Yudi Latif - Makrifat Pagi. (ilustrasi/aktual.com)
Yudi Latif - Makrifat Pagi. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Cendekiawan Yudi Latif, mengatakan penanaman nilai-nilai Pancasila membutuhkan pendekatan yang lebih kreatif dan menyenangkan, sehingga dapat diterima secara efektif oleh generasi-generasi milineal kini.

“Setiap ideologi itukan memerlukan memasukan doktrin itu. Indoktrinasi itukan artinya memasukan doktrin itu, ya tadi cuma cara indoktrinasinya ini tidak boleh lewat sarana represif, tidak boleh lewat sarana-sarana pemaksaan, tapi lewat justru sarana-sarana yang lebih menyenangkan, yang lebih diterima secara sukarela,” tuturnya. “Makanya pendekatan-pendekatan kreatif ini yang harus kita berikan,” katanya dalam Pekan Pancasila yang digelar di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara di Jakarta, Kamis (1/6).

Untuk itu menurut dia, ke depan upaya indoktrinasi Pancasila harus menggandeng orang-orang kreatif, yang mampu memberikan nilai-nilai melalui karya-karya mereka yang dilihat, didengar maupun dirasakan oleh masyarakat sehingga bisa direapi.

Penulis Buku Negara Paripurna tersebut mencontohkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme Amerika Serikat yang ditebar melalui film-film.

“Seperti yang saya katakan tadi, nasionalisme di Amerika bertumpu pada kekuatan kreatif, lewat film lewat musik, ada film-film superhero kayak kapten Amerika dan lain-lain dan itulah cara mereka menanamkan patriotisme dan kebangsan,” ujarnya.

Selain itu, dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini ide-ide kreatif juga dibutuhkan. Penggunaan telpon pintar menjadi medium yang tepat sebagai penyebar nilai-nilai Pancasila. Hal ini mengingat Generasi Mileneal telah terhubung dengan gawai sebagai gaya hidup masa kini melalui berbagai aplikasi dan layanan media sosial.

Di Indonesia lebih dari 300 juta telpon selular beredar di masyarakat, sementara pengguna internet mencapai lebih dari 132 juta jiwa. Indonesia termasuk pengguna Twitter teraktif di dunia dan masuk dalam jajaran pengguna terbanyak Facebook di dunia, imbuhnya.

Ia juga mengatakan, kreativitas dibutuhkan karena telah tumbuh satu generasi baru, generasi reformasi, yang selama hampir 20 tahun sejak reformasi 1998 mengabaikan penanaman nilai-nilai Pancasila.

“Karena pengalaman trauimatik dari rezim sebelumnya, sehingga kompas nalar kita tidak begitu jernih, seolah-olah kompas nalar kita apapun yang diwarisi dari masa lalu, harus di tinggalkan, jadi sempat mengalami adanya kevakuman di mana sekolah-sekolah tidak lagi diwajibkan memberikan pelajaran Pancasila bahkan pidato-pidato penyelenggara negara juga lama tidak mengutip Pancasila,” tuturnya.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: