Banda Aceh, Aktual.com – Pengalihan fungsi hutan lindung serta daerah rasapan air atau deforestasi di Aceh telah mengakibatkan sejumlah daerah dilanda bencana banjir.

Demikian pendapat Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur yang dikemukakan di Banda Aceh, Senin (19/11) kemarin.

Pengalihan fungsi hutan lindung, daerah resapan serta pertambangan iligal menyebabkan laju deforestasi di Aceh setiap tahun terus meningkat.

Muhammad mengungkapkan, dalam setiap tahunnya lebih 23 ribu hektare lahan hutan lindung di Aceh karena aktifitas illegal loging, pertambangan dan pembukaan lahan pertanian. Angka ini, disebutnya termasuk dalam golongan merah.

Perambahan hutan lindung atau iligal loging, penanaman sawit di kawasan resapan serta penambangan telah menyebabkan sebagian wilayah di “Bumi Seramkbi Mekah” berlangganan dengan banjir.

Diketahui, pekan ini dua wilayah di provinsi paling barat Sumatera yakni, Kabupaten Pidie, dan Aceh Timur diterjang bencana banjir dan longsor.

Banjir dan tanah longsor mengakibatkan badan jalan di Gampong Blang Bungong putus total di Gampong Layang, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.

Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menyatakan, banjir dan tanah longsor terjadi di delapan kecamatan yakni, Kecamatan Tangse, Mutiara Timur, Mutiara, Tiro/Truseb, Mila, Indrajaya, Keumala dan Titeu.

Titik longsor terjadi pada lima lokasi yakni, di jalan Pulo Sunong tujuan Blang Rimeh, kemudian di jalan Blang Bungong tujuan Blang Tengeh, jalan Pucok tujuan Layan, serta Blang Dhot tujuan Blang Pandak, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.

“Sekarang sudah bisa dilewati setelah dilakukan penanganan darurat sejak tadi malam, dan akiban banjir luapan itu badan jalan aspal terputus sepanjang kurang lebih 150 meter,” kata Abdul Samad Warga Desa Blang Jeurat, Kecamatan Tangse, kepada wartawan, Minggu (18/11) lalu.

Sementara kondisi rumah warga ditemukan rusak berat sebanyak empat unit, masing-masing satu unit di Desa Blang Bungong, satu unit di Desa Layan, satu unit di Desa Sunong dan satu unit di Desa Blang Dhot dan semua desa ini berada di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.

Kemudian, bencana banjir juga melanda Kabupaten Aceh Barat dan lintas nasional yang menghubungkan Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat tujuan Geumpang, Kabupaten Pidie, amblas sepanjang 150 meter akibat banjir, luapan sungai di wilayah administrasi Kecamatan Tangse.

Selain itu, dampak dari guyuran hujan dengan intensitas lebat di Kabupaten Aceh Utara, tanggul Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Pasee di Kecamatan Samudera, daerah setempat jebol dan mengakibatkan 6 gampong (desa) terendam air.

Ada pun enam daerah yang direndam banjir meliputi Gampong Mancang, Tanjung Masjid, Tanjung Awee, Kito, Paya Terbang sera Madan dan ke semua berada di Kecamatan Samudera, Aceh Timur.

Selanjutnya, banjir juga melanda Kabupaten Aceh Jaya pada periode Oktober 2018 dan mengakibatkan aktivitas pendidikan di wilayah tersebut lumpuh total.

“Keseluruhan 13 sekolah digenang banjir dan sejak digenang banjir para siswa tidak sekolah,” kata Kepala Dinas Pendidikan (Disdik), Kabupaten Aceh Jaya, Jabar di lokasi banjir, Gampong Blang Baro, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya.

Kepala Disdik Aceh Jaya kala itu menjelaskan, sekolah yang digenang banjir meliputi, SDN 3, SDN 7, SDN 9, SDN 10, dan SMP Negeri 2 serta SMP Negeri 3 berada di Kecamatan Teunom.

Kemudian, SMP Swasta Darun Nizham, SDN 3, SDN 6, SDN 7, berada di Kecamatan Panga. Selanjutnya, SDN 2, SDN 6, di Kecamatan Setia Bakti dan SDN 2 di Kecamatan Darussalam Hikmah.

“Kami tidak meliburkan sekolah, tapi orang tua murid pada hari pertama banjir (Selasa, 16/10) sebagian menjemput anaknya ke sekolah saat jam belajar dan itu kita maklum demi keselamatan,” kata dia.

“Kondisi apapun pendidikan prioritas utama dan saya pastikan aktivitas belajar akan segara normal,” tambah Kepala Disdik Aceh Jaya.

Bencana banjir itu merupakan kiriman dari wilayah Tangse, Kabupaten Pidie, mengakibatkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Teunom, dan sejumlah anak sungai lainnya meluap dan merendam ratusan rumah warga di tujuh kecamatan, Kabupaten Aceh Jaya “Ratusan rumah warga di tujuh kecamatan diterjang banjir karena empat sungai di Aceh Jaya meluap yakni, Sungai Teunon, Sungai Suak Beukah, Sungai Panga dan Sungai Krueng Oen,” kata Bupati Aceh Jaya T Irfan TB saat meninjau lokasi bencana banjir di Gampong Blang Baro, Kecamatan Teunom.

Banjir luapan sungai tersebut merendam tujuh kecamatan meliputi, Teunom, Panga, Pasie Raya, Darul Kamal, Setia Bakti, Krueng Sabe dan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya.

Kemudian, para petani di Kabupaten Aceh Jaya juga mengalami gagal panen akibat banjir merendam areal persawahan mereka dua hari terakhir setinggi 1,5 meter.

Tanaman jagung saya seluas dua hektar gagal panen karena banjir. Tidak ada lagi harapan, karena semua tanaman jagung saya terendam akibat hujan lebat dan luapan Krueng Teunom,” kata petani jagung, Junaidi (31), di Gampong (desa) Blang Baro, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya.

Hutan Aceh Terancam Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) sebelumnya menyatakan, luas areal hutan di provinsi paling barat Sumatera mengalami penyusutan sepanjangan tahun 2017 seluas 17.333 Hektare (Ha).

“Pada periode 2017 terendah penyusutan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) jika dibanding dengan tahun sebelumnya, kerusakan KEL pada 2016 mencapai 10.351 hektare dan pada 2015 sebesar 13.700 hektare,” Sebut Sekretaris Yayasan HAkA Badrul Irfan.

HAkA menyebutkan penyusutan hutan di Aceh khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sepanjang tahun 2017 mencapai 6.875 hektare dan yang terbanyak terjadi penyusutan berada di wilayah barat Aceh yakni, Kabupaten Aceh Selatan, mencapai 1.847 hektare.

Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, penyusutan hutan terbesar terjadi di Aceh Utara mencapai 2.348 hektare. Aceh Tengah sebesar 1.928 hektare dan Aceh Selatan mencapai 1.850 hektare.

“Banjir yang terjadi di Aceh Utara awal tahun dan Aceh Selatan akhir tahun lalu patut diduga akibat tingginya laju penyusutan hutan,” ujar Sekretaris Yayasan HAKA,.

HAkA bersama Forum Konservasi Leuser (FKL) juga merilis data kerusakan hutan Aceh sejak Januari hingga Juni 2018 mengalami peningkatan dari 30.922 hektar pada akhir 2017 menjadi hingga 34.212 hektar Tebang Sawit Aparat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) gabungan menebangi pohon kelapa sawit di areal seluas 14,6 hektare yang masuk kawasan hutan lindung di Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Subulussalam, Provinsi Aceh.

“Kami melakukan penebangan sawit dikawawan hutan lindung seluas 14,6 hektare tahap pertama,” kata Kepala KPH VI Subulussalam, Irwandi.

Ia menjelaskan warga yang telah terlanjur menanam kelapa sawit di kawasan hutan lindung tersebut tidak keberatan tim melakukan penebangan setelah mendapat penjelasan bahwa ke depan pemerintah akan menjadikannya lahan perhutanan sosial untuk mendukung perekonomian warga.

“Masyarakat juga ikut menebang bersama kita di lokasi, tidak ada yang merasa keberatan setelah kita menjelaskan bahwa yang mereka lakukan adalah salah. Ke depan akan diupayakan sebagai kawasan perhutanan sosial bagi warga sekitar,” imbuhnya.

Penebangan tanaman kelapa sawit di Pasir Belo melibatkan unsur Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh bersama UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan VI, tim Forum Konservasi Leuser (FKL), Polisi dan warga pemilik pohon sawit tersebut.

Tim harus menyeberangi sungai menggunakan perahu selama sekitar 2,5 jam dari desa terdekat untuk menuju titik lokasi di Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat.

Menurut data FKL, sejak September 2014 hingga November 2018 aparat telah membabat tanaman kelapa sawit ilegal di lahan seluas 2.000 hektare dalam kawasan hutan lindung, suaka marga satwa rawa Singkil dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan