Tradisi demokrasi desa yang diperkuat oleh nilai-nilai demokratis Islam itu memberi lahan bagi penyemaian nilai-nilai sosial-demokrasi dari Barat. Bung Hatta, seperti juga Bung Karno, menolak mentah-mentah untuk mengekor model demokrasi-liberal yang menekankan suara mayoritas, tetapi dapat menerima nilai-nilai demokrasi-sosial yang mengedepankan semangat konsensus dan keadilan sosial.
Nilai-nilai demokrasi-sosial dari Barat itu dipinjam melalui perjumpaan yang intens dengan tradisi demokrasi di Eropa yang dialami oleh mereka yang menempuh pendidikan di Eropa, penyelidikan atas praktik sosio-demokrasi di negara-negara Skandinavia, instalasi institusi demokrasi di Tanah Air seperti Volkstraad, dan yang lebih penting melalui kesadaran emansipatoris akibat keterpaparan anak-anak negeri dengan sistem pendidikan Eropa dan kemunculan ruang publik modern di Nusantara.
Bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindia dimungkinkan oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomi Liberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggungjawab dalam mendorong pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal) serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa. Lewat proses pendidikan dan mimicry dan dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan kemudian juga oleh orang keturunan Cina, serta dengan membentuk perhimpunan-perhimpunan, inteligensia pribumi pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri.
Wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern ini berkisar pada isu “kemadjoean”. Kemadjoean dalam arti ini mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal: kemajuan pendidikan, modernisasi (yang secara luas diasosiasikan dengan Westernisasi), kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup.
Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya. Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep ‘kemadjoean’ dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa ‘intelektual organik’ dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru.
Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Sejauh mengenai perkembangan pers vernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum pribumi dalam bidang tersebut. Para jurnalis pribumi yang paling terkemuka pada masa itu berasal dari para pelajar atau mantan pelajar sekolah Dokter-Djawa/STOVIA. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abdul Rivai (lahir tahun 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918). Melanjutkan tradisi perjuangan kaum guru, para juranalis-inteligensia ini juga memancangkan tongkat kebangkitan lewat bahasa dan konstruksi tanda.
Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia, Abdul Rivai memperkenalkan istilah ‘bangsawan pikiran’. Dikatakan, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kitapun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaitan kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”
Tulisan seorang lulusan sekolah Dokter-Jawa ini, mewakili kegetiran anak-anak terdidik dari kalangan priyayi rendahan dan non-bangsawan. Karena administrasi pribumi, sebagai lambang kehormatan, diperuntukkan bagi anak-anak priyayi tinggi, anak-anak dari kalangan ini cenderung memilih sekolah menak yang disebut hoofdenschool (awal abad 20 menjadi OSVIA). Sementara itu, perluasan birokrasi dan kapitalisme memerlukan tenaga-tenaga pertukangan. Sekolah Dokter-Jawa (awal abad 20 menjadi STOVIA) dan sekolah guru (Kweekschool) semula dirancang untuk memenuhi keperluan itu.
Diskriminasi tidak sendirinya lenyap dengan menyandang ijazah. Baik dalam standar gaji maupun status sosial, lulusan STOVIA lebih rendah ketimbang lulusan OSVIA. Situasi inilah yang mendorong kaum terdidik dari keturunan priyayi rendahan dan non-bangsawan berjuang memancangkan ‘pikiran’ sebagai tanda baru kehormatan sosial.
Dalam usaha itu, anak-anak STOVIA bermotivasi tinggi untuk memperjuangkan gerakan-gerakan kebangkitan. Salah satu yang terpenting adalah pendirian perkumpulan Budi Utomo (BU) pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priyayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda. Meskipun terbukti, pengaruh priyayi mapan masih terlalu kuat, membuat BU segera dibajak oleh kalangan priyayi konservatif.
Betapapun, BU menjadi tonggak penting dalam pertumbuhan gerakan kebangkitan berbasis ‘bangsawan pikiran’. Sejak itu, ‘pikiran’ menjadi peta-jalan bagi ideal-ideal generasi selanjutnya. Memasuki dekade kedua abad ke-20, dengan dibukanya sekolah ala Eropa bagi penduduk bumiputera, seperti HIS (sekolah dasar), MULO (sekolah menengah pertama), dan AMS (sekolah menengah atas), orang-orang terdidik dari keturunan priyayi-rendahan dan non-bangsawan makin besar jumlahnya. Berpijak pada peta-jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya, angkatan baru kaum terdidik begerak lebih maju dengan mencampakkan kata bangsawan yang mendahului kata pikiran. Seseorang menulis di Sinar Djawa (4 Maret 1914): “Dengan pergeseran waktu, telah muncul jenis bangsawan baru, yakni ‘bangsawan pikiran’. Namun jika bangsawan pikiran ini hanyalah kelanjutan dari bangsawan usul, maka perubahan dan pergerakan tak akan pernah lahir.”
Maka tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan bekhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama ‘kaum terpelajar’ atau ‘pemuda-pelajar’, atau seringkali diungkapan dalam bahawa Belanda, ‘jong’. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan.
Semua tokoh-tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priyayi tinggi. Sukarno hanyalah anak priyayi-rendahan yang mujur bisa masuk ELS karena pertolongan seorang guru Belanda; Hatta adalah anak ulama-pedagang, yang beruntung bisa diterima di ELS karena kekayaan keluarganya; Sjahrir berlatar sedikit lebih baik, ayahnya seorang jaksa pribumi sehingga diterima di ELS; Keluarga Natsir lebih rendahan lagi, ayahnya hanyalah seorang jurutulis kontelir, yang membuatnya hanya diterima di HIS. Alhasil, mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa, berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda; tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan.
Tampak jelas, perjuangan merobohkan kolonianialisme dan feodalisme dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Seperti itu jugalah generasi Sukarno. Praksis wacana lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesasteraan menjadi tahap awal dari perjuangan mereka. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi-puisi patriotik. Pada 1926, Sukarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Saat yang sama ia juga aktif sebagai editor malajah SI, Bandera Islam (1924-1927), bahkan selama pembuangan tak luput menulis naskah drama. Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia, dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusasteraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.