Jakarta, Aktual.com – Gelombang pengunduran diri pucuk pimpinan BUMN mencuat sejak pemerintah resmi membentuk PT Danantara, superholding yang digadang-gadang bakal menyatukan ratusan perusahaan pelat merah. Alih-alih memperkuat kinerja BUMN, kehadiran Danantara justru memunculkan tanda tanya besar: apakah ini jalan menuju efisiensi, atau justru konsolidasi politik-ekonomi segelintir elite?
Agrinas Jadi Korban Pertama: Mundurnya Joao Angelo de Sousa Mota
Pada 11 Agustus 2025, publik dikejutkan oleh pengunduran diri Joao Angelo de Sousa Mota, Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara. Baru enam bulan menjabat, Joao angkat tangan.
Alasannya jelas dan tegas: Agrinas nyaris tidak berfungsi akibat terjerat birokrasi panjang yang diciptakan Danantara. “Kami tidak mendapat anggaran sama sekali. Semua terhenti di meja Danantara. Saya malu tidak bisa menjalankan misi ketahanan pangan,” ungkap Joao dalam pernyataannya.
Pengakuan itu menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Agrinas yang dibentuk untuk memperkuat ketahanan pangan nasional justru terjebak dalam sistem yang dibuat untuk “menertibkan” BUMN.
Domino Mundurnya Direksi dan Komisaris
Joao bukan satu-satunya yang meninggalkan kursi empuknya. Dalam kurun Februari hingga April 2025, sejumlah nama besar juga melepaskan jabatan.
24 Februari 2025 – Pandu Sjahrir
Wakil Direktur Utama PT TBS Energi Utama (TOBA), Pandu Sjahrir, resmi mengundurkan diri. Ia ditarik menjadi Chief Investment Officer (CIO) Danantara. Aturan larangan rangkap jabatan menjadi alasan formal, namun publik menilai masuknya Pandu—figur dengan koneksi kuat di sektor energi—sebagai sinyal bahwa Danantara sedang menyusun lingkaran dalam.
24 Maret 2025 – Djamal Nasser Attamimi
Komisaris TOBA, Djamal Nasser Attamimi, juga mundur. Ia kemudian menempati posisi Managing Director Finance (Investment) Danantara. Lagi-lagi, alasan yang disampaikan adalah penyesuaian jabatan. Namun, langkah cepatnya masuk ke struktur inti Danantara memperkuat dugaan adanya pola rekrutmen eksklusif.
21 April 2025 – Febriany Eddy
Presiden Direktur Vale Indonesia, Febriany Eddy, ikut mundur. Ia bergabung dengan PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), entitas penting yang berada dalam struktur Danantara. Pengunduran dirinya menimbulkan kekhawatiran: apakah proyek strategis tambang nikel, yang vital bagi transisi energi nasional, tidak akan terganggu oleh kekosongan kepemimpinan?
11 Agustus 2025 – Joao Angelo de Sousa Mota
Mundurnya Joao menjadi kasus paling berbeda. Jika Pandu, Djamal, dan Febriany mundur karena masuk ke tubuh Danantara, Joao justru menolak sistem tersebut. Ia keluar dengan membawa kritik keras terhadap birokrasi superholding.
Gelombang Mundur Pasca Danantara
Februari 2025 – Pandu Sjahrir mundur dari TOBA , masuk Danantara
Maret 2025 – Djamal Nasser Attamimi mundur dari TOBA, masuk Danantara
April 2025 – Febriany Eddy mundur dari Vale Indonesia, masuk BKI (holding Danantara)
Agustus 2025 – Joao Mota mundur dari Agrinas, protes keras birokrasi Danantara
Pola ini menunjukkan dua jalur berbeda:
Mundur untuk masuk Danantara – seolah dipromosikan ke lingkaran inti superholding.
Mundur karena frustrasi dengan Danantara – merasa terhambat, bukan terbantu.
Danantara: Jalan Pintas Oligarki Kuasai BUMN
Secara resmi, Danantara dibentuk untuk memangkas birokrasi, memperkuat sinergi, dan mengonsolidasikan aset raksasa BUMN. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan paradoks.
Birokrasi makin berlapis. Agrinas adalah contoh nyata. Tanpa akses anggaran, proyek pangan strategis mandek. Kekosongan kepemimpinan. Mundurnya dirut dan komisaris meninggalkan celah di BUMN strategis, dari energi hingga pertambangan.
Lingkaran elite. Masuknya figur-figur tertentu ke Danantara menimbulkan dugaan “pengkaderan politik-ekonomi” di balik layar.
Seorang pengamat BUMN yang enggan disebut namanya menilai, “Danantara bukan sekadar proyek efisiensi. Ia bisa menjadi mesin konsolidasi kekuasaan, mengendalikan ratusan BUMN dengan aset triliunan rupiah. Dalam konteks politik, ini bukan sekadar bisnis, tapi soal siapa yang menguasai sumber daya negara.”
Risiko Besar Jika Terjadinya Pembiaran
Jika fenomena ini terus berlanjut, ada tiga risiko nyata:
Proyek strategis nasional mandek – mulai dari ketahanan pangan, transisi energi, hingga industrialisasi tambang. Kekosongan kepemimpinan – BUMN kehilangan arah karena pucuk pimpinan ditarik ke Danantara atau memilih mundur. Erosi kepercayaan publik – masyarakat meragukan transparansi dan efektivitas superholding.
Hilangnya Kepemimpinan di BUMN Strategis
Alih-alih menjadi solusi, Danantara kini menghadirkan problem baru. BUMN strategis kehilangan kepemimpinan, proyek vital terancam stagnan, dan muncul dugaan bahwa superholding ini lebih berfungsi sebagai alat konsolidasi kekuasaan daripada motor efisiensi.
Di atas kertas, PT Danantara didefinisikan sebagai “superholding” BUMN. Fungsinya: mengonsolidasikan aset raksasa, mengefisiensikan manajemen, dan mempercepat transformasi ekonomi.
Namun, sejak kelahirannya, realitas di lapangan menampakkan wajah lain: direksi BUMN berguguran, birokrasi kian menebal, dan jabatan-jabatan strategis diisi figur-figur tertentu yang dianggap punya kedekatan politik dan jaringan bisnis kuat.
Figur-figur yang Terkait Erat dengan Danantara:
1. Pandu Sjahrir
Keponakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dikenal sebagai “wajah muda” sektor energi dan digital. Ditunjuk sebagai Chief Investment Officer (CIO) Danantara pada Februari 2025. Dengan posisinya, Pandu mengendalikan aliran investasi strategis triliunan rupiah.
2. Febriany Eddy
Mantan Presiden Direktur Vale Indonesia. Masuk ke PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang kini jadi entitas holding Danantara. Kehadirannya memperkuat kendali Danantara di sektor pertambangan strategis (nikel).
3. Djamal Nasser Attamimi
Sebelumnya Komisaris TOBA. Ditunjuk sebagai Managing Director Finance (Investment) Danantara. Dikenal punya jejaring kuat di sektor energi dan keuangan.
4. Lingkaran Agrinas – Joao Angelo de Sousa Mota
Satu-satunya yang menolak tunduk. Mundur dari Agrinas dengan menyebut Danantara sebagai “penghambat ketahanan pangan.” Mundurnya Joao memberi kesan bahwa figur yang tidak sejalan dengan mekanisme Danantara akan tersingkir.
Jejak Politik: Dari Kabinet ke Superholding
Banyak analis menilai, penempatan figur-figur ini bukan sekadar soal profesionalisme. Ada aroma politik yang kental:
Kelompok Luhut Binsar Pandjaitan dinilai paling diuntungkan. Penunjukan Pandu Sjahrir, keponakannya, ke posisi CIO Danantara memperkuat kendali atas sektor energi, investasi, dan hilirisasi tambang.
Kementerian BUMN melalui Erick Thohir, menjadi pintu utama penataan ulang jabatan. Erick disebut-sebut ingin meninggalkan legacy berupa “holding raksasa” yang bisa menopang agenda ekonomi politik jangka panjang.
Afiliasi politik 2029 – beberapa pengamat menduga, pengendalian Danantara juga terkait kepentingan menjelang Pemilu 2029. Dengan aset triliunan rupiah, superholding ini bisa menjadi “mesin pendanaan” politik terselubung.
Kelompok Bisnis yang Diuntungkan
Selain figur politik, kelompok bisnis tertentu juga diduga mendapat jalan tol dari struktur baru ini:
Korporasi Energi & Tambang, masuknya Febriany Eddy (Vale) memperlihatkan bahwa sektor nikel, kobalt, dan mineral strategis akan lebih mudah dikendalikan Danantara.
Konglomerasi Teknologi & Keuangan dengan Pandu di posisi CIO, pintu investasi digital dan energi baru terbuka lebar.
Perusahaan Pangan justru terancam. Mundurnya Joao dari Agrinas menjadi simbol bahwa sektor pangan tidak mendapat prioritas di bawah bayang-bayang Danantara.
Analisis: Konsolidasi Kekuasaan ala Holding
Seorang ekonom senior yang saya hubungi menegaskan, “Danantara bukan sekadar superholding, tapi superkonsolidasi kekuasaan. Dengan aset BUMN yang disatukan, siapa pun yang mengendalikan Danantara, pada dasarnya mengendalikan denyut ekonomi Indonesia.”
Pernyataan ini menggambarkan bahwa Danantara berpotensi menjadi alat politik-ekonomi paling berbahaya jika tidak diawasi ketat. Gelombang mundurnya direksi BUMN sejak hadirnya Danantara bukan sekadar persoalan teknis atau rangkap jabatan. Ada benang merah politik dan ekonomi yang saling terkait:
Figur politik berpengaruh menempatkan orang kepercayaannya. Kelompok bisnis strategis mendapat ruang lebih besar. BUMN yang tidak sejalan justru mandek dan ditinggalkan.
Danantara kini berdiri di persimpangan: apakah akan jadi motor efisiensi BUMN, atau sekadar berubah menjadi oligarki baru yang mengendalikan sumber daya negara untuk kepentingan segelintir elite?

















