Jakarta, Aktual.com — Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM menilai JICT yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priuk sesungguhnya merupakan aset negara strategis. Seharusnya aset tersebut di Kelola Negara melalui BUMN dengan kepemilikan saham 100%. Pengelolan sepenuhnya oleh BUMN merupakan manfestasi dari Kedaulatan Ekonomi, seperti yang diamanahkan konstitusi pasal 33 UUD 1945

“Awalnya 100% saham JICT dimiliki negara yang dikelola oleh PT Pelindo II, sebagai representasi Negara. Pada saat krisis moneter 1997, atas tekanan dan desakan IMF, Pemerintah melakukan Privatisasi dengan menjual JICT kepada Perusahaa Asing, Huntchison Port Holdings (HPH), yang berkedudukan di Hongkong. Melalui Pelelangan Terbuka, JICT dijual dengan nilai USD 243 juta. Perubahan komposisi kepemilikan saham baru: HPH menguasai mayoritas sebesar 51 %, sedangkan Pelindo II sebesar 49 %. Jangka waktu konsesi selama 20 tahun, dimulai pada 2009 berakhir pada 2019,” ujar ekonom UGM, Fahmy Radhi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (25/12).

Fahmi yang juga Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas menjelaskan bahwa sejak 27 Juli 2012, Diretur Utama Pelindo II RJ Lino sudah merintis proses perpanjangan Kontrak JICT. Namun, lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan Pemerintahan SBY tidak memberikan ijin, RJ Lino belum bisa memperpanjang kontrak. Berbeda dengan sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno justru mengeluarkan ijin prinsip Perpanjangan Kontrak pada 9 Juni 2015.

“Hanya berbekal ijin prinsip Menteri BUMN, tanpa ijin konsesi Otoritas Pelabuhan dari Menteri Perhubungan, RJ Lino nekat memutuskan untuk menandatangani Perpanjangan Kontrak JICT pada 7 Juli 2015. Padahal, perpanjangan kontrak itu tidak tercantum dalam RKAP dan RUPS Pelindo II 2015. Komposisi saham tidak berubah, Pelindo II sebesar 48,9% , Kopegmar 0,10%, dan HPH tetap memegang saham mayoritas sebesar 51%. Jangka waktu berakhirnya konsesi menjadi tahun 2039, dengan nilai penjualan saat perpanjangan kontrak sebesar USD 215 juta,” jelasnya.

Dikatakah Fahmi, keputusan sepihak dalam memperpanjang kontrak JICT dilakukan oleh RJ Lino, yang didukung sepenuhnya oleh Menteri BUMN Rini Soemarno telah melanggar Peraturan Perundangan, di antaranya adalah UU No. 19/2003 tentang BUMN yang menyebutkan bahwa tidak ada nomenklatur tentang ijin prinsip yang dikeluarkan oleh menteri BUMN.

“Perpanjangan Kontrak JICT juga melanggar Keputusan Menteri BUMN No : KEP 101/ MBU/ 2002 tentang Penyusunan RKAP dan Keputusan Menteri Negara BUMN No : KEP 102/ MBU/ 2002 tentang Penyusunan RJPP dan RKAP,” tambahnya.

Selain itu, Kontrak JICT melangggar UU No. 17/ 2008 tentang Pelayaran dan PP No. 61 Tahun 2009 tentang Pelayaran. Dalam hal perpanjangan kontrak yang melibatkan pihak ketiga, seharusnya mendapatkan izin konsesi terlebih dahulu dari Kementerian Perhubungan cq. Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok.

“Selain melanggar peraturan Perundangan, perpanjangan kontrak JICT juga merugikan Negara. Pertama, nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 sebesar US$ 215 juta lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesaaar US$ 231 juta. Kedua, Jika kontrak tidak diperpanjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp2,99 triliun, sedangkan penghasilan sampai dengan 2039 mencapai Rp36,5 triliun, total penghasilan Pelindo II sebesar Rp. 39,49 triliun,” jelasnya.

Jika kontrak diperpanjang, lanjutnya, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp2,99 triliun, penghasilan sampai 2039 Rp17,89 triliun (49% X Rp36,5 triliun), total penghasilan Pelindo II sebesar Rp.20,85, lebih kecil dibanding pendapatan jika kontrak tidak diperpanjang.

Perpanjangan Kontrak JICT telah melanggar Perundangan dan Merugikan Negara, sudah seharusnya pemerintah  membatalkan kontrak perpanjangan JICT yang telah ditandatangani Direktur Utama Pelindo II RJ Lino pada 7 Juli 2015.

“Rini Soemarno sebaiknya mengundurkan diri sebagai Menteri BUMN, karena perbuatannya telah melakukan pembiaran dan menudukung upaya Direktur Utama Pelindo II dalam perpanjangan Kontrak JICT. KPK juga harus mengusut secara tuntas semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan Perpanjangan JICT, yang diduga kuat melanggar Perundangan dan Merugikan Negara,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka