Jakarta, aktual.com – Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024 pada 28 April 2023 menuai pro kontra di kalangan masyarakat. Dalam peraturan yang diundangkan pada 3 Mei 2023 itu tertera Standar Biaya Masukan (SBM) untuk mobil listrik bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Lembaga kajian kebijakan publik, Center for Research on Ethics, Economy, and Democracy (CREED), menilai bahwa publik salah tafsir terkait penerapan SBM dalam PMK 49/2023 ini.
Direktur Eksekutif CREED, Yoseph Billie Dosiwoda, menekankan bahwa SBM mobil listrik ini bukan bentuk alokasi pengadaan proyek. Melainkan pengaturan untuk batas atas pada pagu penganggaran yang dapat diajukan kementerian atau lembaga (K/L) untuk pengadaan kendaraan listrik.
“Jadi publik jangan salah menafsirkan bila pemerintah melakukan pemborosan, justru SBM ini standar biaya pagu anggaran yang berfungsi memberikan payung hukum jika ada instansi pemerintah yang ingin mengajukan,” tutur Billie dalam keterangannya, Minggu (21/5/2023).
Pasal 2 huruf a dan b PMK No. 49/2023 mengatur mengenai batas maksimal atau estimasi anggaran yang dapat diajukan K/L.
Terlampir, untuk motor listrik anggaran maksimalnya adalah Rp28 juta per unit dan kendaraan listrik untuk operasional kantor maksimal Rp430 juta. Sedangkan pengadaan mobil listrik untuk eselon I maksimal Rp967 juta, sementara untuk eselon II maksimal Rp746 juta.
“Penerapan SBM ini memberikan batasan harga tertinggi dalam pengadaan kendaraan listrik, artinya besarannya tidak dapat dilampaui. Ini semua demi menjaga efisiensi anggaran pada APBN,” ujar Billie.
“Dalam hal ini juga pemerintah membuka ruang bagi yang ingin menerapkan pengadaan mobil listrik, namun dengan batasan anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui PMK tersebut,” sambungnya.
Billie menjelaskan, beleid SBM mobil listrik ini harus dilihat dari aspek relasi dengan kebijakan lain. Seperti, mengurangi emisi karbon di ruang publik sebagai bentuk dukungan pada pemerintah yang telah meratifikasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Kemudian, peraturan ini sekaligus untuk mendorong industri mobil listrik di Indonesia yang mulai bergairah.
“Artinya peraturan ini sekaligus mendukung aktivitas sektor ekonomi di belakang industri mobil listrik. Di mana mobil listrik ini membutuhkan komponen industri nikel yang sangat besar untuk kebutuhan baterai dan keberlangsungan ratusan ribu para buruh yang bekerja di sektor ini,” tutur Billie.
“Jadi sasaran kebijakan ini memiliki relasi dengan hajat hidup orang banyak, yaitu memastikan bahwa lapangan pekerjaan bagi para buruh yang bekerja di industri mobil listrik bisa tetap tersedia,” imbuh dosen Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini.***
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain