Jakarta, Aktual.com – Zawiyah Arraudhah menggelar Haul Quthbul Aqthâb Wa Kahfi Amni at-Thullâb Syaikhul A’dzom Sayyiduna Al-‘Ârif Billâh Al-Mursyidul Kâmil Al-Mukâmil Al-Imâm Abul Hasan ‘Alîy As-Syâdzilîy Ra ke-786 secara virtual lewat akun zoom dan disiarkan secara langsung melalui aplikasi Facebook pada Sabtu (26/6).

Haul virtual ini diadakan untuk mencegah terpaparnya Jamaah Thoriqoh Qodiriyah Syadziliyah dari Covid-19 yang saat ini tengah meningkat di wilayah Jakarta. Meskipun dilakukan secara virtual, kegiatan Haul ini akan dihadiri oleh Syekh Yusri Rusdi bin Sayyid Jabr Al-Hasani, Ulama Al-Azhar Kairo Mesir dan Syekh Abdul Mun’im bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Siddiq Al-Ghumari Al Hasani, Ulama dari Tanjir, Maroko.

Ketua Yayasan Arraudhah Ihsan Fondation, Ustadz Azka Fuadi menyampaikan Syekh Abul Hasan Ali As-Syadzili adalah Quthbul Aqtab pendiri daripada Tarekat Syadzuliyyah, yang merupakan Tarekat, memiliki jumlah pengikut kedua terbanyak di dunia. Zawiyah Arraudhah setiap tahun selalu menyelenggarakan Haul, namun dua tahun belakangan ini diselenggarakan secara virtual dikarenakan kondisi wabah pandemi.

“Dua tahun terakhir ini kita tidak bisa menyelenggarakan haul secara besar-besaran seperti yang pernah kita lakukan pada tahun 2018 lalu dengan jumlah jamaah yang hadir saat itu sekitar 2.000 jamaah. Bahkan kita bisa menutup akses jalan di depan Zawiyah waktu itu. Saat ini karena kondisi Pandemi kita cukup seperti ini saja sambil kita berdoa semoga wabah Pandemi ini cepat berlalu,” kata ustadz alumni Al-Azhar Kairo Mesir ini.

Untuk jamaah yang hendak mengikuti kegiatan Haul ini, dia menyarankan untuk mengakases Facebook Zawiyah Arraudhah Ihsan Fondation atau bergabung dalam zoom meeting.

Berikut link livestreaming: https://www.facebook.com/events/181268670626634/

Berikut link zoom meeting room yang bisa diakses:
https://zoom.us/j/95428688213?pwd=Ym1kb1lxUmZYNG53U0NYU3Q2TXc4QT09

Berikut pengantar untuk mengenal Tarekat Syadziliyah dan Ajarannya:

Pendiri tarekat Syadziliyah yakni Qutb Jami ’Maqom wa Ghouts‘ Adhom Sulthonul Aulia Arifin Sayyidi Syeikh Abu al-Hasan Ali as-Syadzili memiliki nama lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib (suami dari Fathimah bin Rasulullah) seperti yang dikutip dari kitab Abu Hafsh, siraj al-Din, Thobaqat al-aulia.

Beliau dilahirkan di Ghumara, sebuah desa dekat Ceuta saat ini, yaitu di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat Dinasti Muwahhidun mencapai titik nadirnya seperti yang dikutip dalam buku Aboebakar, Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf.

Maulana Syekh Yusri Rusydi menceritakan tentang asal mula mengapa Syekh Abu Hasan dinamakan al-Syadzili padahal ia bukan lahir di Syadzili.

Dikisahkan bahwa dalam fananya, Tuhan berbicara kepadanya dan mengilhamkan sesuatu, “Wahai Ali! Aku menamakan engkau al-Syadz, yang artinya seseorang yang jarang keistimewaannya dalam berkhidmat kepada-Ku.”

Ketika masih berusia muda, Imam Syadzili meninggalkan kota kelahirannya menuju Tunisia. Beberapa waktu kemudian, dia menjadi seorang teolog beraliran Sunni yang sangat menentang Mu’tazilah. Sedangkan dalam fiqih, Imam Syadzili mengikuti Madzhab Maliki, karena madzhab ini sangat dominan di daerah Maghrib (Spanyol, Maroko dan Tunisia).

Di antara guru-guru Imam Syadzili, Ibn Masyisy-lah yang sangat mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya. Atas nasihatnya pula Imam Syadzili meninggalkan Fez menuju Tunisia dan tinggal di sebuah daerah bernama Syadzili.

Di daerah yang baru ini, ia banyak bertemu dan bertukar pikiran dengan para ulama dan para sufi. Dan tanpa diduga, masyarakat menyambutnya dengan sambutan yang luar biasa. Namun kemudian Imam Syadzili pergi ke pegunungan Zaghwan dengan ditemani oleh ‘Abdullah ibn Salamah al-Habibi dan berkhalwat di sana.

Setelah melakukan khalwat di Jabal Zaghwan itu, ia mendapat perintah dalam sebuah penglihatan spiritual untuk mengajarkan tasawuf. Ia kemudian kembali lagi ke masyarakat dan menyampaikan dakwahnya.

Ia membangun sebuah Zawiyah di Tunisia pada 625 H, bersamaan dengan tibanya Abu Zakaria di tempat itu sebagai gubernur baru dan kelak sebagai pendiri Dinasti Hafsiyyah. Secara periodik dia memberikan ceramah ke desa-desa di daerah Tunisia. Di sini ia mendapat sambutan yang cukup hangat sampai menimbulkan kebencian seorang hakim Tunisia; Abu al-Barra.

Akibat konflik yang berkepanjangan dengannya, Imam syadzili memutuskan untuk meninggalkan Tunisia menuju Mesir. Di Mesir inilah Tarekat syadziliyah mulai berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru bumi. Dan di Mesir pulalah Imam syadzili dimakamkan, yaitu di daerah Humaitsara dekat pantai Laut Merah dalam perjalanannya untuk ibadah haji yang terakhir kalinya.

Berdasarkan ajaran yang diturunkan oleh Imam Syadzili kepada para muridnya, terbentuklah tarekat yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat As-syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, suriah hingga ke wilayah Asia termasuk Indonesia.

Tarekat As-syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti Muwahhidun yakni Hafsiyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.

Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner (seorang peneliti tarekat Syadziliyah) adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).

Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexanderia) tetapi kemudian juga mempunyai pengikut yang luas sampai daerah pedesaan.

Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghrib pada abad ke-10 Hijriyah seperti Ali al-Shanaji dan muridnya Abdu Rahman al-Majdzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini juga diikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H yaitu Imam Jalaluddin al-suyuthi.

Sepeninggal Imam syadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh Imam Syadzili. Al-Mursi termasuk murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan murid Imam Syadzili lainnya.

Suatu ketika Imam Syadzili pernah berkata, “Wahai Abbas! Pandangan luarku telah menyatu dengan batinku, aku merasa bersatu dengan Tuhan. Selama saya hidup saya tidak akan meninggalkan orang-orang kepercayaan dan para pengikutku dan demi Allah, engkaulah yang paling utama di antara mereka”.

Seperti gurunya, al-Mursi di samping mempunyai kualitas spiritual yang tinggi ia juga seorang humanis. Dia sangat concern terhadap kehidupan masyarakat, terhadap orang-orang miskin dan kelaparan.

Seperti juga gurunya, al-Mursi tidak meninggalkan buku atau risalah tasawuf karena beranggapan bahwa karya-karya semacam itu hanyalah buih yang terdampar di tepian samudera kesadaran spiritual yang tanpa batas. Namun sebagaimana gurunya, al-Mursi mewariskan bacaan-bacaan hizib .

Di antara murid-murid al-Mursi adalah al-Busyiri, penyair Mesir terkenal yang berasal dari Berber, yang amat terkenal dengan dua syairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, yakni al-Burdah dan Hamziyah, yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi.

Murid yang lainnya adalah Syeikh Najm al-Din al-Ishfahani, murid al-Mursi berkebangsaan Persia yang lama menetap di Mekkah dan menyebarkan ajaran Syadziliyah kepada para jamaah haji. Dan yang termasuk murid al-Mursi adalah Ibn Athoillah Guru Ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat ini.

Melalui tangannyalah dituliskan ajaran, pesan-pesan serta doa-doa Imam Syadzili dan al-Mursi. Ia pula yang menyusun berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak ternilai untuk memahami perspektif Syadziliyah bagi angkatan sesudahnya.

Syeikh Ibn Athoillah mewariskan sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, syaikh Abu Abbas al-Mursi. Ia menulis beberapa buku antara lain: Kitab al-Hikam; al-Tanwir fi Isqoth at-Tadbir; Lathaif al-Minan; al-Qashd al-Mujarrod fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrod; Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah; dan sejumlah karya yang banyak lagi jumlahnya.

Seluruh karyanya ini akhirnya mendominasi karya-karya tarekat As-syadziliyah, sebab dialah Syeikh pertama yang menorehkan pena demi menuliskan ajaran-ajaran tarekat As-Syadziliyah itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul cabang-cabang dalam Tarekat As-Syadziliyah. Pada abad ke-8 H di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah, yang didirikan oleh Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad Wafa yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa, ayah dari tokoh terkenal Ali bin Wafa.

Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur Dekat di luar Mesir. Setelah abad ke-9 H mereka menggunakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya Syadziliyah yang umumnya tidak menonjolkan diri tidak diperhatikan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan.

Di samping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu Hanafiyyah, Jazuliyyah, Nashriyyah, ‘Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah dan sebagainya.

Di samping itu, Syeikh Ibn Athoillah juga merupakan orang pertama yang menulis sebuah karya tulis utuh yang menjelaskan adab-adab dalam tarekat, mendefinisikannya dan sekaligus meletakkan kaidah-kaidahnya sebagai acuan bagi para jama’ah tarekat Syadziliyah sampai saat ini.

Abu Wafa al-Taftazani menyebutkan bahwa ajaran tasawuf tarekat Syadziliyah sangat berbeda dengan aliran-aliran tasawuf falsafi semodel ajaran tasawuf Ibn Arabi tentang Wahdatul wujudnya.

Tak satupun dari guru besar tarekat Syadziliyah menyebutkan tentang pemikiran Wahdatul Wujud itu. Di saat mereka sangat jauh dengan gaya tasawuf falsafi, ternyata mereka sangat dekat dengan ajaran tasawuf al-Ghazali.

Hal ini bisa dibuktikan dengan salah satu perkataan Imam Syadzili kepada muridnya, “Jika engkau ingin mengadukan kebutuhanmu kepada Allah, maka berwasilahlah melalui Imam Ghazali”. Kemudian ia berkata, “Kitab Ihya Ulumuddin (karya al-Ghazali) akan mewariskan kepadamu keilmuan, kitab Qut Qulub (karya al-Makki) akan mewariskan kepadamu sebuah cahaya.”

Syeikh Ibn Athoillah menyebutkan Imam al-Ghazali dalam beberapa tempat yang sangat banyak dalam kitab-kitabnya yang sangat besar dan terkemuka, karena disamping meneladani guru-gurunya, ia juga terpengaruh olehnya dalam berbagai macam hal.

Untuk itu, sebagian besar ajaran tarekat Syadziliyah banyak dipengaruhi oleh ajaran tasawuf al-Ghazali. Meskipun antara al-Ghazali dan ajaran tarekat Syadziliyah memiliki banyak kesamaan, namun juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Apabila al-Ghazali lebih menekankan pada riyadlah al-badan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqqoh seperti bangun untuk sholat malam, lapar, dan lain-lain.

Maka Imam Syadzili lebih menekankan pada riyadlah al-qulub tanpa menekankan adanya musyaqqah al-abdan, misalnya dengan lebih menekankan senang (al-farh), rela (al-ridlo), dan selalu bersyukur (al-syukr) atas nikmat Allah.

Menurut Abu Wafa al-Taftazani, ajaran-ajaran dalam tarekat As-Syadziliyah bisa diringkas di dalam lima prinsip, yaitu takwa kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun tempat terbuka, mengikuti sunah dalam perkataan dan perbuatan, memaligkan diri dari makhluk di dalam kerahasiaan maupun tidak, ridla terhadap Allah dalam hal yang sedikit maupun banyak dan kembali kepada Allah di saat senang maupun kesusahan.

Dan masih dalam penjelasan Abu Wafa, menurutnya, salah satu ajarannya yang terkemuka adalah menghilangkan tradisi memprediksi hal yang akan datang. Ini merupakan dasar yang membangun keseluruhan tarekat ini dan sekaligus dijadikan sebagai ciri khas alirannya dalam tasawuf.

Dalam ajaran tarekat As-syadziliyah, dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan akan membuat hati mengenal rahmat Ilahi.

Sedangkan meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta akan membawa kepada kezaliman. Dalam pandangan tarekat ini, sebaiknya manusia menggunakan nikmat Allah dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan rasul-Nya.

Tarekat As-Syadziliyah tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi keduniaan mereka. Syeikh Ibn Athoillah membahas perihal mengatur dunia tanpa tertipu dengannya. Menurutnya, mengatur dunia itu ada dua macam. Yaitu, mengatru dunia untuk dunia semata dan mengatur dunia untuk akhirat.

Yang pertama adalah merancang cara mengumpulkan dunia dengan rasa bangga dan cinta kepadanya. Setiap kali dunianya bertambah, ia bertambah lalai terhadap akhirat, tambah terbuai dan tambah terperosok dalam maksiat. Tandanya, dunia tersebut membuatnya lalai dan tidak mengindahkan syariat.

Sementara yang kedua (mengatur dunia untuk akhirat) sepeti orang yang mengelola dagangannya agar bisa makan dari hasil yang halal dan baik, agar bisa berinfak kepada fakir miskin, agar bisa menyambung silaturahmi, bisa menjaga diri untuk tidak mengemis dan bisa menjaga kehormatan.

Tandanya, ia tidak sibuk memperkaya diri, tidak mendunia, selalu membantu penderitaan kaum muslim dan memudahkan orang-orang yang berada dalam kesulitan.

Zuhud dalam pandangan tarekat As-Syadziliyah tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah. Dunia yang dibenci kaum sufi, adalah dunia yang memalingkan seorang hamba dari Tuhannya, yang melengahkan dan memperbudak manusia karena kesenangan yang berlebihan terhadapnya.

Bagi kalangan tarekat As-Syadziliyah, tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik dibolehkan untuk mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, yaitu dengan tidak sedih ketika harta hilang dan tidak bangga ketika hartanya bertambah. Wallahu A’lam