Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, saat diskusi bertajuk ‘Menggali Freeport, Diantara Kepentingan Asing dan Kedaulatan Indonesia’ di WarunKomando, Tebet, Jakarta, Minggu (22/11). Freeport merupakan wujud VOC gaya baru dan sedang melakukan mapping kekuatan di Indonesia. Elit politik bukannya menjadi nasionalis yang ingin bisa menangkis serangkaian asimetris, namun justru berebut menjadi komprador dan perlu diingat penjajahan jaman sekarang tidak hanya menggunakan militer, namun bisa dari sektor energi maupun pangan. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi dari Universitas Bunda Kandung (UBK), Salamuddin Daeng menyebut, berdasar data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), kehancuran perekonomian nasional di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kian parah.

Hal itu bukan hanya retorika, melainkan data-data statistik yang berbicara. Tentu saja kondisi tersebut, kata Salamuddin, tak bisa dianggap biasa-biasa saja atau yang disebut pemerintah bahwa perekonomian dalam baik-baik saja perlu diluruskan. Karena faktanya sangat mengkhawatirkan

“Bagi saya, kondisi ekonomi saat ini sudah sangat parah. Ekonomi makin hancur,” ujar Salamuddin, dalam keterangan yang diterima, Kamis (17/11).

Dia memaparkan data-data statistik yang menunjukkan degradasi perekonomian nasional ke titik nadir perekonomian.

Indikator pertama, dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2016 hanya tumbuh 5,02%. Atau mengalami perlambatan dibanding capaian triwulan II-2016 yang sebesar 5,19 persen.

Kedua, kata dia, pencapaian nilai ekspor hingga September 2016 sebesar US$12,51 miliar, anjlok sebesar 1,84 persen jika dibanding ekspor Agustus 2016. Atau merosot 0,59 persen dibanding ekspor September 2015

“Ketiga, pertumbuhan produksi industri mikro dan kecil (IMK) pada tiga bulan ketiga di tahun ini mengalami penurunan sebesar 2,06 persen dari triwulan II-2016 (q-to-q),” imbuh Salamuddin.

Indikator keempat, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2016 sebesar 5,61 persen atau mengalami kenaikan sebesar 0,11 persen poin dibanding TPT Februari 2016 (5,50 persen).

“Padahal angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2016 berkurang dibanding enam bulan sebelumnya yaitu sebanyak 125,44 juta orang atay berkurang sejumlah 2,23 juta orang,” tegas dia.

Kelima, terkait upah riil harian buruh tani pada September 2016 juga mengalami penurunan sebesar 0,08 persen dibanding upah riil bulan sebelumnya. Sementara upah riil harian buruh bangunan pada September 2016 juga mengalami penurunan sebanyak 0,06 persen dibanding upah riil bulan sebelumnya.

Dan indikator keenam, Nilai Tukar Petani (NTP), Inflasi Perdesaan dan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) juga ramai-ramai menurun.

Menurutnya, NTP Oktober 2016 menurun sebanyak 0,30 persen dibanding September 2016. Pada Oktober 2016, terjadi inflasi perdesaan sebesar 0,04 persen. Sedang NTUP Oktober 2016 juga menurun 0,40 persen dibanding September 2016.

Kondisi-kondisi tersebut semakin diperparah dengan indikator ketujuh terkait melonjaknya harga-harga pangan. Padahal masyarakat yang berada di garis kemiskinan sangat rentan terhadap melonjaknya harga-harga pangan ini.

Harga pangan itu, kata dia, rata-rata mengalami kenaikan. Harga beras pada Oktober 2016 sebesar Rp13.153,00 per kilogram (kg) atau naik 0,10 persen dari bulan sebelumnya. Sedang harga cabai merah menaik sebesar 20,29 persen.

“Jadi, para konsumen atau masyarakat ini dicekik oleh kenaikan harga-harga pangan. Sementara dari sisi hulunya, para petani justru terus dirugikan oleh impor pangan, sehingga yang diuntungkan para importir pangan,” tandas Salamuddin.

*Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: