Jakarta, Aktual.com — Agar seorang Muslim memiliki kepribadian Muslim yang hakiki, ada beberapa karakteristik yang harus ia penuhi terlebih dahulu. Yaitu,

1. Salimul Aqidah atau Aqidatus Salima (Akidah yang lurus atau selamat)

Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap Muslim. Dengan akidah yang lurus, seorang Muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan – ketentuan-Nya. Dengan kelurusan dan kemantapan akidah, seorang Muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah SWT.

Allah SWT telah berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya, “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al An’aam :162)

Karena akidah yang lurus merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal dakwahnya kepada para Sahabat di Mekah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan akidah, iman, dan tauhid.

2. Shahihul Ibadah (Ibadah yang benar)

Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW yang paling penting. Dalam satu Hadis Rasulullah SAW, bersabda, “Salatlah kamu sebagaimana melihat aku salat”.

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah mengikuti (ittiba’) kepada sunnah Rasulullah SAW yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.

3. Matinul Khuluq (Akhlak yang kokoh)

Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah SWT maupun dengan makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Karena akhlak yang mulia penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, dimana Beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Quran sesuai firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Artinya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al Qalam : 4)
5. Mutsaqqoful Fikri (Wawasan yang luas)

Mutsaqqoful fikri wajib dipunyai oleh pribadi Muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah SAW adalah fatonah (cerdas). Di dalam Al Quran juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah SWT,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.(Al Baqarah : 219)

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berfikir. Karenanya seorang Muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yang luas maka manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan menuntut ilmu yang paling baik adalah melalui majelis ilmu seperti yang digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Al Mujadilaah : 11).
6. Qowiyyul Jismi (Jasmani yang kuat)

Seorang Muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Salat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah SWT dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.

Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang Muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang Muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah SAW menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim seperti sabda beliau, “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada Mukmin yang lemah.” (HR. Muslim).

7. Mujahadatul Linafsihi (Berjuang melawan hawa nafsu)

Hal ini penting bagi seorang Muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan.
Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam).” (HR. Hakim).

8. Harishun Ala Waqtihi (Disiplin menggunakan waktu)

Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Quran dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan lainnya. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap Muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka di antara yang disinggung oleh Nabi Muhammad SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara. Yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.

9. Munazhzhamun fi Syuunihi (Teratur dalam suatu urusan)

Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang Muslim yang ditekankan oleh Al Quran maupun sunah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam menunaikan berbagai tugas tersebut.

10. Qodirun Alal Kasbi (Memiliki kemampuan usaha sendiri atau mandiri)

Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang Muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi.

Karena pribadi Muslim tidaklah mesti miskin, seorang Muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah Haji dan Umrah, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Quran maupun Hadis dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.

Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang Muslim sangat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rezeki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah SWT sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan ‘skill’ atau ketrampilan.

11. Nafi’un Lighoirihi (Bermanfaat bagi orang lain)

Manfaat yang dimaksud di sini adalah manfaat yang baik sehingga di mana pun dia berada, orang di sekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang Muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.

Ini berarti setiap Muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Qudhy dari Jabir)

Untuk meraih kriteria pribadi Muslim tersebut memang membutuhkan kesungguhan dan kesinambungan. Karena Allah SWT berjanji akan memudahkan hamba-Nya bagi yang bersungguh-sungguh meraih keridoan-Nya.

(Sumber: Dra. Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, thn 2008, hal 186; Muhammad Natsir, Fiqhud Dakwah (Jakarta : Capita Selecta), 1996; Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta : GrafindoPersada), 2004; Umdatul Hasanah, pembentukan Kepribadian Muslim, Adzikra, Banten, 2010; Jalaluddin dan Usaman Said, 1994. Filsafat Pendidikan Agama Islam (Konsep dan Perkembangan Pemikirannya). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam psikologi islam.jakarta: Raja Grafindo Persada; Zuhairini et,al. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara; Saeful fachri, “Membentuk Kepribadian Islam”, di akses dalam http://dakwahkampus.com/pemikiran/pendidikan/1444-pendidikan-islam-membentuk-kepribadian-islam.html; http://www.dakwatuna.com/2007/12/327/kepribadian muslim/#ixzz22BJTbyYl)

Artikel ini ditulis oleh: