Jakarta, Aktual.com — Komisi VI DPR RI mendukung Inisiatif Kejaksaan Agung yang mulai membongkar dugaan kerugian Negara sekitar Rp1,2 triliun akibat kerjasama antara BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Grand Indonesia atau PT Cipta Karya Bersama (CKB). Pasalnya, dalam kontrak BOT (Build, Operate, Transfer) tidak mencantumkan pembangunan Gedung Menara BCA dan Gedung Apartemen Kempinski.

“Perlu ditegaskan kembali bahwa ada beberapa aturan hukum yang mengatur atau terkait dengan perjanjian BOT ini yang harus ditaati semua lembaga negara termasuk dalam hal ini BUMN,” ujar ketua komisi VI, Hafisz Tohir dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (22/2).

Aturan tersebut, lanjutnya, pertama yaitu UUD NRI 1945. Konstitusi yang dipedomani dalam membuat BOT yakni pada alinea keempat dinyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Kemudian Pasal 33 ayat (3) dikatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

“Kedua, UU RI No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di dalam Pasal 2 ayat (3) ditegaskan wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2),” tambahnya.

Pasal ini, lanjutnya, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

“Ketiga UU RI No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ditegaskan bahwa ‘Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 45 perlu dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Termasuk di dalam hal ini perjanjian BOT karena perjanjian ini terkait dengan pengelolaan barang milik negara,” tambahnya.

Keempat, Kitab UU Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) BOT merupakan suatu perjanjian dan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang mengatur sahnya suatu perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan.

“Untuk itu, komisi VI mendesak pemerintah dalam hal ini kementerian BUMN untuk benar-benar memperhatikan legal standing dan peraturan perundangan yang berlaku dalam melakukan perjanjian dengan para pihak termasuk dalam hal ini BOT PT HIN dan PT Grand Indonesia,” jelasnya.

Dugaan kerugian negara sebesar 1,2 Triliun dalam kasus ini harus segara di usut dan untuk perbaikan secara internal agar kerugian ini tidak terus terjadi.

“Komisi VI akan secara serius dan mendalam mencermati kasus ini dalam bentuk panitia kerja (panja) dan segera memanggil menteri BUMN dan PT HIN untuk mengetahui duduk persoalannya,” tambahnya.

Untuk diketahui, Komisi VI sebagai mitra Kementerian BUMN akan mendalami betul kasus ini mengingat potensi kerugian negara yang cukup besar. Terkait dugaan pelanggaran hukum ini, komisi VI telah melayangkan surat ke PT. HIN dan akan segera memanggil PT HIN untuk mendapatkan jawaban terkait persoalan ini.

“Karena patut diduga bahwa BOT PT. HIN dan PT GI selaku operator merupakan bentuk kerjasama bodong,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka