Serangkaian aksi sepihak yang dilancarkan Donald Trump di Suriah selasa lalu (11/04) dan isyarat aksi militer AS dalam rangka membalas peluncuran uji coba peluru kendali Korea Utara (Korut), memang baru merupakan sebuah gejala/symptom. Mengisyaratkan bahwa sebuah kelompok pendukung kebijakan Perang yang disokong oleh Zionist Power Configuration (ZPC), mulai diaktifkan kembali sejak diistirahatkan menyusul masa kepresidenan Barrack Obama (2008-2016).

Eskalasi konflik antara Korea Utara versus Korea Selatan di Semenanung Korea nampaknya akan semakin memanas menyusul keputsan AS untuk mengerahkan kapal induk USS Carl Vinson ke perairan  di dekat Semenanjung Korea denga dalih bahwa Korut telah melancarkan provokasi melalui serangkaian uji coba peluru kendali.

Berbeda dengan serangan udara AS ke Suriah yang bersifat mendadak dan di luar dugaan otoritas pertahanan Suriah dan sekutu strategisnya Rusia, rencana serangan ke Korut yang sudah digembar-gemborkan malah mengundang sikap pro dan kontra. Tak kurang dari pihak Korut sendiri memperingatkan Washington akan mendapat balasan paling keras kalau coba-coba melancarkan provokasi militer yang gagabah.

Siapa sebenarnya otak dan penggagas serangan militer AS ke Korut? Agaknya, hal ini harus ditelisik ke konstalasi global pasca Perang Dunia II yang mana AS merupakan salah satu negara pemenang perang sekaligus muncul sebagai negara adikuasa baru menggantikan Inggris.

James Petras, dalam bukunya Zionism, Militarism and the Decline of US Power, bagi AS penaklukkan terhadap wilayah Asia rasanya tidak lengkap jika hanya berhasil menaklukkan Jepang. Jatuhnya rejim pemerintahan Cina pimpinan Jenderal Chiang Kai Shek oleh komunius CIna di bawah pimpinan Mao Zedong pada 1949, yang kemudian kemudian memaksa Chiang Kai Shek mengungsi pulau Formosa, atau kita kenal sebagai Taiwan, AS memandang perkermbangan tersebut sebagai ancaman strategis  bagi ambisi imperium AS.

Apalagi Korea dan negara-negara di kawasan Indochina juga sedang terjadi pergolakan. Di Korea karena Uni Soviet menguasai wilayah utara, sehingga AS gagal sepenuhnya menguasai semenanjung Korea. Sedangkan di Indochina terjadi gerakan pembebasan Nasional yang dipimpin Ho Chi Minh untuk mengusir Perancis sebagai negara penjajah.

Bicara soal menciptakan provokasi, AS sejak kepresidenan Harry S Truman pada pasca Perang Dunia II memang telah menetapkan Semenanjung Korea senagai tempat untuk memicu terjadinya perang. Setelah AS membantu Korea melepaskan diri dari cengkraman Jepang pada Perang Dunia II,

Namun dengan terbelahnya Korea antara wilayah utara dan selatan gara-gara AS gagal mengantisipasi sebuah pemberontakan nasional yang kemudian menjelma menjadi perlawanan revolusioner sosial melawan elit Korea yang menjadi “kaki tangan” AS, maka hilanglah kredibilitas dari kaki-tangan Korea yang disokong AS.

Gagalnya membedakan antara kemunculan gerakan pembebasan nasional dan gerakan komunis, itulah masalah klasik AS dalam menilai situasi dan kondisi yang berkembang di negara-negara Asia-Pasifik pada saat itu.

Sehingga dalam konteks Korea, terbelahnya Korea antara wilayah utara dan selatan, telah menggagalkan rencana strategis Presiden Truman untuk membagi-bagi negara itu secara geografis. Dengan makna lain, AS gagal memecah-belah Korea sesuai skema Washington. Bukan sekadar terbelahnya utara dan selatan yang sejatinya merupakan sebuah kondisi yang dipaksakan oleh keadaan.

Maka pada 1950-an, Truman dan Jenderal Douglas Mac Arthur yang kala itu memimpin pasukan militer AS di kawasan Pasifik, kemudian menciptakan sebuah provokasi. Caranya, mereka terang-terangan membela Korea Selatan, dan membangun markas militer dan menempatkan pasukan pendudukan Amerika, serta memberi bantuan militer besar-besaran. Ketika pihak Korut melancarkan aksi militer balasan, dan kemudian Korea Selatan dalam posisi nyaris “hampir kalah,” AS mengklaim tindakan Korut itu sebagai invasi terhadap Korea Selatan.

Sepertinya sejak berakhirnya Perang Dunia II, ada beberapa kalangan di Washington untuk memiliterisasi dan memobilisasi publik AS agar mendukung program-program militer yang dimotori Pentagon mulai dari momentum Perang Korea, Perang di Timur Tengah hingga Perang Teluk.

Pembangunan kerajaan militer AS didahului dengan bangkitanya kekuatan Zionis Power Configuration (ZPC) di dalam pemerintahan George W Bush (2000-2008). Menyusul aksi pemboman gedung World Trade Center dan Gedung Pentagon pada September 2001 lalu, digunakan sebagai momentum kekuatan Zionis tersebut untuk melaksanakan skema kebijakan luar negerinya yang pada dasarnya untuk memiliterisasikan politik luar negeri AS.

Langkah pertama, kelompok militarist Zionis itu mengangkat tema Perang Global terhadap Teroris. Sebagai dalih untuk menginvasi dan menduduki Afghanistan pada 2001, yang mereka klaim sebagai sarang dari Osama bin Laden dan Al Qaeda, motor penggerak aksi pemboman di WTC dan Pentagon.

Setelah sukses menginvasi dan menduduki Afghanistan, kelompok ZPC di Gedung Putih setuju untuk menginvasi dan menduduki Irak pada 2003, sebagai langkah awal untuk menyerang dan menduduki Iran, yang menurut mereka justru sasaran sesungguhnya. Maka tak heran jika pada pidato nasional tak lama setelah aksi September 2001, Bush mencanangkan tiga negara sebagai the evil forces. Yaitu Iran dan Korea Utara.

Jika kita ingin tahu siapa konseptor dan salah satu perancang strategis kebijakan perang Washington sejak era Presiden Bush, maka dial ah Philip Zelikow, yang sering dijuluki sebagai Sang Zionis Konservatif. Celakanya sejak 2001 dia lah perancang strategi keamanan nasional pemerintahan Bush. Adalah Zelikow yang sejak terjadinya tragedy September 2001, merancang strategi global AS dengan memanfaatkan tragedi tersebut sebagai dalih untuk menyusun kebijakan ekspansionis AS dengan dalih Perang Global terhadap Teroris.

Sebelum kejadian 9/11,  Zilokow telah memberikan sebuah cetak biru untuk proses di mana pemerintah AS punya dalih untuk melancarkan peperangan global. Gagasan gilanya antara lain, bahwa sebuah peristiwa teroris dapat memfasilitasi sebuah pemusatan kekuatan yang absolute, yang kemudian diikuti dengan peluncuran perang ofensif demi kepentingan Israel.

Maka jelas, dari awal gagasan dan strategi Zelikow sejatinya membawa arahan dari Tel Aviv, Israel, bukan kepentingan nasional AS dalam arti sesungguhnya. Celakanya, Zelikow memang dalam posisi yang strategis untuk mewujudkan rencananya tersebut. Dalam persiapan menjelang terjadinya 9/11 dan serangkaian peperangan sesudahnya, ia merupakan anggota Penasehat Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Condoleezza Rice antara 2000-2001.

Supaya bisa lebih menembus lingkar dalam pemerintahan Bush, Zelikow berhasil menyingkirkan Richard Clarke, yang kala itu merupakan ahli penanggulangan terorisme dari Dewan Keamanan Nasional. Sehingga setelah Clarke tersingkir dari Dewan Keamanan Nasional, Zelikow bisa sepenuhnya mewarnai pembuatan kebijakan perang Washington. Bahkan pada 2001-2003 Zelikow berhasil menjadi anggota Dewan Penasehat Intelijen Luar Negeri Presiden Bush.

Ironisnya, keberhasilan kinerja Zelikow ini justru terletak dalam melumpuhkan badan-badan intelijen utama AS sehingga gagal mendeteksi adanya rencana kejadian 9/11. Namun justru melalui kegagalan intelijen tersebut,Zelikokow justru memunculkan rencana strategisnya yang sebenarnya melalui Strategi Keamanan Nasional AS 2002.

 

Neoconed b&w 3

Zelikow sebagai penulis utama Strategi Keamanan Nasional 2002, telah merumuskan kebijakan pemerintahan Bush menetapkan Suriah, Iran, Hizbullah, Hamas, dan negara-negara lainnya yang dipandang masih independent dari pengaruh dan kendali AS seperti Korut dan beberapa negara negara Arab Muslim lainnya, sebagai negara-negara sasaran yang harus ditaklukkan secara militer.

Strategi dan kebijakan perang yang dirumuskan Zelikow melalui Strategi Keamanan Nasional AS 2002 itu nampaknya paralel dan sehaluan dengan kepentingan strategis Israel. Seperti yang pernah terungkap melalui pernyataan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu pada April 2008 lalu: “Serangan 9/11 dan invasi Amerika ke Irak merupakan hal yang bagus untuk Israel.”

Menurut analisis James Petras, yang mengerikan dari strategi kelompok ZPC ini adalah, tidak punya strategi jalan keluar , yaitu strategi untuk keluar jika terjadi situasi yang tidak diinginkan. Kenyataan ini menurut Petras, menunjukkan kurangnya pengetahuan dan keahlian strategi mereka. Sebab ZPC yang dikendalikan oleh oleh para eksekutif politik di Tel Aviv, Israle, lebih mengutamakan kebijakan jalan masuk, yaitu melemahkan potensi ekonomi dan militer negara yang diinvasi.

Selanjutnya para zionis konservatif itu tidak punya strategi jalan keluar, karena mereka percaya bahwa harus tinggal, menjajah, membangun markas militer, masuk ke dalam perang berkepanjangan untuk sebuah fantasi kemenangan, dan terus bertahan untuk kepentingan ekspansi komersial Israel.

Mengingat besarnya dan mengakarnya pengaruh kelompok ZPC di Gedung Putih dan Kongres (DPR AS) dalam mengeluarkan kebijakan perang yang menguntungkan sasaran geopolitik Israel, maka Petras menyimpulkan  bahwa ZPC bukan sekadar lobi Yahudi seperti kajian beberapa pakar seperti buku karya Walt dan Mearsheimer. ZPC, bukan sekadar pihak yang punya pengaruh dalam pengambilan kebijakan atau punya kepentingan dalam mendominasi kekuatan kolonial di Timur Tengah. Bahkan dalam jangka panjang, bisa membahayakan situasi dalam negeri Amerika itu sendiri.

Kalau kita bedah anatomi kaum ZPC, nampaknya secara terorganisir ditanam di kubu Demokrat maupun Republik. Di kubu Demokrat, khususnya ketika Bill Clinton jadi presiden, para pemain kunci yang berada dalam orbit ZPC adalah Dennis, Ross, Martin Indyk, Madeline Albright, Richard Hallbrook, Sandy Berger, William Cohen, dan lain-lain. Sedangkan para pemain kunci kelompok pro ZPC di era Bush adalah Ari Fleischer, Paul Wolfowitz, David Frum, Richard Perle, Douglas Feith, Elliot Abrams Cohen, Randy Scheuneman, dan Philip Zelikow.

James Petras illustration 2 black and white
James Petras, penulis buku bertajuk Zionism, Miltarism, and the Decline of US Power

Mereka-mereka inilah sejatinya merupakan agen-agen penghubung pemerintahan eksekutif Gedung Putih. Tak heran jika presiden dari republic seperti Bush maupun Trump dari Republik, maupun Bill Clinton dan Obama, tetap berada dalam cengkraman kuat kelompok ZPC tersebut. Seluruh kebijakan Gedung Putih terkait Timur Tengah, selalu didasari gagasan agar Israel menjadi kekuatan hegemoni di Timur Tengah. Inilah salah satu dasar pertimbangan tersembunyi di balik kebijakan Bush menginvasi dan menduduki Israel.

Begitupula Suriah dan Iran, merupakan rangkaian selanjutnya dari skema kebijakan perang Israel yang dimainkan oleh kelompok ZPC di Gedung Putih dan Kongres AS. Setelah fase invasi ke Irak selesai.

Perang berkelanjutan yang dilancarkan AS, begitulah tesis utama skema Israel dan kelompok ZPC yang dituangkan dalam kebijakan bernama Project for New American Century, yang mana gagasan utama PNAC adalah bagaimana Israel menjadi “produser” sekaligus penyandang dana militer AS dalam upanyanya mendominasi dunia internasional. Menarikya, sebagian besar perencana dan pelaksana kebijakan perang Amerika di Timur Tengah merupakan para Zionis Konservatif yang merancang maupun penyandang dana dari PNAC.

Namun ya itu tadi. PNAC dalam tujuannya yang tersurat, memang bagaimana agar AS terpenuhi ambisi imperium dan teritorialnya seperti dengan penguasaan Afghanistan dan Irak. Namun agenda tersembunyi Israel yang dititipkan lewat para agen-agen penghubungnya di ZPC, nampaknya luput dari kajian para pakar hubungan internasional dan geopolitik. Betapa sasaran sesungguhnya Israel terkait Irak misalnya, adalah bagaimana mencegah bangkitnya kembali Irak sebagai kekuatan nasionalisme di kawasan Arab yang dipandang sebagai ancaman strategis bagi Israel dalam jangka panjang.

Situasi yang diharapkan tercipta di Irak pasca Saddam Hussein adalah: terpecah-belahnya Irak dan rakyatnya ke dalam kesatuan budaya-agama pra-modern yang dijalankan oleh pihak Irak yang pro Israel seperti Ahmed Chalabi yang punya ikatan bisnis dengan salah seorang pemain kunci ZPC di pemerintahan Bush, yaitu Douglas Feith.

Sejauh dalam hal menguasai Irak, rencana ZPC berhasil, namun karena gagal dalam mempertahankan kemenangan berkelanjutan di Irak pasca invasi, nampaknya telah menghambat rangkaian selanjutnya dari gerakan mereka, yaitu menginvasi dan menduduki Iran. Hingga Bush  berakhir masa kekuasaannya di Gedung Putih, langkah lanjutan menginvasi Iran belum berhasil diwujudkan. Akankah rencana tersebut akan dipertimbangkan kembali di era kepresidenan Trump?

Maka itu, manuver Trump dalam menyikapi krisis Suriah yang sudah berlarut-larut sejak 2011 hingga kini, maupun sikap politik dan kebijakan Trump terkait Iran mendatang, menarik untuk dicermati. Sebab kalau melihat ulah Trump menyerang pangkalan udara Suriah baru-baru ini, hal serupa pernah dilancarkan Bush pada September 2007, ketika tanpa pemicu apapun tiba-tiba menyerang wilayah Suriah.

Menariknya lagi, dalam propaganda yang dilancarkan intelijen Israel, bahwa mereka telah mengebom situs nuklir Suriah di mana Korea Utara telah membangun dan menyuplainya dengan material nuklir. Pertanyaan menggelitik ketika itu adalah, mengapa menyerang Suriah harus membawa-bawa Korea Utara segala?

Joseph Circcopne, Direktur dari kebijakan nuklir di Center for American Progress mengecam propaganda Israel dan kelompok ZPC yang berusaha mengaitkan adanya persekongkolan antara Suriah dan Korea Utara:

“Tampaknya besar kemungkinan serangan yang dilancarkan oleh Israel tidak ada kaitannya dengan kerjasama nuklir Suriah-Korea Utara yang berarti. Bagian mendasar, dan fakta dari bukti yang ada memperlihatkan bahwa program penelitian nuklir Suriah yang telah berumur 40 tahun terlalu sederhana untuk mendukung adanya pengembangan persenjataan. Bahkan universitas-universitas yang ada memiliki fasilitas nuklir yang lebih besar dibandingkan Suriah.”

Fitnah Israel dan kaki tangannya dari ZPC di Washington, memang cukup terang-benderang, terutama ketika mengaitkan adanya persekongkolan antara Korea Utara dan Suriah. Beberapa pakar nuklir di Amerika sendiri memandang sangat bodoh jika Korut mengirimkan material nukirnya ke Suriah atau di luar kawasan Korea Utara.

Namun demikian, dari penglihatan kita sekarang ini pada 2017, 10 tahun sejak serangan militer AS ke Suriah, mengaitkan ketiga negara tersebut memang merupakan rencana strategis Israel dan ZPC sejak lama. Menyatupaketkan antara Suriah, Iran dan Korea Utara. Caranya, dengan membuat Fiksi menjadi Fakta.

Hendrajit