga dari pembenturan antara ide-ide dan pemikiran yang kita ajukan masing-masing kita sampai kepada kebenaran.”

Menghadapi kritik seperti itu, Roeslan Abdoelgani menyatakan bahwa toleransi yang dikehendaki Pancasila adalah suatu kompromi dalam konteks toleransi yang positif karena senantiasa dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Selengkapnya ia katakan: “Saya tahu, bahwa ada pihak-pihak yang tidak suka mendengar kata kompromi. Secara absolut kompromi diartikan sebagai akibat kelemahan. Padahal seringkali kompromi lahir bukan karena kelemahan, melainkan justru karena kekuatan keyakinannya yang dalam menghadapi realitas menggunakan toleransi yang positif (positive verdraagzaamheid) atau hikmat kebijaksanaan untuk berkompromi. Berkompromi untuk tujuan yang lebih tinggi; berkompromi tidak dalam arti ‘cease-fire’ tapi dalam arti hidup berdampingan secara damai dan ber-synthese…”.

Demokrasi permusyawaratan meletakkan keutamaan diskusi dengan kekuatan argumentasi berlandaskan daya-daya konsensus (hikmat-kebijaksanaan), di atas keputusan yang berdasarkan voting. Dalam demokrasi permusyawaratan yang menjungjung tinggi nalar pengetahuan dan kebijaksanaan, sesengit apa pun konfrontasi gagasan yang berkembang, selalu tersedia mekanisme penyelesaian konflik secara damai; selalu terbuka peluang untuk menghasilkan sintesis yang lebih bermutu. ‘Konflik yang bersifat intelektual’, kata Randall Collins, ‘selalu dibatasi oleh fokus perhatian pada topik-topik tertentu, serta oleh usaha untuk mencari sekutu… Konflik merupakan sumber energi dari kehidupan intelektual, dan konflik intelektual dibatasi oleh dirinya sendiri’ (Collins 1998: 1). (Bersambung)

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual