Jakarta, Aktual.com – Diakui atau tidak, anjloknya mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang belakangan tembus di angka Rp 15.000 per dolar AS telah menimbulkan kepanikan, tak terkecuali di tubuh pemerintah. Diyakini Pelemahan nilai tukar (depresiasi) ini sendiri disebabkan banyak faktor, diantaranya imbas perang dagang AS vs China, Kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, geo politik yang tidak menentu, dan rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia itu sendiri.
Baca:panik defisit transaksi berjalan, pln terancam jadi korban
Rapuhnya ekonomi nasional ini diantaranya dapat ditandai tingginya ketergantungan Indonesia atas produk impor hingga menimbulkan defisit transaksi berjalan. Contohnya di sektor migas, pada 2017 tercatat nilai ekspor sebesar USD 10,80 miliar sedangkan angka impor sebesar USD 22,27 miliar. Begitupun pada tahun 2018, terpantau di triwulan ke dua mencatat angka impor USD 12,73 miliar, sedangkan ekspor hanya USD 5,89 miliar.
Baca: alami kerentanan energi, indonesia dijebak
Tapi yang menjadi kekecewaan beberapa pihak, pemerintah dirasa tidak memberikan terobosan kebijakan yang cukup meyakinkan untuk menangkal depresiasi rupiah. Bahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebut memberikan gagasan basi lantaran kebijakan yang ditempuh hanya penanganan isu-isu lama yang sepatutnya tidak berulang.
#Upaya kementerian ESDM memperkuat nilai tukar Rupiah
Dalam rangka memperkuat nilai tukar rupiah, setidaknya ada empat kebijakan yang ditempuh oleh Kementerian ESDM untuk mengendalikan impor dan mempertebal cadangan devisa. Keempat kebijakan yang dimaksud yakni, pengaturan hasil ekspor sumber daya alam, penataan ulang proyek kelistrikan, meningkatkan penyerapan kandungan dalam negeri (TKDN), hingga penerapan mandatory Biodiesel 20 persen (B20).
Pertama, untuk pengaturan ekspor sumber daya alam, sejauh ini Menteri ESDM, Ignasius Jonan telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 1952/84/MEM/2018 yang mana regulasi ini mengharuskan seluruh pelaku industri mineral dan batubara (Minerba) melakukan transaksi ekspor dengan menggunakan rekening bank domestik.
“Saya kira itu tidak ada masalah. Kita buat mekanisme, kita akan minta buktinya mana uang yang kembali, ekspor sekian kan kita bisa hitung pakai LC, uangnya sudah kembali belum ke Indonesia. Jika uang hasil ekspor tersebut tidak kembali, perusahaan dapat dikenakan sanksi untuk mengurangi ekspornya,” kata Menteri ESDM, Ignasius Jonan.
Lebih rinci Direktur Jenderal Minerba, Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, ada enam kriteria yang wajib menjalankan keputusan Pemerintah tersebut, yaitu para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.
Dalam proses pembayaran hasil ekspor minerba, perusahaan harus juga menggunakan Letter of Credit (LOC), yakni sejenis surat pernyataan atas permintaan pembeli atau importir kepada penjual atau eksportir untuk memperlancar dan mempermudah arus barang. LOC tersebut akan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan.
Apabila kebijakan tersebut dihiraukan, Pemerintah mengancam untuk mencabut rekomendasi persetujuan ekspor mineral dan eksportir terdaftar batu bara ke pelaku industri tambang. Nantinya, Kementerian ESDM akan melakukan penyesuaian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di tahun berikutnya terhadap para pelaku industri tambang setelah rekomendasi pencabutan telah diputuskan.
Sanksi berbeda bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan. Mereka akan mendapat peringatan atau teguran tertulis bahkan sampai penghentian sementara kegiatan usaha apabila tetap tidak mematuhi aturan tersebut.
Kehadiran beleid baru ini memberikan kewenangan bagi Pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap transaksi hasil penjualan ekspor minerba yang selama ini hanya dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Setiap bulan, Kementerian ESDM kini akan menerima laporan berkala atas penjualan ekspor dari perusahaan tambang.
“Untuk September 2018, saya mau transaksi pembayaran (ekspor) dari Januari-September 2018 dilaporkan. Untuk selanjutnya, laporan (disampaikan) bulanan,” pungkas Bambang.
Selanjutnya yang kedua, di sektor Ketenagalistrikan, pemerintah menggeser jadwal waktu penyelesaian pembangunan pembangkit program 35.000 MW, yang belum mencapai financial close. Diperkirakan jumlah yang digeser ke tahun-tahun berikutnya sebesar 15.200 MW.
“Jadi digeser sesuai dengan kebutuhan permintaan kelistrikan nasional, tapi bukan dibatalkan. Kapasitas pembangkit yang ditunda, mestinya Commercial Operation Date (COD) 2019 ditunda ke tahun 2021 sampai 2026. Itu mungkin bisa mengurangi beban impor sekitar kira-kira USD 8 miliar sampai USD 10 miliar, jadi digeser,” tutur Jonan.
Adapun yang ke tiga, Jonan menegaskan, pengetatan impor barang berlaku untuk sektor hulu migas, sektor ketenagalistrikan, minerba dan juga Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Hal ini tidak lain agar pelaku industri menggunakan produk dalam negeri.
“Prinsipnya, kita tidak akan menyetujui masterlist detail untuk rencana impor yang bisa digantikan produknya oleh produk yang sudah dihasilkan atau manufaktur di dalam negeri. Dua catatannya, satu memenuhi kualitas, spesifikasinya sama dan kedua kualitasnya juga mencukupi. Arahan Bapak Presiden harus didorong penggunaan produk di dalam negeri,” jelasnya.
Sementara terkait penerapan B20, hal ini dalam upaya mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui bauran minyak sawit dalam minyak solar dengan komposisi sebanyak 20 persen. Pemerintah menegaskan akan melakukan pengawasan dan meningkatkan kualitas secara terus menerus.
“Tujuan untuk mencapai penerapan B20 ini harapannya bisa menghemat devisa kira-kira sekitar USD 2,3 miliar untuk 4 bulan, September sampai Desember 2018. Kalau tahun depan, secara total mungkin bisa menghemat lebih dari USD 3,3 miliar. Ini termasuk juga PLTD yang dioperasikan oleh PLN. Malah kami juga minta ke PLN dalam dua tahun agar PLTD yang kapasitas operasionalnya sudah rendah, itu bisa diganti dengan 100% minyak kelapa sawit,” pungkas Jonan.
Selanjutnya…
#DPR:Tidak Ada Hal Baru Dari ESDM
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta