Pengerjaan gedung 16 lantai yang akan digunakan untuk kantor lembaga anti rasuah itu telah memasuki tahap akhir. Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com – PT Geo Dipa Energy (BUMN) melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (22/12). Mereka menduga ada potensi kerugian keuangan negara dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Patuha-Dieng.

Menurut Kuasa hukum Geo Dipa, Lia Alizia, potensi kerugian negara timbul lantaran adanya putusan Mahkamah Agung (MA), yang membatalkan penetapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas ‘cidera janji’ PT Bumigas Energy kepada Geo Dipa.

“Putusan MA dan prosesnya banyak kejanggalan. Salah satu yang paling jelas adalah mengenai prosedur formalitas. Seharusnya sesuai Undang-Undang Arbitrase, pengajuan permohonan pembatalan putusan BANI, diajukan ke pengadilan paling lambat 30 hari setelah putusan BANI diketuk,” papar Lia saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/12).

Menurutnya, ketika lewat 30 hari pihak MA pun tidak pantas untuk memeriksa permohonan pembatalan putusan BANI yang diajukan Bumigas. Tapi yang terjadi, permohonana itu masih diperiksa.

“Kenyataannya, setelah lebih 30 hari itu masih bisa diperiksa dan diterima. Bahkan ironisnya, dibatalkan oleh MA,” ketusnya.

Lantaran hal itu, sambung dia, pihaknya datang ke KPK untuk menyerahkan bukti-bukti dugaan ini. Ia pun berharap laporan ini segera ditelusuri, mengingat proyek PLTPB ini termasuk dalam proyek 35.000 megawatt yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

“Kami bawa bukti-buktinya. Semoga ini semua terbongkar dengan terang dan para oknum yang diduga telah sengaja ingin merugikan uang negara bisa diberantas,” tutupnya.

Dugaan kerugian negara dan ‘permainan’ atas pembatalan putusan BANI Goe Dipa bermula pada 2005. Ketika itu Goe Dipa dan Bumigas bekerja sama, dengan kewajiban Bumigas membangun lima unit PLTPB, yaitu PLTPB Dieng 2, Dieng 3, Patuha 1, 2 dan Patuha 3.

Dalam kontraknya, disebutkan bahwa Bumigas yang menanggung seluruh biaya pembangunan, kemudian menyerahkan pembangkit yang sudah selesai dan siap beroperasi secara komersial kepada Geo Dipa.

Pengoprasiannya pun dikelola secara bersama melalui perusahaan operating and maintenance (O&M) yang dibentuk urungan antara Geo Dipa dan Bumigas.

Namun, sejak kontrak pelaksanaan proyek yang efektif pada 1 Februari hingga Desember 2005, Bumigas belum juga melaksanakan kegiatan fisik pembangunan proyek. Atas sikap itu, Geo Dipa memberi peringatan kepada Bumigas, namun diabaikan, bahkan sampai peringatan ke 5 pada Juni 2006.

Alhasil, pada 7 Mei 2007, Geo Dipa mengirim ‘notice of default’ kepada Bumigas, yang isinya antara lain, apabila Bumigas tidak mengerjakan proyek sejak 30 ‘notice’ dikeluarkan, Geo Dipa akan mengajukan penyelesaian kontrak ke arbitrase nasional tanpa mengirimkan pemberitahuan kepada Bumigas.

“Akhirnya, 26 November 2007 GDE resmi ajukan melalui Arbitrase BANI, karena Bumigas ciderai janji,” ucap Lia.

Kemudian pada 17 Juli 2008, Arbitrase melalui putusan No 27/XI/ARB-BANI/2007, menyatakan Bumigas melakukan ‘cidera janji’, dan menyatakan memutus kontrak PLTPB antara Geo Dipa dan Bumigas.

Namun, Bumigas malah mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) pada 19 Desember 2008. Padahal, permohonan pembatalan itu diajukan sudah melewati tenggat waktu.

PN Jaksel pun melalui putusannya pada 15 Januari 2009, menyatakan menolak permohonan Bumigas. Begitu juga pada tingkat Kasasi, MA juga menolak dan menguatkan putusan PN Jaksel.

Tak puas dengan putusan tersebut, Bumigas masih ajukan upaya Peninjauan Kembali ke MA. Tapi, lagi-lagi Bumigas kalah, karena MA melalui putusannya tanggal 25 Mei 2010 menyatakan ‎bahwa permohonan PK Bumigas ditolak.

Setelah putusan PK Nomor 16PK/Pdt.Sus/2010 tersebut, sesuai arahan Wakil Presiden pada rapat kerja di lokasi Patuha ‎beserta Menteri dan Direksi Pertamina, PLN, BNI, BRI, Mandiri dan Muspida Jabar, serta mengingat PLTPB Dieng 2,3 dan PLTPB Patuha 1,2, dan 3, masuk program pemerintah untuk percepatan‎ pembangunan pembangkit listrik 10.000 tahap 2, dengan pendanaan dari BNI akhirnya melaksanakan tender EPC Proyek Maklamat Cakera Canggih.

“Nah, Proyek PLTP Patuha 1 dapat diselesaikan dan mulai beroperasi komerisal pada tanggal 22 September 2014. Berdasarkan hal itu, Gedodipa adalah pemilik sah PLTPB Patuha 1 dan ‎merupakan aset negara. Lalu dikuatkan lagi Pendapat Hukum Jamdatun bulan Agustus 2014. Terlebih melalui Keputusan Menteri ESDM No 3407K/07/MEM tanggal 21 Desember 2012 menegaskan PLTPB Patuha 1 menjadi objek vital dan aset negara,” paparnya.

Melihat kemajuan itu, Bumigas justru tahun 2012 kembali mengajukan upaya hukum pembatalan putusan BANI. Upaya hukum ini seharusnya tidak terjadi jika pada permohonan Bumigas pertama yakni 19 September 2008, PN Jaksel menolak memeriksa, karena permohonan sudah lewat tenggat waktu pengajuannya.

Meski demikian, putusan PN Jaksel lagi-lagi menyatakan permohonan Bumigas ‎tidak dapat diterima alias NO. Nah, barulah ketika perkara itu dibawa ke tingkat kasasi pada 24 Oktober 2014, MA menyatakan permohonan Bumigas untuk membatalkan putusan BANI dikabulkan.

Geo Dipa pun tidak tinggal diam dengan mengajukan PK dua kali, tapi tetap ditolak oleh MA. Padahal, Geo Dipa sudah membawa bukti bahwa Bumigas telah terlambat melawan putusan BANI ketika itu.‎

“Disanalah kami curiga, ada dugaan permainan ditingkat penegak hukum. Karena itu selain ke KPK, kami juga akan melaporkan ke Komisi Yudisial,” sebutnya.

Laporan: M Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby