(ilustrasi/aktual.com)

Seminggu jelang pendaftaran bakal calon (Balon) presiden dan bakal calon wakil presiden pada 4-10 Agustus 2018 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus membuat suhu politik nasional kian memanas.

Terlebih, dengan diterbitkannya peraturan pemerintah (PP), yang baru saja ditanda tangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat tensi politik kian cepat naik. Apalagi, masih belum adanya kepastian terbentuknya koalisi oposisi dan serangkaian penentuan Balon wakil presiden baik dari koalisi Jokowi maupun Prabowo di Pilpres 2019 mendatang.

Bila dilihat dalam komposisi peta petarungan hari ini, koalisi Presiden Jokowi selaku petahana lebih unggul selangkah dari koalisi yang tengah dibangun Prabowo dengan sekutu partai politik (Parpol) lainnya. Yakni, Presiden Jokowi sudah dapat memastikan jika poros ketiga tidak akan hadir di Pilpres, menyusul dengan bergambungnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kedalam barisannya.

Dalam kondisi seperti itu, ditambah dengan adanya sentimen bahwa petahana dapat melakukan berbagai cara dengan menggunakan semua instrument kekuasaannya memenangkan atau bahkan menjegal lawan politiknya pun menjadi pembenaran. Terlebih, dengan diterbitkannya PP yang notabenenya bagian turunan dari aturan Undang-Undang Pemilu, sebagai salah satu upaya tersebut.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 32 Tahun 2018 tentang tata cara cuti atau mengundurkan diri penyelenggara negara. Salah satunya mengatur tentang kepala daerah yang dijadikan calon presiden/wakil presiden.

Peraturan itu diteken Jokowi pada 19 Juli 2018, dikutip dari situs resmi Sekretariat Negara, Selasa (24/7). Dimana dalam aturan tersebut, ada aturan yang mewajibkan penyelenggara negara untuk mengundurkan diri, namun ada pula yang sekadar harus cuti. Pengunduran diri ini berlaku bagi gubernur, wakil gubernur, wali kota, wakil wali kota, bupati, wakil bupati, aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI, anggota Polri, hingga pejabat BUMN dan BUMD yang jadi calon anggota DPR, DPRD, atau DPD.

Pada aturang pengunduran diri tersebut, tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat mengajukan diri untuk pengaktifan kembali.

Sementara itu, terkait dengan kepala daerah yang ingin menjadi anggota legislatif, maka mengajukan pengunduran diri ke pimpinan DPRD setempat. Jika pengunduran tidak ditindaklanjuti, maka Mendagri akan menindaklanjutinya.

Sementara itu, kepala daerah tidak perlu mengundurkan diri apabila dijadikan calon presiden atau calon wakil presiden. Hal itu merujuk pada Pasal 18 peraturan tersebut. Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, ataupun wakil wali kota harus meminta izin kepada Presiden RI bila dicapreskan oleh partai politik/gabungan partai politik.

Berikut pasal yang mengatur tentang permintaan izin kepala daerah yang dijadikan capres oleh parpol/gabungan parpol:

Pasal 29

(1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota yang akan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden.

(2) Presiden memberikan izin atas permintaan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari setelah menerima surat permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (l).

(3) Dalam hal Presiden belum memberikan izin dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin dianggap sudah diberikan.

(4) Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.

Alhasil, tentu saja PP itu langsung mendapat tanggapan dengan sejumlah penafsiran yang berbeda-beda dimasyarakat. Terlebih, dari Parpol yang berada di luar pemerintahan.

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis misalnya. Ia mempertanyakan dan menilai jika langkah yang dilakukan presiden sangat konyol.

“Dasar hukum dari Undang Undang Dasar 1945 mana yang digunakan oleh Presiden Joko Widodo, sehingga berani menandatangani PP 32/2018 itu. Ini dagelan paling konyol,” sebut Margarito, Selasa (25/7).

Dirinya menyarankan Jokowi membaca secara benar dan cermat, Pasal 6 A UUD 1945, yang isinya mengenai syarat dan sebagian tatacara menjadi Capres dan Cawapres. Khusus mengenai cara, kata dia, UUD 1945 memerintahkan diatur lebih lanjut dalam UU. Menurut dia, tidak ada satupun aturan dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan dasar lahirnya kewenangan presiden, melarang atau mengatur tata cara Gubernur atau Bupati atau Walikota jadi Capres atau Cawapres.

Ia menganjurkan agar Presiden RI saat ini, Joko Widodo segera menarik peraturan tersebut. Sebab peraturan bukan kewenangan .andiri yang melekat pada jabatan presiden. Peraturan dalam sistem hukum, lanjutnya, adalah bentuk pelaksanaan dari perintah UU atau PP. UUD 1945, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sama sekali tidak memberi kewenangan kepada presiden untuk mengatur pencalonan kepala daerah sebagai peserta Pilpres harus melalui izin presiden.

Sementara itu, Sekertaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani menagtakan bahwa partainya tidak akan terbelenggu dengan PP tersebut. “PP itu kan hanya ingin membatasi orang tertentu. Kami paham PP itu untuk siapa, tapi kami enggak mau tersandera oleh PP,” kata Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (26/7).

Diakatakan dia,  Gerindra bakal tetap melakukan pembahasan nama-nama kandidat cawapres Prabowo tanpa terpengaruh peraturan tersebut. Termasuk mempertimbangkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. “Enggak ada urusannya sama PP-PPan,” tegasnya.

Sebaliknya, Muzani menilai PP tersebut sengaja dikeluarkan Jokowi untuk membatasi hak politik orang tertentu saja. Namun, ia tidak mau berspekulasi orang tersebut adalah Anies Baswedan yang saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. “lya sudahlah enaknya berkuasa kan gitu,” ketus wakil ketua MPR RI itu.

Sementara itu, sekutu politik Gerindra, yakni PKS meyakini jika PP tersebut akan banyak mendapat perlawanan dengan melalui upaya judicial review ke Mahkamah Agung (MA). “Mungkin pun akan ada judicial review ke MA untuk PP ini,” Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Mardani Ali Sera, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/7).

Menurut Mardani, dalam berdemokrasi harus diberi koridor yang luas. “Seorang wali kota atau bupati ingin jadi presiden boleh, selama persyaratannya WNI, tidak berkhianat,” sebut dia.

Adapun persyaratan yang dimaksudnya adalah lahir di Indonesia, tidak memiliki cacat, dan berusia minimal 40 tahun. “Dan jangan persulit, karena biarkan saja, rakyat punya hak (untuk mencalonkan dan dicalonkan),”ujarnya.

Masih diaktakan dia, bagi kepala daerah yang ingin maju di Pilpres cukup menginformasikan kepada presiden. “Karena memang gubernur tidak di bawah kendali presiden,”pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilaiperaturan itu menunjukkan Jokowi bukan seorang negarawan.

“Itu yang menandakan kalau Jokowi itu bukan negarawan. Dia politisi blek, blek,” kata Fahri, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (25/7).

Fahri berpendapat penandatanganan peraturan itu sangat tidak etis dilakukan Jokowi. Sebab, Jokowi terkesan membuat peraturan untuk memudahkan dia bertarung di Pilpres mendatang.

“Tidak etis kalau dia, buat aturan buat Pilpres yang akan datang. Saya bisa mengerti kalau dia buat peraturan yang akan datang dia kan tidak bertanding lagi, kalau dia bikin peraturan untuk dia sendiri sama saja kayak wasit ikut nendang bolanya dong,” ujar Fahri menjelaskan.

Fahri yakin ditekennya PP No 32 Tahun 2018 tentang tata cara cuti atau mengundurkan diri penyelenggara negara itu akan menimbulkan berbagai tuduhan dari masyarakat. Terutama tuduhan adanya upaya penjegalan bagi Capres atau Cawapres lain.

“Pasti orang akan menuduh untuk menjegal. Kalau menurut saya sih daripada Pak Jokowi dituduh macam-macam, sebaiknya nggak usahlah dibuat itu. Kalau mau nanti teken di 2024. Jangan sekarang,” pungkas dia.

Bukan Hal Baru

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang