ilustrasi penjara anak

Kupang, Aktual.com – Kuasa hukum prinsipal dan pengacara dari Ken Cush & Rekan yang berbasis di Canberra Australia, Mark Barrow dan Frank Tuscano, mengatakan sekitar 200 anak Indonesia masih terbelenggu di penjara Federal Australia sejak 2012.

“Anak-anak yang masih di bawah umur itu ditahan dan dipenjara secara ilegal oleh pihak berwenang di Australia. Karena itu, kami ke sini (Kupang) untuk mencari keadilan bagi anak-anak asal Pulau Rote, NTT itu,” kata Mark Barrow di Kupang, Senin (26/2).

Anak-anak asal Pulau Rote yang ditahan dan dipenjara secara ilegal di Australia itu atas tuduhan ikut terlibat dalam operasi penyelundupan orang tahun 2009, termasuk 55 pencari suaka Afghanistan ke Australia pada waktu itu.

Barrow mengakui bahwa secara hukum, hanya orang berusia di atas 18 tahun yang bisa dipenjara, namun ratusan anak muda Indonesia itu ditahan untuk waktu yang lama di penjara dengan keamanan maksimal yang ketat.

Ia mengatakan pada tahun lalu, Ken Cush & Rekan berhasil membatalkan hukuman Ali Jasmin di Pengadilan Tinggi Australia Barat.

Ketika berusia 13 tahun, Jasmin, tanpa sadar memainkan peran kecil dalam operasi penyelundupan orang tahun 2009 yang berusaha menghadirkan 55 pencari suaka Afghanistan ke Australia.

“Ali Jasmin dijatuhi hukuman sebagai orang dewasa untuk menjalani lima tahun di penjara Hakea yang terkenal kejam di Perth, Australia Barat itu,” katanya menambahkan.

Polisi Federal Australia (AFP) hanya mengandalkan tes sinar X untuk menghitung usia Ali Jasmin lewat pergelangan tangan. Dokumen Indonesia termasuk akta kelahirannya, yang menunjukkan bahwa dia adalah remaja, ada namun tidak disajikan di pengadilan.

Setelah proses hukum yang panjang, tahun lalu Presiden Pengadilan Tinggi Australia Barat, Michael John Buss dan para hakim, Robert Anthony Mazza dan Robert Mitchell membebaskan dan membatalkan hukuman Jasmin, “Saya yakin bahwa kesalahan hukum telah terjadi, dan sekarang menyusul kesuksesan tersebut, mereka akan menuntut kompensasi untuk Jasmin dan anak-anak lain yang berada dalam situasi yang sama,” katanya.

Jasmin telah mengajukan gugatan ke Komisi Hak Asasi Manusia Australia dan menuntut kompensasi. Gugatannya diikuti oleh sekitar 50 orang lainnya setelah Ken Cush & Rekan mewawancarai anak-anak yang pernah berada dalam situasi yang sama dari Kabupaten Alor, Kupang dan Rote, NTT.

Pada tahun 2012, Komisi Hak Asasi Manusia Australia memperingatkan pemerintah Australia mengenai fakta sejumlah besar kasus perdata setelah menahan sekitar 200 anak di bawah umur mengenai tuduhan penyelundupan manusia selama empat tahun sebelumnya.

“Ken Cush & Rekan mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah NTT dan Rote Ndao atas bantuan mereka dalam menemukan anak-anak dan kami akan terus mencari anak-anak lain yang belum ditemukan sampai saat ini,” katanya menambahkan.

Kasus pembakaran kapal Sementara itu, Ketua Tim Advokasi Korban Montara Ferdi Tanoni mengatakan kehadiran Ken Kush & Rekan itu ke Kupang juga untuk melakukan observasi tentang pembakaran kapal-kapal nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor yang berjumlah lebih 1.200 buah itu untuk digugat secara hukum.

“Jika hasil observasi yang dilakukan ini positif maka gugatan terhadap Pemerintah Australia akan diaktualisasikan, kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu.

Ia menambahan observasi tersebut akan dititik beratkan pada belum adanya garis batas perairan yang permanen antara RI-Australia di selatan Laut Timor.

“Observasi tersebut menyusul belum diratifikasinya perjanjian 1997 oleh kedua negara serta Hak-hak nelayan tradisional Indonesia serta hukum Australia tentang hak-hak asasi manusia berdasarkan Piagam PBB dan UNCLOS,” katanya.

Sementara itu, Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) Haji Faren Mustafa bersama sejumlah anggotanya telah memberikan dokumen dan keterangan tentang pembakaran perahu mereka secara tidak manusiawi oleh Pemerintah Australia kepada Ken Kush & Rekan untuk dipelajari lebih lanjut.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: