Jakarta, Aktual.com – Selama ini rakyat sudah terlalu menderita. Presiden datang dan pergi silih berganti. Namun keberpihakan mereka kepada rakyat hanya sebatas jargon saat kampanye. Setelah berkuasa, mereka pun lupa dengan janji-janjinya.
Seperti amnesia memang. Penguasa hanya sibuk melayani para majikan yang menjadi bohirnya. Mereka membayar utang dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan para sponsor tapi merugikan negara dan rakyat Indonesia.
Kondisi di atas merupakan realitas yang digambarkan oleh ekonom senior Rizal Ramli saat ini terkait dengan Pilpres 2019. Dimana dua calon presiden ini serupa dengan calon 2014 silam. Ya, Prabowo Subianto vs Joko Widodo. Kini keduanya maju sebagai capres.
Tapi, sebelum melangkah lebih jauh Rizal Ramli mengukur komitmen dari kedua paslon ini. Katanya, mereka harus mau meninggalkan ideologi neolib dalam membangun Indonesia. Terlebih, berdasarkan fakta menunjukkan bahwa mazhab neolib yang telah diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan rakyatnya sejahtera.
“Saya banyak berkeliling ke daerah. Saya juga sering didatangi rakyat. Ada petani, petambak garam, pengusaha UMKM, mahasiswa, buruh, aktivis, bahkan ibu-ibu. Semuanya mengeluh hidup makin susah. Pertanyaan saya kepada mereka sederhana saja. Apakah dalam empat tahun ini hidup menjadi mudah. Apakah rakyat yakin 5-6 tahun ke depan hidup akan lebih mudah? Ternyata jawabnya kompak, tidak. Nah, kita harus ubah semua ini. Salah satu yang paling penting, tinggalkan neolib,” kata Rizal Ramli belum lama ini.
Sampai titik ini, apa yang disebut Rizal Ramli benar adanya. Kedua calon yang kembali maju lagi di Pilpres 2019 ini nyaris tidak menawarkan menu baru dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Kalau Jokowi diibaratkan tempe, maka yang dirasakan rakyat dalam empat tahun terakhir justru bak dipaksa makan “tempe bongkrek”.
Tahu tempe bongkrek? Tempe bongkrek dikenal ketika masa Orde Baru pada 1970-an. Jenis tempe yang dibuat dari kacang kedelai dan ampas kelapa ini sangat populer di Jawa Tengah khususnya di daerah Banyumas.
Tapi, sayangnya tempe ini seringkali menyebabkan “keracunan” karena terkontaminasi bakteri burkholderia galdioli yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan toxoflavin. Berkali-kali rakyat di pedesaan tewas karena mengkonsumi “tempe bongkrek”. Karena sering menyebabkan korban jiwa, Pemerintah akhirnya melarang penjualan tempe jenis ini.
Empat tahun masa kepempimpinan Jokowi ini, justeru rakyat banyak ‘keracunan tempe bongkrek’ karena beratnya beban hidup. Harga-harga melambung tinggi. Listrik, BBM, gas terus meloanjak harganya karena pengurangan subsidi. Porsi anggaran terbesar justru diutamakan untuk membayar utang. Lapangan kerja sulit didapat, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan seabreg kesulitan hidup lain. Terakhir ini ialah rupiah yang terus menukik.
“Tempe bongkrek” yang disebutkan oleh Rizal Ramli itu pun terasa lebih mematikan. Karena tak hanya para habaib, ulam dan ustadz banyak dikriminalisasi, masyarakat pun terkena imbasnya. Tetapi, kita ketahu juga perlakuan dan penegakan hukum antara muslim dan nonmuslim terasa sangat timpang, dan sejumlah ketidakadilan lainnya yang ummat rasakan.
Apakah itu disebut otoriter? Berdasarkan berbagai kenyataan yang dialami ummat Islam khususnya dan rakyat secara umum inilah yang telah tersajikan dan telah melahirkkan ketidakpuasan. Lama-kelamaan perasaan ini kian tak terbendung. Ini pula yang menjelaskan mengapa gerakan #2019GantiPresiden begitu disambut antusias di semua daerah tempat. Deklarasikannya selalu dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu massa.
Tetapi sayang, pemerintah dan atau para pendukung Jokowi malah justru melakukan banyak blunder. Dengan dalih adanya penolakan dari sebagain kalangan, aparat melarang bahkan membubarkan acara-acara deklarasi.
Lebih disayangkan lagi, sampai kini tidak ada sepatah pun kata dari Jokowi tentang persekusi dan intimidasi dari kelompok tertentu dan aparat kepada para peserta dan aktivis #2019GantiPresiden. Padahal, bisa dipastikan Jokowi tahu betul, bahwa dalam konteks demokrasi gerakan ini sah dan konstitusional.
Akibatnya, sikap diam Jokowi atas rentetan peristiwa ini diterjemahkan oleh banyak kalangan sebagai pembiaran terjadinya ketidakadilan. Pasalnya, acara serupa yang bertajuk mendukung jabatannya dua periode bukan saja diizinkan, tapi sekaligus dihadiri Presiden. Acara digelar secara mewah dan wah menghabiskan anggaran belasan miliar rupiah. Kalau ada kelompok boleh menyatakan aspirasinya untuk mendukung dua periode, mengapa pihak yang ingin ganti Presiden tidak boleh?
Sikap diam Jokowi ini pula yang disesalkan Rizal Ramli. Dalam cuitannya di @RamliRizal, dia menulis, “Mas @jokowi, melarang diskusi-diskusi dan gerakan-gerakan aspirasi publik adalah “kampanye” terburuk untuk mas @jokowi. Kami dan banyak kawan-kawan melawan sikap-sikap otoriter, bahkan sampai dipenjara 1,5 tahun. Jangan tarik mundur demokrasi. You are in power, tolong pakai cara-cara elegan.”
Sementara, pasangan calon Prabowo-Sandi (PAS) juga tak jauh berbeda. Ketika itu, ummat sangat menunggu-nunggu pernyataan organisasi yang dianggap memayungi unsur-unsur pegiat aksi bela Islam yang berjilid-jilid ini. Mereka merasa bisa menyandarkan harapan adanya perubahan yang lebih baik kepada pasangan ini dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara.
Tetapi apa? Gerindra pun lebih memilih “mengabaikan” usulan yang telah disepakati oleh Ijtima Ulama dan lebih memilih kadernya dari Gerindra yakni Sandiaga Uno. Sikap Ijtima Ulama yang dimotori GNPF-Ulama pun sampai saat ini belum menentukan sikap, kepada siapa mereka akan berlambuh.
Termasuk, lelaki yang dikenal gigih mengusung ekonomi konstitusi ini juga belum menentukan dukungan terhadap salah satu Paslon Capres dan Cawapres yang akan berlaga di 2019. Padahal, Sandi dan sejumlah elit Gerindra berkali-kali menyatakan sangat kepincut dengan Rizal Ramli.
Mereka berharap tokoh yang dekat dengan kalangan grass root itu mau bergabung sebagai tim sukses. Sebagian lain bahkan menyebutnya layak menjadi ketua Timses Prabowo-Sandi.
Baik GNPF-Ulama maupun Rizal Ramli ternyata punya alasan yang sama. Mereka tidak mau memberi ‘cek kosong’ kepada Paslon tertentu. Buat keduanaya, harus ada komitmen yang jelas dan tegas dari Paslon sebelum memperoleh dukungan.
Ketua GNPF-Ulama ustadz Yusuf Muhammad Martak misalnya, jelas-jelas menghendaki Prabowo-Sandi menandatangani komitmen yang disebutnya sebagai Pakta Integritas. Kalau mereka setuju, maka GNPF-Ulama menjanjikan dukungan penuh dari ummat untuk pemenangan PAS.
Disebut dukungan penuh, karena GNPF-Ulama bersama ummat akan menyiapkan logistik, saksi-saksi dan posko-posko pemenangan secara massif sampai ke tingkat RT/RW. Semua biayanya berasal dari kantong ummat secara swadana dan gotong-royong alias gratis, sama sekali tidak perlu gerojokan dana dari PAS. Penegasan ini pula yang disampaikan Habib Rizieq Shihab dari Mekah saat memberi sambutan pada pembukaa Ijtima’ Ulama, 29 Juli silam.
Dalam berbagai pernyataan yang suaranya direkam dan menjadi viral, Habib juga minta ummat bersabar menunggu digelarnya Ijtima’ Ulama II. Di forum yang akan diselenggarakan satu hari antara 8-15 September inilah akan ditentukan sikap ulama terhadap PAS.
“Kami sudah menyiapkan Pakta Intergitas berisi sejumah tuntutan dan harapan ummat Islam yang harus disetujui PAS sebelum memperoleh dukungan. Kalau Prabowo-Sandi menolak Pakta Integritas, maka GNPF-Ulama akan berlepas diri dari keduanya. Silakan ummat dan ulama menentukan pilihan masing-masing,” ujarnya.
Dua Tokoh Ini Paling Diinginkan