Reformasi Gagal (Ilustrasi)

Jakarta, Aktual.com – Masih membekas dalam memori bagaimana koin demi koin terkumpul dari masyarakat luas. Recehan demi recehan yang dikenal sebagai koin keadilan itu terkumpul hingga Rp 825 juta pada medio 2009 itu akhirnya berhasil membuat seorang Prita Mulyasari memiliki deposito untuk membayar denda putusan pengadilan, guna dibayarkan kepada Rumah Sakit Omni Internasional Serpong, Tangerang.

Kasus ini berawal dari ketidakpuasan Prita terhadap layanan RS tersebut ketika dirawat pada 7 Agustus 2008. Karenanya, Prita pun mencurahkan ketidakpuasan itu dalam sebuah surat elektronik, yang menyebar secara berantai dari milis demi milis dalam jejaring internet.

Pada masa itu, media sosial (medsos) ala Facebook sendiri belum ramai seperti sekarang, sehingga penyebaran sebuah informasi melalui milis pun menjadi hal yang kerap ditemui.

Karena tulisannya, Prita pun digugat RS Omni Internasional dengan tuduhan pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau lazim disebut UU ITE.

Kasus ini sendiri berakhir hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) pada 2012 dengan kemenangan Prita.

Kasus Prita merupakan ‘debut’ perdana UU ITE, setelah regulasi ini disahkan pada 2008 silam.

Satu dekade berselang, yaitu pada Februari 2018, giliran peneliti asal Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, yang dilaporkan kepada polisi oleh seorang bernama Aulia Fahmi karena tulisannya yang berjudul ‘Ada Penjarahan Uang BUMN untuk Beli Saham Rio Tinto di Freeport’.

Tulisan yang ditayangkan di media sosial Facebook ini sejatinya merupakan kritik yang dilancarkan Daeng, tetapi oleh sang pelapor justru dianggap telah melakukan ujaran kebencian kepada pemerintah. Daeng pun dituduh melakukan tindak pidana ujaran kebencian melalui media eletronik, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 ayat 2, pasal 45A ayat 2 dan atau pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Salamuddin Daeng, yang menjadi aktivis sejak bangku kuliah, pernah tergabung dalam sebuah LSM yang bergerak mengawasi pertambangan, yaitu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Ia juga pernah menerbitkan buku yang berisi pandangannya dan merupakan hasil penelitiannya tentang eksploitasi di sektor pertambangan, dengan berjudul ‘Penjajahan Dari Lubang Tambang.’

Dua kasus yang dipaparkan di atas hanya merupakan contoh betapa perseteruan dengan tameng UU ITE kerap digunakan pihak pemodal dan penguasa yang terusik oleh celotehan-celotehan yang berseliweran di dunia maya.

Pada periode 2009 hingga 2015, menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), setidaknya terdapat 20 kasus pasal 27 ayat (3) UU ITE yang diadili di persidangan. Capaian ini sendiri terbilang banyak untuk sebuah negara demokrasi seperti Indonesia.

Terlebih, Indonesia masih berada dalam era Reformasi yang sangat menjunjung kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik.

Selain itu, ada juga gerakan #2019GantiPresiden yang marak belakangan. Gerakan yang digagas oleh Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera ini, diklaim sebagai konstitusional lantaran menyerap aspirasi masyarakat untuk melengserkan Presiden Joko Widodo dalam pertarungan demokrasi, yaitu Pemilu 2019.

Namun belakangan, gerakan ini justru mengalami hambatan dengan adanya razia kaus #2019GantiPresiden yang dilakukan justru oleh aparatur negara di sejumlah wilayah, Kota Medan contohnya. Razia kaus ini sendiri melengkapi gerakan tandingan yang diinisiasi oleh kubu petahana, seperti kemunculan #2019TetapJokowi dan lainnya.

Secara paralel, razia kaus #2019GantiPresiden dengan dua kasus sebelumnya sangat terkait dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kebebasan berpendapat sendiri telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD ’45).

Kebebasan berekspresi dan kehidupan demokrasi yang lebih baik merupakan tujuan dari peristiwa reformasi pada 20 tahun silam.

Terlepas adanya perdebatan tentang merupakan pemlesetan dari gejolak demonstrasi pada 1998, reformasi memang merupakan buah dari gerakan sosial yang massive untuk menurunkan rezim Orde Baru. Tujuan dari gerakan 98 adalah menggulingkan tirani dan otoritarianisme yang berlangsung selama 32 tahun di Indonesia, dengan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, seperti keterbukaan dan kebebasan berpendapat, dalam kehidupan masyarakat di tanah air.

Tak ayal, hal ini pun menimbulkan pertanyaan baru, yaitu masihkah ada spirit reformasi dalam kehidupan demokrasi saat ini?

 

Bersambung ke halaman berikutnya

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan