Jakarta, aktual.com – Zikir secara bersama-sama tidak memiliki larangan yang didasari oleh dalil. Oleh karena itu, kegiatan ini termasuk dalam hal-hal yang diperbolehkan (mubah). Dalam sebuah fatwa dari Dar al-Ifta al-Urdun (Nomor 3564, tanggal 23 Maret 2020) dijelaskan bahwa zikir dan doa adalah salah satu ibadah terbesar dan cara seorang hamba menyatakan ibadahnya kepada Allah Swt.

Melalui zikir dan doa, seorang hamba mengumumkan ibadahnya kepada Allah dan mencari mendekatkan diri kepada-Nya. Allah kemudian menghormati hamba-Nya dengan menyertai mereka, menjadi penolong mereka, dan mengabulkan doa mereka. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman,

“Maka ingatlah kamu kepada-Ku, Aku akan ingat kepada kamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (Qs. Al-Baqarah: 152).

Dalam hadis, Rasulullah saw. juga mengajarkan bahwa Allah senantiasa bersama hamba-Nya ketika mereka menyebut-Nya.

Zikir dan doa secara berjamaah serta pengangkatan suara dalam zikir adalah dianjurkan. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, termasuk dalam Al-Qur’an ketika meminta zikir dan doa dalam bentuk jamak (bentuk jamak adalah penyebutan dalam jumlah lebih dari satu). Hadis Rasulullah saw. juga menganjurkan zikir dan doa secara berjamaah. Sebagai contoh, Rasulullah saw. bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُ )متفق عليه(

“Allah berfirman, ‘Aku bersamaan dengan prasangka hamba-Ku, dan Aku bersamanya ketika dia menyebut-Ku dalam hatinya. Jika dia menyebut-Ku dalam suatu majelis, Aku akan menyebutnya dalam majelis yang lebih baik darinya.'”

Dan dalam hadis yang lain,

وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ )رواه الترمذي(

“Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum pun yang menyebut nama Allah kecuali para malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat akan menaungi mereka, ketenangan akan turun kepada mereka, dan Allah akan menyebut mereka di antara para malaikat yang berada di sisi-Nya.” (HR. At-Tirmidzi)

Dengan demikian, zikir berjamaah seringkali melibatkan pengangkatan suara.

Tidak ada dalil yang menunjukkan larangan melakukan zikir dan doa secara berjamaah, serta tidak ada kontradiksi antara praktik zikir berjamaah dengan zikir pribadi. Sebagai contoh, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ketika sekelompok orang berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya bersama, maka ketenangan (sakinah) akan turun kepada mereka, rahmat akan meliputi mereka, malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah akan menyebut mereka di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, melakukan zikir dan doa secara pribadi atau berjamaah, serta dengan pengangkatan suara atau secara diam-diam, semuanya bisa menjadi sunah tergantung pada situasi dan individu yang melakukannya. Tidak ada masalah dalam melakukannya dengan berbagai cara.

Selain itu, ada zikir dan doa tertentu yang memiliki manfaat khusus. Contohnya, doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. untuk meminta perlindungan dari penyakit seperti kusta, kegilaan, dan penyakit kulit. Ini menunjukkan bahwa zikir dan doa memiliki manfaat tertentu dalam menghadapi permasalahan kesehatan.

Adapun istighfar (memohon ampunan), doa, dan puasa dilakukan bersama-sama adalah dalam rangka kerjasama untuk kebaikan dan ketakwaan. Allah Swt. berfirman,

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al-Ma’idah: 2).

Tindakan ini tidak dianggap sebagai bid’ah (inovasi dalam agama) karena bid’ah adalah segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, sementara pertemuan dan kerjasama ini adalah sarana untuk kebaikan dan bukan ibadah yang dikehendaki untuk dirinya sendiri.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibn Rajab al-Hanbali,

“Bid’ah adalah apa yang diada-adakan dalam agama yang tidak memiliki dasar dalam syariat dan tidak ada indikasi syar’i yang menunjukkan padanya. Sedangkan apa yang memiliki dasar dalam syariat, maka itu bukanlah bid’ah menurut syariat, walaupun mungkin disebut sebagai bid’ah dalam bahasa.” (Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam). Wallau a’lam.

Tulisan merupakan makalah dari Syekh Abdulhamid A.A. Hanini yang dipresentasikan dalam kegiatan World Sufi Assembly di Pekalongan, 2023

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain