Petugas melayani pembeli saat operasi pasar murah di Pasar Kolpajung, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (31/5). Operasi pasar murah yang digelar pemkab setempat tersebut berlangsung hingga bulan puasa untuk menjaga kestabilan harga bahan pokok. ANTARA FOTO/Saiful Bahri/foc/16.

Jakarta, Aktual.com — Kenaikan harga musiman beberapa bahan pokok pangan di bulan Ramadhan dan jelang lebaran nanti kerap direspon pemerintah dengan menuding adanya ulah kartel mafia atau kartel pangan.

Sementara, pemerintah sendiri tidak bisa membuktikan adanya sosok mafia itu. Justru yang dibutuhkan adalah peran pemerintah untuk dapat menciptakan keadilan di sektor pangan.

“Selama ini lucunya, ketika ada harga naik pemerintah hanya bisa tuding ada mafia dan kartel pangan. Kalau terbukti tangkap dong,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi di sebuah diskusi, Jakarta, Senin (6/6).

Menurut Viva, kalau bicara kenaikan harga, maka yang banyak yang teriak, karena dianggap merugikan konsumen. Akan tetapi, kalau itu terjadi penurunan harga malah tidak ada yang mengeluh.

“Padahal jika harga turun itu, yang dirugikan adalah produsen. Tapi malah sepi. Mestinya pemerintah harus melindungi tak hanya ke konsumen tapi juga ke produsen,” jelas dia.

Dalam konteks ini, lanjut Viva, pemerintan diminta dapat menciptakan keadilan. Karena selama ini dalam sistem perekonomian pasar itu, pemerintah tak dapat menciptakan keadilan.

“Pemerintah harus bisa menciptakan keadilan. Selama ini ekonomi pasar itu ditentukan oleh corporate yang bisa menguasai dan bisa mengendalikan stok. Sehingga semua yang terlibat di pasar itu, dari konsumen, produsen, dan pelaku usaha, harus diutamakan pemerintah,” tandas Viva.

Pelaku usaha, kata dia, membutuhkan kepastian hukum. “Selama ini malah para pelaku usaha hanya dituding sebagai mafia pangan. Padahal tidak semua,” tandasnya.

Cuma masalahnya, ketika pemerintah tak mampu ciptakan keadilan, malah selalu mengatasi semua masalah itu dengan kebijakan impor.

“Hampir semua komoditas itu impor. Masa sih semua bergantung pada komoditas impor. Jangan lah. Perlu perubahan paradigmatik dalam mengembangkan sektor pertanian,” tandas dia.

Dia mencontohkan soal harga daging sapi. Di Aceh bisa mencapai Rp170 ribu per kg. Padahal di petani peternak sangat murah harganya. Berarti memang harga supply dan demand itu tidak seimbang.

“Kalau begitu ada selisih yang sangat besar. Terus siapa yang diuntungkan? Ternyata bukan peternak sapi. Ini bentuk salah urus kebijakan pangan,” pungkas Viva.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka