Presidential Threshold dan ketakutan Jokowi. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 keadaan kian memanas. Bukan hanya soal bursa siapa yang akan mendampingi Joko Widodo sebagai Calon Wakil Presiden, namun juga kembali memunculkan pembahasan soal ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Setelah pernah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), kini muncul gugatan serupa. Dahulu gugatan serupa sempat diajukan sebagian partai, seperti Partai Idaman, Perindo, dan PSI.

Sedangkan saat ini gugatan kembali dlayangkan oleh warga Indonesia bernama Muhammad Dandy.

Ia menilai adanya ambang batas tersebut sangat merugikan hak konstitusional pemilih pemula atau pemilih milineal. Sebagai pemilih pemula, ia merasa tidak pernah memberikan mandat atau suara kepada partai-partai pada pemilihan umum tahun 2014 untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

“Pemberlakuan Pasal 222 Undang Undang Nomor 72 Tahun 2017 telah nyata-nyata merugikan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih pemula atau pemilih milenial,” ujar dia melalui kuasa hukumnya, Unoto Dwi Yulianto di Gedung MK beberapa waktu yang lalu.

Sebagai pemilih pemula Dandy dan jutaan masyarakat lain, tentu memiliki hak mendapatkan alternatif calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Sedangkan PT saat ini dinilai berbanding lurus dengan upaya demokrasi yang mencari pemimpin terbaik dari yang baik.

“Semakin banyak pilihan akan membuat rakyat Indonesia termasuk pemohon mendapatkan manfaat dalam menentukan pilihan,” kata Unoto.

Sedangkan bila ketentuan a quo berlaku maka berpotensi menghilangkan hak konstitusional pemilih pemula untuk mendapatkan banyaknya alternatif calon pemimpin.

“Mekanisme berdasarkan hasil pemilu sebelumnya (2014) jelas merugikan dan mengebiri hak-hak konstitusional pemilih pemula,” kata Unoto.

Lebih lanjut pemohon berpendapat bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bukanlah kebijakan hukum yang bersifat terbuka (open legal policy).

“Karena menurut hemat kami justru bersifat kebijakan tertutup dan bahkan limitatif, sehingga jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mensyaratkan pencalonan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik,” jelas Unoto.

Darurat Konstitusi

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby