PKS dan Koalisi tak harmonis. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Ancaman hengkang dari koalisi terus digulirkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kepada Prabowo Subianto. Lemparan kata-kata ini tentu harus dipandang sebagai managemen isu yang mereka bentuk. Hal itu dilakukan untuk memberikan pengaruh atau opini di kalangan masyarakat, agar menjadi kontroversi.

Memang, apa yang dilakukan mereka (PKS) ini semata-mata terjadi begitu saja sesuai arus yang bergulir. Itu bisa dilihat ketika Prabowo Subianto diusung oleh kader Gerindra untuk kembali maju di Pilpres. PKS yang sejak awal satu gerbong dengan Gerindra tentu tak ingin menjadi tim hore di pesta demokrasi lima tahunan ini.

Terlebih, mereka pada Piplres 2014 merelakan kursi RI dua ke Partai Amanat Nasional (PAN). Atas dasar inilah, PKS kemudian menggulirkan ancaman-ancaman kepada Prabowo. Tapi perlu diingat, pesan politik yang dibawakan PKS itu cenderung mengandung partisipan bias.

“PKS berpandangan metode ampuh tapi bagi saya ini malahan akan melemahkan mereka sendiri. Lebih baik ngomong yang lain saja,” kata pengamat politik Indonesian public institute Jerry Massie ketika dihubungi redaksi.

Bila isu ini berkempanjangan terus digoreng, malah akan membuat masyarakat tidak nyaman. Mengapa demikian, karena, belum merengkuh kekuasaan saja mereka sudah ribut. Dia justeru merasa iba kepada Partai Gerindra yang berkoalisi dengan PKS.

“Ini bisa menjatuhkan Gerindra. Lebih baik mereka memperkuat koalisi dan memperkeruh koalisi. Karena sampai kini belum ada deal politik,” ujarnya.

Belum lagi adanya ijtima ulama yang memunculkan dua nama yakni Ketua Majelis Syuro PKS Salim Assegaf Aljufri dan Ustadz Abdul Somad. Memang bukan PKS namanya, bila menyerah begitu saja. Kader-kader partai ini tidak pernah kehilangan cara untuk memenangkan perundingan politik.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahu betul bagaimana mengendalikan PKS yang menjadi mitra koalisi selama dirinya menjadi presiden. PKS selalu punya alasan yang tepat untuk “membenarkan” sikapnya yang berlawanan dengan kebijakan koalisi.

Contoh yang paling nyata ialah ketika kader PKS di DPR menolak kenaikkan harga BBM yang sebelumnya sudah diputuskan dalam rapat koalisi. Ketika itu pun PKS beralasan, tidak lagi mempengaruhi hasil voting. Tanpa PKS, mayoritas anggota DPR sudah menyetujui opsi kenaikkan harga BBM.

PKS perlu menolak, meski dilakukan diujung persidangan dan sudah pasti kubu yang setuju kenaikkan BBM menang, untuk kebutuhan kampanye Pemilu 2014. Setelah itu, spanduk-spanduk PKS menolak kenaikan harga BBM terpasang di mena-mana.

Keinginan SBY tercapai, tapi PKS malah mendapat citra positif sebagai partai pro rakyat karena berani menolak kenaikkan harga BBM. Indah, bukan? Kini hal serupa tengah “diolah” ke Prabowo. PKS tentunya tahu ada kesepakatan “di bawah meja” antara Demokrat dan Gerindra terkait posisi cawapres. Tapi, SBY tidak mau terang-terangan menjadikan Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai alat tawar di koalisi. Atas dasar itulah, kemudian PKS terus melakukan tekanan-tekanan kepada Prabowo.

Tapi, ijtima ulama yang telah memunculkan dua nama cawapres itu dianggap Prabowo Subianto hanya sebagai saran. “Saya tegaskan kembali, ijtima itu mengajukan rekomendasi. Nah, rekomendasikan saran,” kata Prabowo, Rabu (1/8).

Selebihnya, Prabowo akan membahas lebih lanjut perihal ijtima ulama bersama PKS, PAN dan Demokrat. “Ya, nanti akan dibahas,” kata dia.

Sementara, Demokrat menganggap pembahasan cawapres masih belum menemukan titik terang. Itu terlihat belum adanya kemajuan yang berarti.

“Yang namanya kemajuan itu kalau semua sepakat menyerahkan kepada Prabowo cawapresnya, tanpa tekanan,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan ketika dihubungi.

PKS dan PAN pun diminta seperti Demokrat, yang legowo menyerahkan urusan cawapres ke Prabowo. “Kita lihat saja. Itu tergantung Pak Prabowo sebenarnya. Mau pakai atau tidak,” katanya.

Syarif pun meyakini hambatan-hambatan yang terjadi di koalisi bisa teratasi pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Bila itu tidak terwujud juga, Syarif meyakini kaolisi Demokrat-Gerindra sudah cukup. Terlebih, suara mereka bila disatukan total 134 kursi (23,9 persen).

Di DPR, Demokrat memiliki 61 kursi (10,9 persen) dan Gerindra 73 kursi (13 persen) dengan total 134 kursi (23,9 persen). Jumlah itu telah melewati syarat minimal ambang batas presidensial, yakni 112 kursi atau 20 persen.

Demokrat Gabung Kuatkan Suara